humaniora.id – Ketika kita sebagai umat Islam menerima berbagai macam bentuk rezeki dan nikmat dalam kehidupan kita, apakah itu kesehatan, keluarga yang baik-baik, uang, urusan yang serba lancar, dan lain sebagainya, pastinya kita diwajibkan bersyukur atas itu semua.
Namun terkadang, sebagian kita umat muslim hanya melakukan tindakan bersyukur tersebut atas apa yang telah kita terima dan kita nikmati. Namun jarang sekali kita berpikir bahwa sebenarnya, rasa bersyukur kita tersebut haruslah berdasarkan atas pemahaman tentang siapa yang telah memberikan nikmat tersebut.
Jika ada seseorang yang sangat kita kagumi dan kita hormati, apalagi orang tersebut juga merupakan orang yang terkenal, memanggil nama kita, dan kemudian memberikan sesuatu kepada kita, maka secara otomatis kita akan merasa bangga dan bahagia, dan akan merasa sangat terhormat karena panggilan dan pemberian dari orang tersebut. Mungkin saja pemberian tersebut tidaklah seberapa nilainya, tetapi ada nilai kebanggaan yang pastinya kita rasakan.
Begitupun sebaliknya. Jika suatu saat orang yang kita kagumi dan kita hormati tersebut memberikan sebuah nasihat atau peringatan atau kritikan atas kekeliruan yang kita lakukan, yang diberikannya khusus untuk kita, maka kita pun akan tetap merasa bangga dan senang untuk menerimanya.
Jika demikian, apakah kita merasa bangga, bahwa apa yang telah kita terima dan kita rasakan selama ini berasal dari Tuhan kita yang maha besar, Allah Ta’alla Rabbul’alamin?
Apabila kita memang selalu berusaha untuk mengenal dan berusaha untuk dekat dengan Allah Ta’alla, maka secara naluriah, kita sebagai hamba pastinya akan merasa sangat bangga dan juga akan merasa sangat senang, karena kita merasa bahwa kita sangat diperhatikan oleh Allah Ta’alla.
Dengan demikian, maka akan semakin terasa dalam diri kita bahwa dalamnya rasa syukur itu bukanlah karena apa yang telah diterima oleh kita, melainkan karena siapa yang telah memberikannya untuk kita, yaitu Allah Ta’alla, Tuhan yang maha besar dan maha pemurah.
Jangankan dalam bentuk kesenangan maupun kemudahan, ketika Allah Ta’alla memberikan kita ujian ataupun cobaan atas kuat atau tidaknya keimanan yang ada dalam diri kita, maka kita tetap akan mensyukurinya, karena kita tahu, bahwa semuanya itu berasal dari Allah Ta’alla yang sedang memberikan perhatian-Nya kepada kita.
Apakah kita tidak merasa bangga, jika kita sebagai hamba yang lemah dan sangat bergelimang dengan dosa, masih tetap mendapatkan perhatian dari Dzat Tuhan yang menguasai seluruh alam, Allah Ta’alla Rabbul’alamiin?
Inilah bentuk syukur seorang muslim yang berkualitas.
Begitupun sebaliknya. Jika kita sebagai muslim hanya mengenal Allah Ta’alla sebatas keperluan dan kebutuhan kita saja, maka ukuran rasa syukur kita hanya sebatas apa yang telah Allah Ta’alla berikan kepada kita. Maka tidaklah mengherankan jika di saat kita sedang mengalami kesulitan, kita selalu tertunduk pasrah dan berdoa meminta bantuan Allah Ta’alla untuk melepaskan semua kesulitan yang sedang kita hadapi tersebut.
Namun, ketika kesulitan tersebut telah berakhir, dan berganti dengan kesenangan dan kemudahan, maka Allah Ta’alla pun ditinggalkannya. Bagi tipikal muslim seperti ini, eksistensi Tuhan hanya sebatas kebutuhannya saja.
Bentuk rasa syukurnya pun hanya sebatas rasa syukur berdasarkan kuantitas saja.
Bahkan yang lebih berbahaya lagi, meskipun dia seorang muslim, tetapi dia merasa tidak memerlukan Allah Ta’alla sama sekali, karena dia merasa bangga dengan apa yang telah dicapai atau yang telah dia miliki, apakah dikarenakan harta yang banyak, jabatan yang tinggi, merasa kuat (powerful) atas kewenangan yang dimilikinya, merasa sudah berilmu tinggi, atau juga karena dia merasa selalu sehat, aman dan nyaman dalam hidupnya. Inilah tipikal muslim yang sesungguhnya sedang menikmati suasana istidraj dari Allah Subhannahu wata’alla. Naudzubillah.
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 24 September 2023
H. J. FAISAL Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor/ Anggota PJMI
Comments 1