BANDUNG, humaniora.id – Saat ini film Indonesia lebih banyak dibanjiri berbagai film hiburan bertema horor, komedi, aksi, dan romantis. Produser cenderung fokus pada genre-genre tersebut karena dianggap lebih menguntungkan secara komersial.
Beberapa produser bahkan kurang tertarik memproduksi film bertema didaktik karena tingkat resiko dan keberhasilannya sulit diprediksi.
Namun kita patut menyambut baik, sebuah rumah produksi yang berbasis di daerah, di Kota Cimahi Kabupaten Bandung justru berani mengambil resiko tidak populis.
Adalah rumah produksi anyar Production House Visi Sinema Pro Cimahi dan Ice Blue Production yang kini tengah memproduksi film bertajuk “Kompi Daeng.”
Upaya kultural ini disambut positif Dewan Kebudayaan Kota Cimahi, Pemerintah Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat yang turut mendukung produksi film bertema sejarah ini.
“Ini film besar pertama dengan durasi 90 menit yang kami produksi. Kami didukung oleh para pemangku kepentingan, baik para seniman, budayawan, pendidik, maupun pemerintah daerah,” terang Dede Syarif HD, sutradara sekaligus penulis naskah cerita film ini kepada humaniora.id, melalui pesan whatsapp, Jum’at (07/02/2025).
Menurut Dede Syarif HD, kadangkala aklimatisasi film di Indonesia kerap mengikuti tren global. Jika tren global lebih condong ke arah hiburan murni, maka produksi film di Indonesia juga akan mencerminkan hal itu.
Namun demikian keberadaan film edukasi tetap penting. Dengan dorongan lebih besar dari masyarakat, produsen, dan Pemerintah kita dapat memproduksi lebih banyak film edukasi yang bermanfaat bagi generasi bangsa Indonesia.
“Semua pihak perlu bekerja sama untuk mengangkat nilai edukatif dalam industri perfilman Indonesia,” tegas Dede Syarif HD, yang juga seorang aktor dan seniman ini.
Film “Kompi Daeng” sarat dengan nilai edukasi sejarah, dan patriotisme para pejuang Cimahi dan Bandung Raya. Cerita fiksi yang dinukil dari buku sejarah “Prahara Cimahi Pelaku dan Peristiwa” (30 Oktober 1945 – 28 Maret 1946) yang ditulis oleh SM Arief.
Film “Kompi Daeng” disutradarai Dede Syarif HD, dengan Co.Sutradara Ivo Voynot, Produser Firman Maliksyah, dan Pimpinan Produksi Lukman Nul Hakim.
Sejumlah aktor dan aktris yang terlibat peran dalam film ini antara lain, Surya R. Kusumah, Fikri Aziz, Sandi Tarhedi, dan Aurelia. Didukung para pemain lokal Bandung, Cimahi, serta menampilkan bintang tamu Wahyu Widiatmoko (Ketua DPRD Cimahi), dan Ayi Kosasih, tokoh pencak silat Kabupaten Bandung.
Karena ceritanya sarat dengan nilai-nilai edukasi film “Kompi Daeng” menurut rencana akan diputar keliling (Bioskop Keliling), di sejumlah kantong-kantong kesenian dan kebudayaan, sanggar-sanggar, serta di gedung sekolah SD, SMP, SMA sederajat se-Kota Cimahi, Kota Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat.
Saat ini film “Kompi Daeng” sedang proses pra-production dan dijadwalkan tayang mulai April 2025 mendatang.
Ringkasan Cerita
Film “Kompi Daeng” berkisah tentang seorang seniman Longser (Teater Rakyat) Jawa Barat di Desa Tjipageran Bandung. Saat itu ia harus berjuang mempertahankan kemerdekaan RI, di satu sisi ia harus meninggalkan kesenian Longser yang dia tekuni.
Motivasi tokoh utama berjuang disamping memiliki rasa dendam karena sewaktu dia dan adiknya berumur 9 dan 7 tahun, harus menyaksikan bapaknya sendiri mati ditembak Belanda. Saat itu mereka sedang menggelar pertunjukkan seni longser. Bapaknya disangka pemberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 1930.
15 tahun kemudian ketika tokoh utamanya bernama Kohar dan adiknya Asih beranjak usia 23 tahun, dia dilatih ngaji, silat dan taktik berperang di pesantren KH. Usman Dhomiri Sukamantri Gunung Bohong Cimahi.
Kohar selanjutnya bergabung dengan Dewan Pimpinan Perjuangan Cimahi yang dipimpin oleh Daeng Muhammad Ardiwinata, atau dikenal dengan nama Kompi Daeng.
Dari situlah dia bersama sahabatnya Toha Santri, Sersan Saring (Mantan KNIL) Ambon, berjuang bersama pasukan Kompi Daeng. Mereka mengusir Tentara Sekutu dan NICA Belanda masuk ke wilayah Cimahi période Oktober 1945 sampai 28 Maret 1946.
Walaupun dengan perjuangan tersebut, ada resiko yg harus dikorbankan, yaitu seni teater rakyatnya, ditinggalkan.
Pada bagian akhir cerita, tokoh fiktif Kohar yang masih hidup pada saat ini, mengenang para tokoh, teman seperjuangan seperti Kompi Daeng, KH Usman Dhomiri dan tokoh pejuang Cimahi, Bandung Raya lainnya..
Dulu dia berjuang mengorbankan jiwa raga, serta rela meninggalkan seni teater rakyat yang digelutinya. Di akhir cerita ia menyaksikan seni longser yang menjadi seni leluhur terus hidup sampai saat ini./*