Oleh: H. J. Faisal
Mendengarkan cerita kisah hidup sahabat saya yang satu ini, memang selalu memberikan kesan tersendiri untuk diri saya. Mengapa demikian? Mungkin salahsatu sebabnya adalah karena saya tahu kalau sahabat saya yang satu ini adalah orang yang tidak pernah berbohong dalam membagi pengalaman masa mudanya, yang terbentang antara tahun 1970-an sampai dengan tahun 1990-an akhir.
Pembawaannya memang terkadang sangat bersemangat dan berapi-api, tetapi terkadang beliau juga merasa sedikit canggung untuk bercerita sepenuhnya tentang masa mudanya tersebut kepada saya. Mungkin hal itu disebabkan karena masa mudanya tersebut penuh dengan masa-masa kelam, masa-masa dimana beliau harus ‘berjuang’ untuk sekedar bertahan hidup di kota Jakarta, terutama di daerah tempat tiggalnya dulu, yaitu di daerah Tanah Abang Jakarta Pusat. Masa-masa dimana pengaruh buruk dari pergaulan di lingkungan sekitarnya jauh lebih dominan, dan lebih mudah diterima olehnya, daripada pengaruh baik yang datang dari orangtua dan keluarganya.
Berkelahi dengan senjata tajam, menggunakan senjata api untuk melukai lawan berkelahinya, merupakan hal yang biasa beliau lakukan. Bahkan sampai berkelahi dengan gank ‘raja preman’ Hercules pada waktu itu pun, pernah dilakoninya.
Namun, tidak semua masa muda beliau tersebut dihiasi dengan hal-hal yang buruk. Sahabat saya ini juga bercerita kalau masa mudanya juga diisi dengan banyak hal atau kegiatan yang positif, seperti ikut dalam berbagai kegiatan organisasi. Bahkan beliau tercatat sebagai salahseorang aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang aktif pada waktu beliau masih menempuh pendidikan kuliah pada tahun 1980-an. Dan memang terbukti bahwa teman-teman senior dan juniornya di HMI masih melakukan kontak telepon dan dengannya, dan menghadiri acara-acara yang diselenggrakan oleh HMI. Beliau bercerita bahwa banyak dari sahabat-sahabat aktivisnya dulu yang sudah berhasil di panggung politik Indonesia, seperti Anis Baswedan, Ismail Hasan Metareum, Akbar Tanjung, dan beberapa politikus tersohor lainnya.
Darah seni juga rupanya mengalir dalam diri beliau. Beliau pernah bercerita kalau beliau pernah berkolaborasi musik dengan beberapa seniman musik terkemuka di Indonesia, seperti (Alm) Deby Nasution (Gank Pegangsaan), Opick (penyanyi religi), Tommy J.Pissa, dan beberapa penyanyi lawas Indonesia lainnya. Begitupun dalam dunia perfilman Indonesia, beliau juga bersahabat dekat dengan Christine Hakim, Slamet Rahardjo, dan lainnya.
Dan yang lebih mengejutkan saya, sahabat saya ini juga pernah mengatakan bahwa lagu “Air Mata Api” yang ditenarkan oleh Iwan Fals, adalah lagu ciptaan beliau untuk merepresentasikan keadaan dirinya ketika beliau sedang berada di dalam masa-masa kelam di usia mudanya dahulu. Ya, lagu itu beliau ciptakan pada tahun 1988 akhir, kemudian beliau berikan kepada temannya (waktu itu beliau menyebutkan nama temannya tersebut kepada saya, namun saya lupa) untuk dibeli, dan ternyata temannya tersebut menjual kembali lagu “Air Mata Api” kepada Iwan Fals, yang kemudian menjadi hit di tahun 1989. Tentu saja, jual beli lagu adalah hal yang biasa dilakukan di kalangan seniman pemusik dan penyanyi. Karena itulah maka dunia permusikan sering disebut sebagai sebuah industri….industri musik.
Dan kini, sampai akhir hidupnya, sahabat saya ini telah menemukan kedamaian bersama istri dan anak-anaknya tercinta di sebuah daerah di pinggiran Jakarta, di daerah Cileungsi tepatnya.
Tulisan ini saya buat, karena ternyata saya terus terbayang betapa nyamannya saya ketika saya berbicara dengan sahabat saya ini. Meskipun usianya terpaut 10 tahun lebih tua dari saya, namun saya tidak pernah merasa digurui oleh beliau, padahal saya tahu bahwa sesungguhnya beliau selalu memberikan ilmunya melalui kisah-kisah atau cerita masa mudanya dan kisah-kisah pengalaman beliau yang lainnya kepada saya.
Tahun ini, 2024, tepat dua tahun sudah kepergian beliau untuk berpulang menghadap Illahi (20 September 2022). Dua tahun ini pula saya masih merasa kehilangan yang teramat sangat, masih merasakan kesepian tanpa kehadiran beliau, bahkan air mata ini masih sering terjatuh ketika saya mengingat tentang bagaimana nyamannya diri ini saat saya sedang berbincang santai dengan beliau, bercanda, serta ketika saya dan teman-teman lainnya menghabiskan waktu bersama dengan beliau di berbagai tempat.
Ya, saya telah kehilangan seorang sosok yang sudah seperti kakak saya sendiri. Sosok yang selalu menjadi tempat curahatan hati saya, dan sosok yang selalu memahami saya tanpa pernah melakukan ‘judgement’ negatif terhadap permasalahan dan keadaan yang saya utarakan kepada beliau.
Alhamdulillah, setahun sebelum kepergian beliau, beliau masih sempat membangun kembali organisasi yang telah kami bangun bersama teman-teman lainnya, sebuah organisasi yang menaungi para jurnalis dan wartawan muslim se-Indonesia, yaitu Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI).
Semoga, selain menjadi kerinduan saya di tahun kedua kepergian beliau ini, coretan kerinduan ini juga dapat mewakili kerinduan teman-teman di PJMI kepada beliau.
Dan coretan kerinduan yang sederhana ini juga saya dedikasikan untuk istri dan anak-anak tercinta beliau.
Semoga Allah Ta’alla mengampuni semua dosa-dosa Pak Iman….Imansyah Hakim Arrasyid, sahabat saya, sahabat kami semua, sang ‘Lelaki Tengah Malam’. Aamiin ya Allah ya Rabbal’alamiin.
Mohon maaf, jika saya tidak dapat menuliskan lebih banyak lagi…..
Jakarta, 14 Agustus 2024