humaniora.id – Sejarah Kerajaan Majapahit. Kejayaan Kerajaan Majapahit Ditinjau Dari Sistem Geopolitik Indonesia.
Berdirinya Majapahit
Pada tahun 1292, Kerajaan Singasari yang sudah berusia 70 tahun runtuh akibat pemberontakan dipimpin oleh Jayakatwang, sehingga Raja Singasari Kertanegara terbunuh, dan menantunya Raden Wijaya melarikan diri. Kejadian itu diikuti dinamika politik dengan melibatkan kekuatan asing, yaitu Tiongkok yang saat itu dikuasai oleh Dinasti Yuan di bawah Kubilai Khan dari Mongol. Pada 1293 Kubilai Khan yang belum memahami perubahan politik di Jawa mengirim ekspedisi dipimpin oleh Ike Mese untuk memaksa Kertanegara tunduk, sekaligus “menghukum” Kertanegara yang telah menghina Mongol.
Sebelumnya, Mongol melalui utusannya pernah menyampaikan pesan agar Singasari tunduk. Akan tetapi, oleh Kertanegara utusan itu dilukai wajahnya, sehingga memancing kemarahan Kubilai Khan. Dengan jatuhnya Kertanegara, misi beralih agar penguasa baru tunduk kepada Mongol. Kedatangan Mongol didengar oleh Raden Wijaya yang mendekati Ike Mese untuk menjatuhkan Jayakatwang dengan imbal balik akan tunduk kepada Mongol jika Jayakatwang
takluk. Setelah Jayakatwang takluk, Raden Wijaya balik memukul tentara Mongol hingga keluar dari Jawa (Chen, 1967, hal. 53). Peristiwa itu memulai era Majapahit yang berlangsung lebih dari 200 tahun.
Kejayaan Majapahit
Majapahit kemudian berkembang menjadi kerajaan besar dengan cakupan seluruh wilayah Nusantara. Founding father Muhammad Yamin dalam bukunya Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Bangsa (1986, hal. 61-64) mengungkap bahwa dalam kitab Negara Kertagama karya Mpu Prapanca yang ditulis pada 1365, wilayah Majapahit pada puncak kejayaannya meliputi “Daerah yang Delapan” di Nusantara, yaitu seluruh Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan (Tanjungnegara), Semenanjung Melayu, sebelah timur Jawa dan seluruh Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Selain itu, ada beberapa wilayah Asia yang disebut sebagai “Negara Teman”, yaitu Siam, Darmanagara, Martaban (Birma), Kalingga,
Singanagari, Campa, Kemboja, dan Annam (Yawana). Upaya Majapahit menyatukan Nusantara tidak terlepas dari peran Patih Gajah Mada dengan Sumpah Palapanya, yaitu suatu sumpah untuk mempersatukan Nusantara di bawah Majapahit (Yamin, 1986, hal. 52). Untuk mewujudkannya, Gajah Mada tidak hanya mengembangkan angkatan perang di matra darat, tetapi juga matra laut di bawah Laksamana Nala. Tidak hanya cakap dalam ekspansi militer, Gajah Mada sebagai patih memimpin empat rakaryan atau menteri negara. Selain itu, di Majapahit telah terdapat berbagai jawatan yang mengurus berbagai bidang, seperti bea cukai, kesehatan, pengairan, kesejahteraan umum, hasil bumi, serta pemeliharaan jalan, keraton, candi, dan gedung-gedung pemerintah (Yamin,
1986, hal. 38-39).
Yamin berpendapat bahwa dalam menyusun strategi mempersatukan Nusantara Gajah Mada sangat mencermati konstelasi politik manca negara, seperti merosotnya Dinasti Yuan di Tiongkok, perpecahan di India, serta suksesi kekuasaan di Birma dan Siam, Oleh sebab itu, faktor eksternal memuluskan upaya Gajah Mada dalam “memperkuat Susunan Nusantara dalam lingkaran Asia dengan tidak terganggu-ganggu” (Yamin, 1986, hal. 64-66).
Slamet Muljana (2005, hal. 68) memperkirakan, hubungan Majapahit dengan daerah di luar Jawa “tidak seintensif” seperti halnya dengan wilayah di Jawa. Ini mengacu pada tata pemerintahan Majapahit di Jawa yang menempatkan kerajaan-kerajaan di bawahnya sebagai daerah swatantra (otonom). Pada konteks itu, daerah-daerah yang ada di bawah Majapahit memberi pajak atau upeti lebih sebagai tanda pengakuan atas kekuasaan Majapahit.
Kejayaan Majapahit turut didukung oleh stabilitas dalam negeri yang menghargai keragaman. Hal itu terlihat dari Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular yang memaparkan toleransi antara umat Hindu dengan umat Budha pada masa Majapahit: “Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa (Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Berbeda-bedalah itu,
tetapi satu jualah. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran)” (Tantular, 2009, hal. 504-505).
Kemunduran dan Runtuhnya Majapahit
Kerajaan Majapahit berangsur-angsur mengalami kemunduran setelah mangkatnya Patih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk berturut-turut pada tahun 1364 dan 1389. Setelah itu, berbagai perpecahan dan perang saudara, seperti Perang Paregreg (1404-1406) mengakibatkan Majapahit semakin kehilangan kontrol atas wilayah-wilayah di daerah, sehingga satu per satu wilayah berdiri sendiri dari Majapahit. Pada dimensi global, di Tiongkok terjadi suksesi dari Dinasti Yuan ke Dinasti Ming.
Penguasa baru di Tiongkok menjalin misi diplomatik di bawah Laksamana Zheng He yang melakukan muhibah ke berbagai penjuru dunia, termasuk Nusantara. Menguatnya posisi Tiongkok turut memperlemah Majapahit, karena ada beberapa bagian Majapahit, seperti Puni di Kalimantan yang kemudian mengalihkan pembayaran upeti kepada Tiongkok.
Pada akhir abad ke-15, kekuasaan Majapahit hanya tersisa di bagian tengah dan timur Pulau Jawa. Selanjutnya, memasuki akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, Spanyol dan Portugis berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah di Nusantara, sehingga semakin melemahkan hubungan Majapahit yang sudah semakin kecil dengan kerajaan-kerajaan lain (Yamin, 1986, hal.81-87).
Ada beberapa versi mengenai periode keruntuhan Majapahit. Arkeolog UI Hasan Djafar mengatakan bahwa menurut penjelajah asal Venesia Antonio Pigafetta, Majapahit pernah dikuasai oleh Pati Unus yang wafat pada tahun 1521. Hasan memperkirakan bahwa Majapahit dikuasi Pati Unus pada tahun 1519, sehingga peristiwa itu dianggap sebagai simbol hilangnya kedaulatan Majapahit (Putri, t.t). Pati Unus sendiri secara umum dikenal sebagai penerus kekuasaan Demak dari Raden Patah, yang tidak lain masih merupakan keturunan Raja Majapahit.
Muhammad Yamin menyebutkan penyerbuan Pati Unus ke pusat kerajaan Majapahit merupakan salah satu penyebab keruntuhan Majapahit. Akan tetapi, Majapahit dikatakan benar-benar runtuh pada tahun 1528 setelah ditandatanganinya perjanjian antara Panarukan dengan Malaka. Menurut Muhammad Yamin, hal ini menggambarkan bahwa Majapahit tidak lagi memiliki kekuasaan atas Panarukan, sehingga “Semenjak itu lenyaplah nama dan kemegahan Majapahit, diselubungi awan sejarah tidak ada habis-habisnya” (Yamin, 1986, hal. 89).
Bersambung ke halaman : Majapahit dan Proses Kemerdekaan Indonesia
Sumber : Official website Komite Seni Budaya Nusantara ( KSBN ) https://www.ksbnindonesia.org/
Comments 1