humaniora.id – Dalam rangka memperingati Hari Wayang Nasional ke-5 Tahun 2023 Sekretariat Pewayangan Indonesia-SENAWANGI menggelar kegiatan rutin tahunan berupa ‘Living Intangible Cultural Heritage Forum for Wayang Puppet Theater (ICH Forum for WPT) in Indonesia yang ke-3 tanggal 7-9 Nopember 2023.
Kegiatan ini merupakan implementasi mandat rapat ICH NGO’s Forum UNESCO pada 11 Desember 2019, saat Sidang Ke-14 Komite Antar Pemerintah tentang Implementasi Konvensi Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda, di Bogota, Kolombia, pada tanggal 9 – 14 Desember 2019.
Berikut ini adalah tulisan Ketua Dewan Pakar SENAWANGI (Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia), Dr. Sri Teddy Rusdi, S. H. M. Hum.
Disampaikan saat hadir sebagai narasumber acara jumpa pers peringatan Hari Wayang Nasional (HWN) Ke-V & Living ICH Forum Ke-III, di Gedung Pewayangan Kautaman Jakarta Timur, Senin (06/11/2023).
***
FILSAFAT wayang sesungguhnya telah lama dikenal dalam jagad pewayangan di Indonesia dalam bentuk wejangan, ajaran, andaran dan contoh-contoh perilaku tokoh-tokohnya.
Ada pikiran pokok dalam filsafat wayang yaitu eksistensialisme yaitu paham yang menekankan bahwa dalam kehidupan manusia itu unsur pengalaman menjadi sangat penting diperhatikan.
Eksistensialisme mengandung tiga unsur penting yaitu (1) teologis, (2) kebenaran nilai dan (3) dekonstruksi. Tujuan eksistensialisme adalah mencoba menjawab pertanyaan bagaimana manusia seharusnya hidup, kemudian ingin melawan pandangan yang menempatkan manusia pada tingkat impersonal atau abstrak.
Motif eksistensi yaitu cara manusia berada pada pusat perhatian manusia sehinngga bersifat humanistis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, setiap manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya.
Eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka dan realitas yanng belum selesai, pada dasarnya terikat pada dunia sekitarnya terlebih-lebih pada sesama manusia.
Oleh sebab itu eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman kongkret atau pengalaman eksistensial.
Ketiga unsur esksistensialisme secara makro menyatu secara implementatif dalam pergelaran wayang sebagai objek formal wayang itu sendiri.
Perlu diketahui bahwa orang Jawa yang begitu mengagumi wayang sampai dirinya mengidolakan tokoh wayang dalam suatu lakon tertentu. Sehingga banyak orang Jawa yang menamai anaknya sebagai tokoh wayang tertentu, misalnya Bima Sena, Wijanarka, Wibatsu, dan sebagainya.
(1) Bagi orang yang ingin teologi Jawa maka menyenangi lakon Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, lakon ini secara filosofi menyiratkan tentang keluhuran budi sebagai manusia, harapannya agar kelak dengan melihat lakon ini wataknya akan menjadi baik sebagaimana Bima Sena dalam lakon tersebut.
(2) Bagi orang yang menginginkan nilai kebenaran, maka ketika menonton wayang akan memilih karakter kebenaran hidup selaku manusia, misalnya adalah perilaku Pandawa dan Kurawa.
Ketika orang menginginkan filsafat kepemimpinan, maka wahyu Makutharamalah yang dipilih untuk mengetahui karakter menjadi seorang pemimpin yang baik. Orang yang mengingikan anaknya menjadi seorang raja pimpinan atau raja yang baik, maka lakon yang dipilih penuh dengan ajaran filsafat, maka pilihlah lakon Wahyu Cakraningrat, dan masih banyak lagi lakon-lakon wayang yang lain yang sesuai dengan tujuan mengapa seseorang memilih lakon wayang tertentu.
(3) Dekonstruksi adalah perubahan yang terjadi di dalam pergelaran wayang yang terjadi sejak lama. Sesungguhnya para dalang berkedudukan sebagai epigonisme dalam artinya bahwa apa pun yang dipergelarkan adalah tiruan dari para dalang yang terdahulu.
Hanya tidak dapat dipungkiri bahwa unsur kreativitas dalang, sulit dikendalikan sehingga yang dipergelarkan pun tidak sama persis dengan yang pernah ditampilkan oleh dalang terahulu.
Hal ini berjalan terus menerus sejak dulu hingga sekarang termasuk jaman kekinian, maka tidak dapat demikian saja disalahkan gejala dekonstruksi itu. Untuk membatasi hal-hal yang tidak diinginkan itu, maka di dalam masyarakat pedalangan dikenal istilah Pakem Jangkeb dan Pakem Balungan.
Yaitu buku pakem yang isinya tentang lakon-lakon wayang secara garis besar maupun sebagian-sebagaian saja tetapi pikiranya sudah cukup untuk menjadi buku manual bagi siapa pun yang ingin mempergelarkan lakon wayang.
Dalam implementasi pergelaran wayang sesungguhnya nilai kebenaran menjadi paling utama, namun tuntutan kekinian termasuk disebut sebagai dekonstruksi dalang mudah berpaling pada hal-hal yang mudah untuk dicerna oleh masyarakat penontonnya.
Kadang ini tidak disadari oleh dalang yang berorientasi pada tontonan daripada makna filosofi. Gejala ini memang sulit dilakukan namun harus ada yang terus memperjuangkan dan mempertahankan, paling tidak adalah nilai-nilai kebenaran yang sifanya penting, ada ungkapan dalam bahasa Jawa “beja-bejane sing lali, isih beja sing eling lawan waspada” lebih beruntung yang tetap ingat daripada tidak ingat sama sekali.
Keberadaan Senawangi sebagai penjaga gawang terakhir dari kehidupan wayang memang cukup berat karena mewadahi semua, baik yang menjaga kebenaran maupun yang dekonstruksi.
Dipersilahkan memilih mana yang disukai, sebagi seorang pendidik filsafat mestinya harus tegas bersikap memberikan hal yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah daripada yang dekonstruktif tidak sesuai dengan nilai filsafat.
Jakarta, 7 November 2023
Dr. Sri Teddy Rusdi, S. H. M. Hum., adalah Ketua Dewan Pakar SENAWANGI (Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia).