humaniora.id – Sebagai disclaimer di awal, tulisan ini sama sekali tidak ingin menyudutkan atau mendukung salah satu paslon presiden dan wakil presiden.
Film yang membuat publik Indonesia sempat heboh ini memperlihatkan berbagai taktik kecurangan yang di arahkan langsung kepada pasangan calon nomor urut 02 yakni Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming.
Film dokumenter garapan Dandy Dwi Laksono ini menyajikan film dengan pembawaan naratif dari tiga ahli tata hukum negara yakni Bivitri Susanti, Feri Amsari, serta Zainal Arifin Mochtar.
Untuk pengamat yang pertama yakni Bivitri Susanti sendiri merupakan seorang akademisi dan pakar hukum tata negara serta salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).
Perempuan kelahiran 5 Oktober 1974 ini telah menghasilkan berbagai penelitian dan produk, sebut saja penelitian tentang Bikameral, perpustakaan Daniel S. Lev, pelatihan perancangan peraturan perundang-undangan, hingga parlemen.net.
Sedangkan Feri Amsari merupakan pakar hukum tata negara, aktivis hukum, dosen, dan akademisi Indonesia dari Fakultas Hukum Universitas Andalas. Saat ini dia aktif sebagai peneliti senior dan mantan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas yang aktif sejak 2017 hingga 2023.
Pria lulusan William & Mary Law School, Amerika Serikat ini di kenal aktif menulis tentang hukum, politik, dan kenegaraan di berbagai media cetak, baik lokal maupun nasional. Tulisannya pun di muat di berbagai surat kabar media bergengsi di Indonesia.
Yang terakhir yakni Zainal Arifin Mochtar merupakan seorang dosen, akademisi, pakar Hukum Tata Negara Indonesia, serta aktivis yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Komite Pengawas Perpajakan di Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Sosok Zainal Arifin Mochtar turut di kenal sebagai akademisi yang sangat lantang mengkritik pemerintah, terutama terkait hal yang berhubungan dengan korupsi dan oligarki.
Analisa Film “Dirty Vote”
Menit awal film di sajikan mengenai tentang pilpres satu putaran dengan syarat suara 50% dan tiap provinsi 20%. Pada scene ini di jelaskan oleh Feri Amsari.
Lalu memasuki pertengahan film, terdapat sebuah isu yang mengatakan bahwa partai Gelora yang seharusnya tidak bisa mendaftar ke KPU, namun di loloskan sebagai partai yang mengikuti kontestasi Pemilu nanti yang di tujukan untuk memecah suara.
Film juga menayangkan adanya kesepakatan antara salah satu ketua partai dengan KPU Minahasa Utara.
Dugaan Partisan dan Ketidak Netralan
Film Dirty Vote ini banyak menuai berbagai tanggapan. Namun tidak sedikit yang menganggap bahwa film ini di tujukan untuk “Black Campaign” untuk menyudutkan pasangan Calon nomor urut 02.
Hal tersebut terlihat dari ketiga pakar hukum tata negara yakni Bivitri Susanti, Feri Amsari, serta Zainal Arifin Mochtar di ketahui merupakan tim ahli dari Mahfud MD, yang saat ini merupakan cawapres nomor urut 03.
Selain itu terdapat beberapa scene yang menujukkan bahwa adanya dugaan bias dan partisan terhadap 3 ahli di atas. Di antaranya adalah, pada saat awal film, di saat menunjukkan syarat pilpres satu putaran yang harus memenuhi 50% suara dan tiap provinsi 20% suara, tetapi film tersebut hanya membandingkan dengan satu provinsi yang mepet suaranya dengan Anis dan Prabowo yaitu Sumatera.
Anehnya lagi, mereka mengambil hasil survey yang lama sedangkan survey terbaru mengatakan bahwa Prabowo-Gibran unggul 52% di Sumatera.
Yang kedua narasi yang di bawa film ini mengatakan bahwa Gubernur Bali sengaja mencopot baliho Ganjar-Mahfud karena kepentingan politik, padahal Gubernur Bali sendiri mengkonfirmasi bahwasanya itu merupakan bentuk kenetralan wilayah Bali dan sudah di koordinasikan oleh wilayah setempat.
Selain itu narasi yang di bawa dalam film ini mengarah pada kenaikan gaji ASN ada kaitannya dengan politik, padahal kenaikan gaji sendiri sudah bertahap selama 3 kali di masa pemerintahan Joko Widodo dan setiap tahun di masa Susilo Bambang Yudhoyono.
Lalu yang terakhir film Dirty Vote ini menarasikan bahwasanya KPU melanggar etik karena mencalonkan mantan koruptor dan tidak sesuai dengan keputusan MA, namun faktanya MA sendiri memperbolehkan pencalonan mantan koruptor.
Di akhir pemutaran film, terdapat credit scene yang mengatakan produksi film ini juga melibatkan Gerakan 4 Jari. Apa sebenarnya Gerakan 4 Jari itu?. Gerakan 4 Jari merupakan sebuah gerakan untuk memilih paslon lain selain paslon 02 yakni Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming.
Gerakan ini juga sebagai simbol bersatunya pasangan calon 01 yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan pasangan calon 03 yakni Ganjar Pranowo-Mahfud MD.