Humaniora.id, Jakarta – Sejumlah anggota Forum Kajian Indonesia-Amerika menghadiri diskusi yang membahas warisan budaya maritim bawah laut di MyAmerica, Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jakarta (21/8). Diskusi ini dihadiri oleh para peneliti dan akademisi yang memiliki minat dalam studi lintas disiplin mengenai hubungan Indonesia dan Amerika, termasuk tourism dan blue economy.
Pembicara utama dalam diskusi bertajuk “Preserving Underwater Cultural Heritage” tersebut adalah Dr. Jennifer McKinnon, seorang profesor kajian maritim di East Carolina University (ECU), Amerika Serikat. Presentasi Dr. McKinnon berfokus pada pelestarian dan promosi warisan budaya, dengan penekanan khusus pada warisan budaya bawah laut.
Sesi diskusi ini dirancang untuk melibatkan kaum muda dan profesional yang bersemangat tentang studi kelautan (termasuk keamanan laut, hukum internasional maritim), perikanan, warisan budaya, dan arkeologi, sekaligus menunjukkan bagaimana bidang-bidang ini saling berhubungan dan bagaimana mereka berkontribusi untuk melestarikan sejarah melalui upaya konservasi bawah laut.
Dalam paparannya, Dr. McKinnon juga menekankan pentingnya memperhatikan warisan budaya bawah laut, termasuk bangkai kapal perang Amerika USS. Houston yang tenggelam di Laut Sunda pada Perang Dunia II.
Kapal USS Houston Tenggelam di Indonesia
USS Houston adalah sebuah kapal penjelajah kelas Northampton. Ia diluncurkan dari galangan kapal pada tanggal 7 September 1929.
Pada tahun 1933, kapal ini pernah membawa presiden terpilih Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt berlayar sejauh 19.308 km sehingga dijuluki “Little Flagship of the Fleet” (Kapal bendera kecil dari armada).
Ketika Perang Pasifik pecah, Houston merupakan kapal bendera Armada Asia untuk Amerika Serikat. Dalam pertempuran di Laut Bali, kapal ini terkena serangan bom pesawat terbang Jepang, yang membuat turet meriam nomor tiganya rusak. Ia berkali—kali dikabarkan tenggelam oleh propaganda Jepang selama pertempuran di perairan Hindia Belanda, kapal ini dijuluki oleh awaknya sebagai “Galloping Ghost of the Java Coast” atau Hantu Gentayangan di Perairan Jawa.
Lolos dalam pertempuran di Laut Jawa, kariernya sebagai hantu gentayangan berakhir saat Houston disergap dan ditenggelamkan oleh Angkatan Laut Kekaisaran Jepang dalam Pertempuran Selat Sunda pada tahun 1942.
Pada 2017, miniatur Houston menjadi bagian dari hibah pemerintah Amerika Serikat kepada Museum Bahari di Jakarta. Naasnya, pada tahun 2018, api melahap Museum Bahari beserta koleksinya, termasuk miniatur Houston.
Menurut McKinnon, situs USS Houston tersebut memiliki nilai signifikan tidak hanya untuk sektor perikanan, tetapi juga untuk pengembangan pariwisata, studi lokasi peperangan (battlefield studies), serta penelitian tentang konstruksi kapal.
Dr. McKinnon juga menggarisbawahi urgensi preservasi warisan budaya tersebut, mengingat banyaknya ancaman yang dihadapi oleh situs-situs bersejarah di bawah laut akibat perubahan iklim dan aktivitas manusia.
Urgensi Kajian Warisan Budaya Bawah Air
Kajian tentang preservasi warisan budaya bawah air (underwater cultural heritage) merupakan bidang yang semakin penting dalam arkeologi dan pelestarian budaya. Warisan budaya bawah air mencakup berbagai artefak, bangunan, dan situs yang terletak di bawah permukaan air, seperti kapal karam, kota yang tenggelam, dan situs pemakaman bawah laut.
Menurut Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air (2001), warisan ini mencakup semua benda yang terletak di bawah permukaan air dan memiliki nilai sejarah, arkeologis, atau budaya. Contohnya adalah kapal karam, situs arkeologi yang terendam, dan artefak yang hilang di laut.
Warisan budaya bawah air memberikan wawasan tentang sejarah maritim, perdagangan, dan interaksi antarbudaya. Situs-situs ini sering terancam oleh aktivitas manusia, seperti penangkapan ikan yang berlebihan, pencemaran, dan perubahan iklim. Kajian dan preservasi warisan budaya bawah air adalah upaya penting untuk melindungi dan memahami sejarah manusia.
Hadir dalam diskusi ini, anggota Forum Kajian Indonesia-Amerika yang terdiri dari para peneliti lintas disiplin, antara lain Yanuardi Syukur, Ade Purwanto, Sofyardi Rahmat, Muhammad Ibrahim Hamdani, Subandriyah, Ana Fauzia, Fathul Hamdani, Siti Nur Hidayati, Munawir Aziz, Indri Retno Putranti, Qanita Indriani Setiono, Farinia Fianto, dan Lili Dahliani.
Mereka juga secara aktif menyampaikan pandangannya tentang studi warisan budaya, edukasi publik, peran film dalam edukasi warisan maritim, proteksi hukum, geopolitik Asia-Pasifik, hingga apa dampak karamnya USS Houston bagi Amerika Serikat.
Adapun Dr. McKinnon adalah seorang arkeolog bawah laut dan terestrial serta Profesor Studi Maritim di Departemen Sejarah di East Carolina University. Ia memiliki latar belakang dalam arkeologi sejarah dan maritim serta manajemen budaya. Bidang penelitiannya meliputi arkeologi kolonial Spanyol, arkeologi dan sejarah U.S. Life-Saving Service, arkeologi konflik Perang Dunia II di Pasifik, arkeologi lanskap dan bentang laut, konservasi dan pelestarian in situ, dan Arkeologi Komunitas.
Peluang Kolaborasi
Sebelumnya, Dr. McKinnon mengatakan bahwa telah ada upaya luar biasa yang telah dilakukan untuk melestarikan USS Houston. “Terdapat peluang untuk menciptakan jaringan dan kolaborasi antara AS dan Indonesia,” ujar Dr. McKinnon di @America, Jakarta (20/8).
Dr. McKinnon mengungkapkan bahwa pelestarian ini bukan tanggung jawab Amerika Serikat pemilik sebagai kapal, melainkan membutuhkan kerja sama dengan Indonesia.
“Pelestarian USS Houston dan situs lainnya tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Kita harus bekerja sama antar negara untuk menciptakan rencana pengelolaan yang memiliki dukungan dan pendanaan jangka panjang,” ujarnya.
Namun, untuk meningkatkan kesadaran pelestarian tersebut, diperlukan kontribusi masyarakat lokal. Melalui arkeologi komunikasi, yang melibatkan penelitian serta masyarakat yang aktif dalam melakukan proses tersebut.
Maka, untuk memperkenalkan situs-situs tersebut menurutnya perlu menekankan pentingnya edukasi dan keterlibatan komunikasi. Dengan meningkatkan kesadaran dan keterlibatan masyarakat, pelestarian budaya bawah air agar dapat berhasil dilakukan.
Terakhir, ia menekankan pentingnya edukasi dan keterlibatan komunitas. Dengan meningkatkan kesadaran dan keterlibatan masyarakat, pelestarian budaya bawah air dapat berhasil dilakukan.