humaniora.id – Tahukah Anda bahwa jadwal pemutaran film di bioskop itu ada pengaturannya. Namun pengaturan pemutaran film atau pembagian layar film di bioskop kerap dianggap ‘tidak adil.’
Hal ini menjadi masalah yang terus berulang sepanjang tahun di industri perfilman Indonesia. Bahkan ada sangkaan bisnis bioskop di Indonesia ada yang ‘menguasai’.
“Sebagai rumah produksi baru, merasakan adanya ‘ketidak-adilan’ untuk mendapatkan tanggal tayang film kami di bioskop,” keluh Toto Soegriwo, selaku Line Produser dari PT. Kreasi Jingga, kepada humaniora.id, di Jakarta, Kamis (23/03/2023).
Sementara rumah produksi besar, lanjut Toto, dengan mudah mendapat tanggal tayang lebih cepat dengan waktu tayang seperti mereka inginkan.
“Bukan hanya tanggal tayang mendapat diskriminasi, dalam hal jumlah layar pun rumah produksi baru seperti kami hanya diberi layar terbatas,” ungkap Toto.
Terkait penentuan tanggal tayang film oleh pelaku usaha bioskop yang dinilai tak berimbang inilah, Toto menyurati Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI.
Melalui surat dengan nomor 011/LT-4/PT-KJ/III/2023, tertanggal Kamis, 09 Maret 2023 lalu Toto menyampaikan, agar Bapak Menteri segera melakukan berbagai langkah perbaikan.
“Akan lebih baik bila melibatkan asosiasi, dalam hal ini Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI). Karena semua bioskop yang ada di Indonesia tergabung dalam asosiasi tersebut,” terangnya.
Hal senada sempat juga dikeluhkan H. Firman Bintang. Pemilik Rumah Produksi, BIC Pictures yang juga seorang wartawan ini juga menceritakan pengalamannya rebutan jadwal pemutaran film di bioskop.
“Selama ini ada ketidak adilan bagi produser film dan sineas Indonesia,” ujar Mantan Ketua Umum Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) ini.
Di Indonesia, kata dia, menyelesaikan karya jadi film baru setengah perjalanan bagi produser. “Sebab berikutnya produser harus memperjuangkan ke pengelola bioskop untuk mendapatkan layar dan menayangkannya,” kata H. Firman Bintang.
Merujuk pada ketentuan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman Pasal 27, seyogianya pelaku usaha pertunjukan film wajib memberikan hak dan perlakuan adil bagi pelaku usaha pengedaran film.
Pembuat film mendapat kesempatan jam pertunjukan berdasarkan kriteria urutan prioritas secara jelas. Diberlakukan sama oleh pelaku usaha pertunjukan film terhadap pelaku usaha pengedaran film.
Pelaksanaan dari ketentuan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 Pasal 27 tersebut, Kemendikbudristek mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 34 Tahun 2019 tentang Tata Edar, Pertunjukan, Ekspor dan Impor Film.
Pada Pasal 8 Permendikbud Nomor 34 tahun 2019 dijelaskan, pelaku usaha pertunjukan film wajib memberikan hak dan perlakuan yang adil terhadap pelaku usaha pengedaran film yang telah memenuhi persyaratan.
“Tapi ketentuan ini nyata-nyata dilanggar oleh pengusaha bioskop. Banyak film lebih dulu mendapat Surat Tanda Lulus Sensor dan mengajukan permohonan tanggal tayang, tetapi tidak ditanggapi,” terang Toto.
Toto menceritakan, ada produser yang harus menunggu satu tahun. Bahkan ada film yang daftar lebih dari satu tahun namun tidak ditanggapi. Sementara ada film yang Surat Tanda Lulus Sensor baru selesai menjelang film tayang di bioskop bisa langsung tayang.
Artinya, film tersebut sudah mendapat tanggal tayang sebelum Lulus Sensor. Hal ini sudah berlangsung cukup lama. Para pemilik rumah produksi baru tidak mampu berbuat apa-apa.
“Mereka tidak berani protes. Takut jika mereka membuat film lagi bisa lebih dipersulit untuk mendapatkan jadwal tayang di bioskop,” ungkap Toto.
Memang saat ini jaringan bioskop Cinema XXI terbesar dengan lebih dari 1.200 layar, atau sekitar 57% dari jumlah bioskop di Indonesia. Sehingga menjadi harapan dan kebanggaan para sineas baru jika filmnya dapat ditayangkan di jaringan bioskop tersebut.
Toto menjelaskan, bahwa pihaknya melalui PT Kreasi Jingga, telah memproduksi film dengan genre horor berjudul ‘Lantai 4’. Film tersebut sudah lulus sensor, dengan Nomor STLS : 34750/D17/J1/P1.N/10.2025/2020, tanggal 06 Oktober 2020.
“Kami telah melengkapi dan memenuhi semua persyaratan yang diminta bagi sebuah film yang akan ditayangkan di bioskop. Tanggal 14 Juli 2020, kami mengajukan surat permohonan ke Cinema XXI supaya film kami bisa tayang mulai 10 Desember 2020,” tegasnya.
Namun setelah berkonsultasi dengan Executive Produser, dan mengingat situasi dan kondisi bioskop belum kondusif, kami minta penayangannya ditunda.
“Tanggal 14 April 2022 kembali mengajukan tanggal tayang ke Cinema XXI supaya film kami dapat ditayangkan tanggal 7 atau 14 Juli 2022. Namun kami dapat jawaban bulan Juli 2022 jadwal film penuh,” jelas Toto.
Setelah berkomunikasi dengan Staf Programming diberi daftar antrian tanggal 6 Oktober 2022. Namun pada tanggal tersebut, terdapat 6 judul film yang antri, yaitu: “Hidayah” (MD Pictures),“Sri Asih” (PT Screenplay Sinema Film), “Ririn” (PT Dee Sukses Indonesia), “Lantai 4” (PT. Kreasi Jingga), “Wakaf” (PT Super Media Produksi), “Kun Ana Wa Anta” (PT Digital Network Aestetik).
Dari 6 judul film yang masuk dalam daftar antrian, yang dipilih untuk tayang tanggal 6 Oktober adalah film berjudul “Sri Asih” (PT Screenplay Sinema Film) dan “Pamali” (PT Lyto Sukses Bersama) yang masuk daftar antrian tanggal 13 Oktober 2022.
“Sementara itu film “Sri Asih” justru kemudian meminta ditunda penayangannya menjadi tanggal 17 November 2022, dengan mudahnya,” tegas Toto kecewa.
Toto menegaskan, Undang-Undang dan Peraturan dibuat untuk ditaati setiap warga negara. Kemendikbudristek selaku institusi yang membidangi urusan kebudayaan termasuk perfilman bertanggungjawab membenahi hal ini.
“Banyak dari pihak kami akhirnya pasrah diberi layar terbatas. Dengan layar terbatas, bagaimana masyarakat di satu daerah akan menonton, sementara film tidak tayang di bioksop yang ada di daerahnya. Bagaimana pula pemilik film bisa mengembalikan biaya produksi jika jumlah layarnya sangat terbatas,” kata Toto.
Pada kesempatan berbeda, Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Indonesia (GPBSI), H. Djonny Syafruddin SH mengatakan, selaku ketua organisasi perbioskopan, dia meminta agar produser banyak dialog dengan pengusaha bioskop.
Film diproduksi dengan modal besar. Bioskop dioperasikan juga dengan modal dan harus menggaji karyawan. Untuk satu layar bioskop, investasinya bisa Rp2,5 sampai Rp.5 miliar.
“Jadi produser memang sebaiknya banyak dialog dengan pengusaha bioskop. Membangun kesepahaman dan saling pengertian,” ujar mantan Ketua Badan Petimbangan Perfilman Nasional (BP2N) ini./*
Comments 1