humaniora.id – Nafsu Besar Tapi ‘TERSANDERA’ Oleh Kenyataan Pahit.
Mudah saja bagi kita sebagai warga negara biasa, untuk memperhatikan mengapa Indonesia belum dapat bergabung ke dalam organisasi BRICS, yang baru saja mengadakan pertemuan tahunannya (annual meetings) di Johanesburg, Afrika Selatan, beberapa waktu yang lalu.
Tentu saja Indonesia tidak dapat bergabung ke dalam BRICS (berdiri tahun 2009), sebab sangat riskan bagi Indonesia untuk masuk ke dalam perkumpulan yang beranggotakan 5 negara tersebut, yaitu Barazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.
Berikut adalah ulasan sederhana tentang keadaan dan penyebab yang sebenarnya, berdasarkan pengamatan saya dari sisi sosial dan sisi ekonomi moneter.
Pertama, BRICS adalah kumpulan negara yang pada awalnya didirikan untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu mengurangi penggunaan mata uang dollar Amerika (Dedolarisasi) dalam transaksi perdagangan dan transaksi ekonomi yang terjadi di negara mereka. Sedangkan Indonesia adalah negara yang masih memiliki ketergantungan ekonomi yang sangat tinggi terhadap penggunaan mata uang dollar Amerika.
Ditambah lagi dengan lemahnya dan rentannya nilai tukar mata uang rupiah kita di kancah perdagangan dan ekonomi dunia. Bahkan, untuk kawasan ASEAN saja, mata uang rupiah adalah mata uang yang paling kedodoran dalam mengikuti arus jual beli dan penyesuaian nilai mata uang yang terjadi selama ini.
Kedua, tingginya hutang negara Indonesia terhadap badan-badan donor penghutang, seperti Bank Dunia (World Bank), Asian Development Bank (ADB), dan International Monetary Fund (IMF), yang kesemua badan-badan pendonor hutang tersebut dikuasai oleh mayoritas negara-negara Eropa dan Amerika, dan seluruh nilai hutang tersebut berada dalam bentuk dollar Amerika, maka hal tersebut membuat Indonesia semakin sulit untuk keluar dari jeratan lilitan mata uang dollar negeri Paman Sam tersebut.
Belum lagi, dengan adanya jebakan-jebakan kemiskinan yang dibuat oleh standar kemiskinan Bank Dunia, membuat Indonesia ‘harus’ selalu berhutang untuk menutupi rasio ketimpangan (gini ratio) antara rakyat miskin, rakyat setengah miskin, dan rakyat miskin ekstrem, dengan rakyat yang kaya, setengah kaya, dan kaya ekstrem.
Meskipun banyak pendapatan negara Indonesia yang masuk ke dalam kantong kasnya, seperti dari perpajakan dan hasil perdagangan eksport, tetapi semua hasil tersebut hanya mampu untuk membayar bunga hutangnya saja.
Sementara untuk membayar hutang pokoknya yang sebesar hampir 7.800 trilliun, yang mayoritas berada dalam bentuk Dollar Amerika tadi, maka negara ini harus kembali berhutang dalam bentuk dollar Amerika pula dari ‘rentenir legal’ badan-badan keuangan dunia tersebut. Pada kenyataannya, praktek ‘gali lubang tutup jurang’ tersebut pun masih terus terjadi saat ini dan entah sampai kapan.
Ketiga, meskipun sejak tahun 2014 China telah menancapkan pengaruh kebijakan ekonominya secara mendalam di pemerintahan negara ini, melalui ajakan ‘Gerakan Kemakmuran Bersama’ yang digagas oleh Xi Jinping melalui program OBOR (One Belt One Road) dan dikembangkan menjadi BRI (Belt and Road Initiative), tetapi secara realnya, masih banyak oligarki pengusaha hitam besar di Indonesia yang berlindung di bawah ketiak pemerintah, yang masih menggunakan dollar Amerika sebagai mata uang untuk kegiatan usaha mereka.
Dan meskipun jumlah pengusaha oligarki hitam ini hanya sekitar 12 sampai 15 orang, namun asset ekonomi yang mereka miliki hampir menyamai 52% nilai APBN Indonesia tahun 2023 (6.000 trilliun rupiah lebih). Artinya, benar seperti apa yang pernah disinyalir oleh Jusuf Kalla, bahwa ada 1% dari sekelompok orang di negeri ini yang menguasai hampir sekitar 90% nilai material ekonomi rakyat Indonesia.
Jadi, dikarenakan negara ini sudah menjadi bancakan dan tersandera secara ekonomi oleh dua negara besar adidaya saat ini, yaitu Amerika Serikat dan China, juga telah menjadi bancakan bagi para pengusaha hitam besar (black oligarchy) dan oknum para pejabat pemerintahannya, maka akhirnya Indonesia kehilangan kebebasannya untuk menentukan sendiri politik dan kebijakan Internasionalnya secara bebas dalam menentukan organisasi Internasional mana yang ingin dimasukinya.
Pernyataan pemimpin Indonesia di dalam pertemuan BRICS beberapa waktu yang lalu, yang menyatakan bahwa dunia seakan bergerak tanpa kompas yang jelas, dan di sisi lain, perang dan konflik telah menyebabkan tragedi kemanusiaan, diikuti dengan krisis pangan yang telah mengakibatkan puluhan juta orang jatuh miskin, sesungguhnya hanya sebuah alasan yang sangat halus atas keraguan dan ketidakmampuannya untuk masuk menjadi anggota BRICS.
Di satu sisi, godaan untuk menjadi anggota BRICS memang sangat menggiurkan, dikarenakan banyak negara-negara berkembang yang masuk menjadi anggota BRICS yang baru, yang mayoritas adalah negara berpenduduk umat Islam terbesar di dunia, yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Iran, Ethiopia, Mesir, dan Argentina.
Negara-negara anggota BRICS pastinya akan membuat komitmen yang kuat di antara seluruh anggota BRICS lainnya untuk mulai sebuah komunitas perdagangan dan komunitas ekonomi yang kuat, dengan menggunakan mata uang baru, selain dollar Amerika.
Ini artinya, BRICS sedang menyusun kekuatan penuh untuk melawan dominasi Amerika yang dinilai kebijakan ekonomi dan politik luar negerinya selalu berstandar ganda, dan selalu menyulut peperangan, baik secara fisik mapun peperangan secara proxy atau propaganda.
Ini juga jalan bagi para negara anggota BRICS untuk menghadang sistem keuangan Digital Currency yang akan segera dimainkan oleh Amerika secara massif dalam 2 atau 3 tahun mendatang di seluruh dunia.
Ditambah lagi, seluruh anggota BRICS saat ini adalah negara-negara yang menguasai hampir 30% sumber energi fosil dunia, seperti minyak bumi (Arab Saudi) dan gas alam (Rusia).
Artinya, jika seandainya Indonesia masuk menjadi anggota BRICS, maka akan terjadi transaksi yang saling menguntungkan dalam perdaganagan bahan sumber energi antara Indonesia dan sesama anggota BRICS tanpa ada campurtangan dari negara Amerika Serikat.
Lemahnya nilai tukar mata uang rupiah Indonesia terhadap nilai mata uang dollar Amerika, menjadi niatan Indonesia untuk mencoba meninggalkan dollar Amerika, dan mencoba menggunakan mata uang baru bersama negara-negara para anggota BRICS.
Namun sayang, di sisi lain, ternyata jeratan dollar Amerika di leher perekonomian Indonesia saat ini masih sangat kuat mencengkram, sehingga membuat Indonesia tidak dapat melangkah secara bebas, dan membuat Indonesia tidak mempunyai daya tawar yang cukup di kancah perekonomian dunia, karena sudah terlanjur terjerat sangat dalam oleh sang dollar.
Inilah nasib sebuah negeri besar yang tersandera, karena hanya menjadi buih dan menjadi bahan bancakan bagi negara-negara penjajah ekonomi, dan menjadi bancakan bagi para penghianat di negeri itu sendiri.
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 31 Agustus 2023
H. J. Faisal
*Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor/ Anggota PJMI