JAKARTA , humaniora.id – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menuturkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sejatinya lahir dari tujuan mulia untuk mewujudkan kemajuan dan pemberdayaan desa. Antara lain melalui peningkatan prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama. Undang-undang ini juga dimaksudkan sebagai stimulan bagi terbentuknya pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka serta bertanggungjawab.
“Setelah 9 tahun Undang-Undang Desa diberlakukan, tentunya menjadi hal yang wajar bagi segenap pemangku kepentingan untuk melakukan evaluasi dan bermawas diri, apakah amanat mulia yang melatar-belakangi lahirnya Undang-Undang Desa, telah dapat diwujudkan secara optimal? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka salah satu tolok ukurnya dapat kita rujuk dari terwujudnya asas-asas dalam penataan dan pembangunan desa, yaitu rekognisi, subsidiaritas, keberagaman, kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan, musyawarah, demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan dan keberlanjutan,” ujar Bamsoet dalam acara Simposium Desa yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia, Persatuan Perangkat Desa Indonesia dan Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa Nasional di Jakarta, Minggu (19/2/23).
Hadir antara lain Menteri Dalam Negeri Jenderal Pol (purn) Tito Karnavian, Ketua Umum DPP Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia Surta Wijaya, Ketua Umum DPN Persatuan Perangkat Desa Indonesia Widhi Hartono, dan Ketua Umum DPP Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa Nasional Indra Utama.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menegaskan, hadirnya aturan turunan dari Undang-Undang Desa, yaitu Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, sebagaimana diubah terakhir dengan PP No. 11 Tahun 2019, dan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sebagaimana diubah terakhir dengan PP No. 8 Tahun 2016, harus mampu mengejawantahkan semangat awal yang ingin diwujudkan dari lahirnya Undang-Undang Desa.
“Artinya, jangan sampai misalnya, asas rekognisi dan subsidiaritas yang mengamanatkan otoritas desa dalam menjalankan kewenangan berdasarkan hak asal-usul yang didalamnya mengandung kearifan lokal, justru terdistrorsi, atau tereduksi, oleh aturan-aturan turunan yang cenderung membatasi. Desa harus diperlakukan sebagai arena dan subyek pembangunan, dan bukan lagi sebagai obyek pembangunan,” kata Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini menerangkan, dalam perkembangan muncul wacana yang
mendorong dilakukannya revisi terhadap Undang-Undang Desa. Salah satunya terkait penambahan masa jabatan Kades dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Aspirasi ini berangkat dari beberapa argumen yang melandasi, antara lain bahwa waktu enam tahun dinilai belum cukup efektif untuk melaksanakan pembangunan desa. Apalagi sebagian waktu
tersebut dipergunakan untuk membangun “cipta kondisi” pasca pemilihan kepada desa yang cenderung berlangsung lama.
“Isu lain yang diangkat adalah terkait kesejahteraan
Kades dan anggota Badan Permusyawaratan Desa. Kades dan perangkat desa adalah ujung tombak pembangunan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat yang berbeda dengan pemerintahan tingkat kecamatan, kabupaten, kota, dan provinsi. Namun yang penting kita ingat bersama, bahwa urgensi revisi UU Desa jangan semata-mata dikaitkan dengan isu penambahan masa jabatan kepala desa atau isu kesejahteraan Kades dan perangkat desa,” tegas Bamsoet.
Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia dan Ketua Umum Pengurus Besar Keluarga Olahraga Tarung Derajat ini menambahkan, revisi Undang-Undang Desa harus menyentuh aspek fundamental dan menjawab kebutuhan masyarakat, serta mampu mengakomodir kemajuan desa yang sudah sedemikian pesatnya. Demikian juga terkait pengelolaan dana desa yang melibatkan Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, harus diatur dalam mekanisme yang mengedepankan prinsip efisiensi dan efektivitas, tanpa melupakan akuntabilitas.
“Beberapa aspek lain yang masih menjadi pekerjaan rumah bersama, adalah peningkatan kapasitas kepala desa dan aparatur desa, implementasi otonomi desa yang baik sehingga tidak “mengamputasi” sebagian kewenangan desa, serta yang tidak kalah pentingnya adalah penyelenggaraan pemerintahan desa yang bersih dan bertanggungjawab. Ini penting, karena berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2022, kasus terkait pengelolaan keuangan desa masuk dalam daftar tiga besar korupsi terbanyak di Indonesia, dengan jumlah 601 kasus korupsi yang melibatkan 686 tersangka berasal dari aparatur desa,” pungkas Bamsoet. (*)