humaniora.id – Para pelaku industri perfilman yang tergabung di Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) menunjukkan komitmennya dengan memberi kepercayaan kepada generasi muda untuk memimpin organisasi yang sudah dirintis sejak tahun 1955 ini.
Peran angkatan muda Indonesia dinilai sangat krusial dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Salah satu pertumbuhan ekonomi tersebut melalui sektor industri perfilman.
Melalui MUBES (Musyawarah Besar) GPBSI Ke-9, organisasi ini menetapkan Suprayitno sebagai Ketua Umum GPBSI Masa Bakti 2024-2029. Menggantikan Djonny Sjafruddin yang telah memimpin GPBSI sejak terpilih pada Mubes Ke 5 tahun 1998 menggantikan HM Johan Tjasmadi.
Musyawarah Besar Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Ke-9 diselenggarakan di Gedung Metropole, Jakarta Pusat, Kamis, 21 November 2024.
“Saya sudah menjadi Ketua Umum GPBSI selama 4 periode. Jadi sekarang saatnya yang muda tampil. Karena eranya juga sudah berubah. Biarkan yang muda-muda maju dan belajar memimpin organisasi. Kami yang sudah tua duduk sebagai Pembina saja,” ujar Djonny Syafruddin dalam sambutan pembukaan Mubes.
Pemilihan Ketua Umum dan jajaran pengurus lainnya dilakukan oleh Tim Formatur yang terdiri dari H. Djonny Sjafruddin, Tri Rudi Anitio dan Ali Sastro. Atas persetujuan peserta Mubes Ke-9, ketiga tokoh perfilman Indonesia ini diberi kewenangan menyusun kepengurusan GPBSI Masa Bakti 2024-2029, baik Dewan Pengurus maupun Dewan Pembina.
Usai bersidang Tim Formatur mengumumkan jajaran Kepengurusan GPBSI Masa Bakti 2024-2029. H. Djonny Sjafruddin, SH, Tri Rudi Anitio, dan Ali Sastro (Dewan Pembina).
Ketua Umum Suprayitno, Ketua Bidang Organisasi Raddy Radittya (Ex Officio), Ketua Bidang Hukum Albert Tanoso, SH (Ex Officio), Ketua Bidang Usaha & Pengembangan Julius Lianto (Ex Officio), Ketua Bidang Kelembagaan Dermawan Awi Lian (Ex Officio),
Sekretaris Umum Toto Soegriwo, Sekretaris Koesoema Mintha Wardhani, Bendahara Jimmy Herjanto Darmasasmita, dan Humas Sulaiman Syakib.
Masa bakti kepengurusan DPP GPBSI hasil Mubes Ke-8 tahun 2017 harusnya sudah berakhir bulan November 2022 lalu. Namun karena situasi dan kondisi terkait adanya Pandemi Covid-19 yang melanda dunia mulai pertengahan Maret 2020 hingga akhir 2021, terpaksa Mubes diundur pelaksanaannya dan baru terlaksana sekarang.
Suprayitno, Ketua Umum GPBSI Masa Bakti 2024-2029 terpilih dalam sambutannya mengatakan, bahwa dirinya tidak berambisi menjadi Ketua Umum GPBSI.
“Ini amanah yang ditugaskan kepada saya. Harus saya terima dan sayajalankan dengan sebaik-baiknya. Menjadi pemimpin itu tidak mudah, karena seorang pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya atas yang dipimpinnya” tegas Suprayitno.
Suprayitno berjanji akan berupaya dan bekerja maksimal mengantarkan GPBSI menjadi organisasi solid menghadapi berbagai dinamika, peluang dan tantangan.
Pihaknya mengajak seluruh anggota bersinergi dengan baik. Setiap anggota akan diberikan semacam Kartu Tanda Anggota / Sertifikat Keanggotaan GPBSI dan setiap anggota memiliki hak dan kewajiban yang sama tidak akan dibeda-bedakan.
“Saya berharap jajaran Dewan Pengurus dapat bersinergi. Sehingga setiap permasalahan dapat diselesaikan melalui forum organisasi. Saya belum bisa berjanji, tapi saya akan berupaya maksimal melaksanakan amanah Mubes,” ujarnya.
*Industri Perfilman dan Peran GPBSI*
Keberadaan bioskop di Indonesia tak lepas dari kancah industri perfilman di tanah air. Usaha perbioskopan akan stabil bilamana produksi film juga berjalan. Demikian sebaliknya.
Pasang surutnya industri perfilman di tanah air tentu tak lepas dari peran serta bioskop. Hal ini tentu akan melibatkan lembaga yang menaunginya; Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI). Dimana lembaga ini memiliki peran penting untuk menciptakan iklim bisnis pertunjukan film yang dapat dikelola secara kondusif.
Membina dan mengembangkan kemampuan, kegiatan dan kepentingan perusahaan bioskop dalam usaha pertunjukan film. Menjadi wadah komunikasi dan konsultasi baik antar sesama perusahaan bioskop maupun dengan organisasi profesi terkait. Menjembatani kepentingan antara perusahaan bioskop dengan pemerintah dan atau sebaliknya.
Permasalahan dan tantangan yang dihadapi usaha perbioskopan — sebagai bagian dari perkembangan perfilman nasional semakin kompleks, berskala besar dan bersifat menyeluruh. Hal inilah yang menuntut adanya peningkatan sikap dan pemahaman kita tentang fungsi perfilman. Bukan hanya menempatkan film sebagai komoditas, tetapi juga menjalankan fungsi sosialnya. Film adalah ‘jendela dunia’ dengan arus informasi dan edukasi yang bergerak dengan cepat.
Sejarah Singkat GPBSI
Nama Gabungan Perusahaan/Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) digunakan mulai tahun 1970. Waktu terbentuk di bioskop “Metropole” Jakarta tanggal 10 April 1955, persatuan bioskop memakai nama Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (PPBSI). Tanggal itulah yang diakui sebagai kelahiran organisasi bioskop Indonesia. Meskipun organisasi ini kemudian berganti nama beberapa kali.
Susunan Pengurus Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (PPBSI) Periode 1955 – 1957 adalah; (Penasihat Hukum) Maria Ulfah Santoso, (Penasihat) R. Prodjolalito, Bh. Sabarudin, Mr. Sou Hong Tjoen, Kartono Hadidjojo SH, (Ketua) Roeslan Abdulmanan, (Wakil Ketua) Oey Soen Tjan, (Penulis) Loa Tin Sioe dan (Bendahara) Oei Soei Jam.
Maksud membentuk PPBSI kala itu, adalah untuk menghadapi importir (asing maupun nasional) dan produser Indonesia. Importir asing (Amerika) telah membentuk AMPAI, yang terdiri dari Paramount, MGM, Universal, Fox, United Artists, RKO, Columbia dan Warner Bros. Importir nasional sebagian kecil tergabung dalam Gabungan Film Importir Nasional Indonesia (GAFINI), Geliga, Tenaga Kita, Persari, Djakatraco dan Ifdil.
Kemudian Ifdil menggabungkan diri dengan Serikat Importir Film Nasional (SIFIN) bersama ODO, Djakarta Film, Gamelan, Merpati, Intra, Inter Asia, Harapan, Nusantara, Kongsi Selatan dan SMR Shahab. Belasan produser nasional bergabung dalam Perserikatan Pengusaha Film Indonesia (PPFI) pimpinan Usmar Ismail, yang pengurus lengkapnya memperkenalkan diri pada 6 Agustus 1954 di Hotel des Indes (kini Duta Merlin) Jakarta.
Disamping organisasi yang dipimpin Roeslan, para pemilik bioskop di daerah juga membentuk organisasi pengusaha bioskop. Di Yogyakarta dibentuk GAPEBI (Gabungan Perusahaan Exploitasi Bioskop Indonesia pada 5 Januari 1950. Di Solo ada Perserikatan Perusahaan Exploitasi Bioskop Indonesia (PERPEXBI). Setelah PERPEXBI bubar pada bulan Mei 1952 dan menjadi GAPEBI Cabang Solo, Kongres GAPEBI bulan Oktober 1953 mengusahakan terbentuknya satu gabungan bioskop Indonesia. Nyatanya keinginan baik itu baru terlaksana hampir 2 tahun kemudian di Jakarta pada tanggal 10 April 1955.
Ketika itu, film-film produksi Hollywood lebih disukai masyarakat dibanding film produksi negeri sendiri. Mereka belum bisa mencerna film nasional yang dipelopori oleh Usmar Ismail lewat PT. PERFINI. Maka film impor lebih mendominasi bioskop Indonesia.
Tahun 1950, film-film nasional yang disensor sebanyak 54 judul, sedangkan film impor 863 judul. Dominasi film Amerika terlihat dalam daftar impor tahun-tahun berikutnya. Tahun 1951 film Amerika sepanjang 1,3 juta meter dari keseluruhan 3,8 juta meter. Tahun berikutnya sepanjang 1,2 juta meter dari total 3,1 juta meter. Tahun 1954 sepanjang 1,5 juta meter dari 2,3 juta meter. Sementara pada tahun 1956 sebanyak 250 judul. Sementara dari negara-negara lain cuma 174 judul.
Hingga tahun 1958 urusan film masih ditangani oleh beberapa Kementerian (Departemen). Film Amerika masih merajai bioskop kelas atas. Sementara sejumlah film dari negara lain main di bioskop bawah, yang justru merupakan lahan utama film Nasional.
Produksi film Indonesia memang sempat naik (sebentar), namun tidak lama kemudian meluncur ke bawah lagi. Tahun 1959 film Indonesia diproduksi 16 judul. Tahun 1960 (38 judul), tahun 1961 (37 judul), tahun 1962 (12 judul), tahun 1963 (19 judul), tahun 1964 (20 judul), tahun 1965 (15 judul) dan tahun 1966 (13 judul). Dominasi film Amerika sudah nampak sejak tahun 1939 yang mencapai 65%.
Kemudian disusul film China (12%), Perancis (4,8%), Jerman (4,5%), Inggris (3%), Belanda (3,1%) dan Jepang (0,2%). Tahun 1950 termasuk sensor ulang, film Amerika sebanyak 660 judul, Cina 76 judul, Inggris 57 judul, Perancis 13 judul dan India 12 judul.
Bisnis bioskop masih baik ketika musim film Malaya dan India serta waktu AMPAI mengalami zaman emas (1952-1960). Sempat tercapai rekor penonton 450 juta orang pada tahun 1960. Tapi, tahun 1961-1965 merupakan saat-saat paling kritis dalam sejarah perfilman nasional. Pada periode yang tidak lama itu, jumlah bioskop yang semula 890 di tahun 1960, tinggal 350 ditahun 1966.
30 April 1964, dimulailah aksi pemboikotan film Amerika oleh PKI yang didukung oleh SARBUFIS dan LEKRA. Kemudian mencoba menggantikannya dengan film-film dari negara sosialis. Apa yang disebut Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS) itulah “biang kerok” tutupnya bioskop. Penonton tidak doyan film sosialis. Pada tahun-tahun “gelap” itu bioskop yang jumlahnya 890 pada tahun 1960 berkurang menjadi 800 pada tahun 1962. Berarti satu bioskop untuk 130 orang. (Penduduk 96 juta orang).
Di tengah keterpurukan itu,ada hal yang menggembirakan. Yakni terselenggaranya rapat GAPEBI tanggal 1-2 April 1960 di Solo, yang memutuskan bersedia berfusi. Sementara pada 8-10 April 1960 di Salatiga PPBSI juga mengambil keputusan yang sama. Pengurus kedua organisasi itu kemudian mengadakan pertemuan di Kaliuran tanggal 14-15 Mei. Lahirlah GABSI (Gabungan Bioskop Seluruh Indonesia). Didahului “pernyataan bersama” yang ditanda tangani oleh wakil PPBSI Roeslan Abdulmanan dan Darjono dari GAPEBI.
Pimpinan GABSI berbentuk presidium, yang terdiri dari Roeslan Abdulmanan (PPBSI), Darjono (GAPEBI), Oey Soen Tjan (PPBSI) dan Kaharuddin (GAPEBI) serta Sekretaris I Surjanto (GAPEBI), Sekretaris II Sjaiful (PPBSI) dan Kantjipto (Kan T.T.) dari PPBSI. Kemudian tanggal 21-25 Januari 1961 diadakan Konferensi Bersama GAPEBI dan PPBSI di Lembang (Bandung), yang memutuskan antara lain merubah nama GABSI menjadi Organisasi Perusahaan Sejenis (OPS) Bioskop Swasta.
Perubahan nama itu berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 19 Tahun 1960 berhubung dengan pembentukan “Perusahaan Sejenis”. Setelah AMPAI bubar (1963-1965) merupakan zaman permulaan runtuhnya perbioskopan di daerah. Akhir 1965 sampai pertengahan 1967 adalah waktu kehancuran total dari penutupan bioskop. Tahun 1968 bioskop yang masih bertahan mulai bisa bernafas karena pasokan film (impor) baru dan dalam jumlah yang banyak. Sampai September 1967 adalah masa emas dari para importir. Hanya dengan wilayah peredaran Jakarta, modal mereka sudah kembali.
Usaha perbioskopan semakin bangkit dengan terbentuknya Direktorat Film di bawah Departemen Penerangan tahun 1966. Sebagai lembaga baru, Direktorat Film belum dapat berbuat banyak sampai akhir 1967. Kran impor dibuka sebagai upaya darurat. Namun tindakan (darurat) pemerintah untuk menghidupkan bioskop itu dicurigai hanya menguntungkan China. Karena 90% bioskop saat itu dimiliki China. Padahal dana impor film tersebut dimanfaatkan untuk memajukan dunia perfilman Indonesia. Setiap judul film impor dikenakan sumbangan.
Tahun 1968 didirikan Dewan Produksi Film Nasional (DPFN) yang memberi dampak positif. Antara lain pulihnya kepercayaan penonton. Kemudian timbul kepercayaan untuk berproduksi dan produksi nasional memperoleh contoh dari 4 film yang diproduksi DPFN. Film tersebut adalah, Djampang Mentjari Naga Hitam, Apa Jang Kau Tjari Palupi, Matt Dower dan film Nji Ronggeng.
GPBSI dan Festival Film Indonesia
GPBSI juga ikut berperan dalam kegiatan Festival Film Indonesia (FFI) sejak tahun 1973. Bukan saja dalam penyediaan piala khusus untuk film “terlaris” tetapi juga dalam pelaksanaan FFI bersama dengan 4 organisasi lain yang disebut Panca Tunggal Perfilman (PARFI, KFT, PPFI dan GASFI).
Mulai 1977 piala khusus untuk film laris itu disebut Piala “Antemas.” Mengambil nama seorang tokoh perfilman nasional, H. Antemas, seorang Pancasilais yang berani terang-terangan menentang PKI dengan PAPFIAS-nya. Beliau meninggal secara mendadak pada 21 Desember 1970, saat berlangsung Musyawarah Besar (Kongres) OPS Bioskop Swasta, (19 – 23 Desember 1970). Setelah Kongres tersebut, organisasi bioskop berubah nama menjadi GPBSI.
Bersama Panca Tunggal Perfilman, FFI diadakan tiap tahun dengan tempat berpindah-pindah. Setelah Jakarta (1973), dan Surabaya (1974), pada 1975 berlangsung di Medan. FFI 1975 di Medan bertemakan “Menjadikan Film Nasional Tuan Rumah di Negeri Sendiri’. Usaha lebih konkret untuk mencapai hal itu adalah dikeluarkannya SKB 3 Menteri tertanggal 20 Mei 1975 : SK Menpen No. 49/Kep/75, SK Mendagri No. 88A/75 dan SK Mendikbud No. 096/A/U/75. Dalam SKB tersebut menyebutkan bahwa semua bioskop diwajibkan memutar film nasional minimal 2 (dua) kali setiap bulan.
Disamping itu juga coba merubah sistem peredaran yang import oriented ke orientasi peredaran film nasional. Untuk itu didirikan PT. Peredaran Film Nasional (PERFIN), yang sahamnya dimiliki oleh GPBSI dan PPFI. Dengan keterlibatan GPBSI secara langsung dalam PT. PERFIN, sedikit banyak menghapus citra tak sedap bioskop sebelumnya yang dianggap kurang membantu film nasional.
Bioskop Kembar
Tahun 1988 di Jakarta masih didominasi bioskop konvensional. Baru ada 15 kembar dua, sebuah kembar tiga “Kartika Chandra” serta dua bioskop kembar empat “Studio 21” dan “Odeon”. Yang membelah diri menjadi dua antara lain “Cathay” semua berkapasitas 1.573 kursi, “Cengkareng” 1.000 kursi, “Chandra” 1.059 kursi, “Golden” 545 kursi, “Megaria/Metropole” 1.229 kursi dan “Mitra” 700 kursi.
Tahun 1989 ramai bermunculan bioskop-bioskop kembar, dan tidak hanya di Jakarta. Dibuka dengan peresmian kembar tujuh “Studio 21” di Pontianak pada 3 Februari 1989; dan “ditutup” dengan dimulainya pengoperasian “Slipi 21” (kembar empat) pada 29 Desember 1989 di pusat pertokoan Slipi Jaya Plaza. Kemudian juga dibuka “Studio 21” kembar empat di Semarang tanggal 7 Maret 1989.
Sehari kemudian kembar enam “Studio 21” di bekas “Pasundan Theater” Bandung. Menyusul kembar empat “Empire” di pusat perbelanjaan Grand Center Jakarta Selatan. Bulan Agustus lahir dua bioskop kembar empat “Globe” di Pasar Baru dan “TIM” di Cikini. Sebulan kemudian kembar empat muncul di Kelapa Gading Permai “Gading 21”, kembar tiga “Glodok Sky” dan kembar empat “Columbia” di Jakarta.
Di bulan Desember 1989 bioskop kembar terus bermunculan di berbagai kota. “Studio 21” di bekas gudang rokok Ujung Pandang, “Murni” di Ciputat, kembar lima “Studio 21” di Surabaya, “Empire 21” yang kembar sepuluh di Bandung Indah Plaza. Jika tahun 1988 cuma 18 bioskop, pada 1989 jumlah bioskop kembar di Jakarta bertambah 30 buah menjadi 48 buah.
Di Semarang berdiri kembar delapan “Atrium” pada tanggal 25 Desember 1989. Pada tanggal yang sama diresmikan kembar delapan “Atrium” di Solo Baru Plaza. Bioskop-bioskop kembar juga bermunculan di daerah lain seperti Aceh, Sumatera Barat, Jambi, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Riau.
Setelah diresmikannya “Studio 21” di Ujung Pandang pada 15 Desember 1989, pengelola bioskop kembar enam itu mengatakan, setelah melihat animo masyarakat setempat, pihaknya akan lebih mengutamakan memutar film-film nasional. Tentunya hal itu merupakan lahan bagi film nasional serta mempunyai kesempatan yang sama untuk diputar di ruang-ruang bioskop yang jelas memerlukan film itu.
Bahkan menurut H.M. Johan Tjasmadi ketika itu, GPBSI tidak ingin mendendangkan lagu lama “menjadikan film Indonesia tuan rumah di negeri sendiri’, tetapi ingin bersenandung lagu baru “semoga film Indonesia tidak saja dicintai oleh bangsanya, tetapi juga menjadi kebutuhan sehari-hari’. Kalau demikian, maka film Indonesia harus dapat didambakan sebagai tontonan dan tuntunan.
Kini setengah abad lebih perjalanan roda organisasi GPBSI. Banyak sudah yang sudah dituai, baik pahit, manis, maupun getir. Berbagai kendala, rintangan dan tantangan yang dihadapi. Tetapi tidak menyurutkan niat dan langkah pengurus terus berjuang dalam rangka turut memajukan dan mengembangkan dunia perfilman nasional. GPBSI banyak memberikan sumbangsih terhadap dunia perfilman di tanah air. Namun seperti organisasi profesi perfilman lainnya, karena minimnya dana organisasi dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap organisasi profesi perfilman, membuat GPBSI seolah “hidup segan mati tak mau.”/***