humaniora.id – Festival Teater DKI Jakarta sudah masuk setengah abad, tepat lima puluh usianya. Sepanjang perjalanan Festival Teater membuahkan kemajuan, perkembangan pesat atau membuat harga diri, bermahkota cahaya, sekaligus teater semakin berjaya raya di negeri tercinta? Siapa yang bisa menjawab bagi yang merasa mencintai teater sepenuh hati?
Membahas perkara teater, terlalu banyak yang mampu menjabarkan tentang keilmuan, teknik seni pertunjukan, bagaimana menjadi sutradara yang hebat dan diakui kepekaan dalam menghidupkan suasana pentas, dengan permainan para aktor/aktris yang berbumbuh tata rias karakter, tata artistik, tata cahaya, tata musik yang mampu menyedot jiwa dan pikiran penonton tersugesti atau terkhusyuk dalam sajian pertunjukan di atas pentas bergengsi bernama Festival Teater.
Itulah kepuasan batin tertinggi bagi insan Teater yang dengan sukacita taat beribadah mengabdi pada ruang Tuhan bernama Teater. Namun pada kenyataannya, sepanjang perjalanan Festival Teater apakah melahirkan hal yang menjanjikan, mampu menafasi kehidupan insan teater. Sehingga lahir kata mencengkeram Teater Tidak Menjanjikan Apa-apa, Siap Hidup Prihatin, Siap Mati Dalam Kemiskinan!
Kata-kata pedas tersebut bisa pula dibenarkan, pada intinya teater adalah belajar Ilmu Hidup, untuk membangun kepercayaan diri, menyiapkan diri sebagai para calon pemimpin karena punya dasar kemampuan berdiplomasi karena sudah terlatih dengan latihan improvisasi, penghayatan dan sebagainya.
Tapi di sisi lain, apakah Festival Teater ada rumusan sakti untuk melahirkan para grup teater yang mampu melanjutkan pengembangan teater bisa dinikmati semua kalangan bukan sebatas makan khusus bagi kaum komunitas, mampu menjadi alat tukar uang untuk menghidupi insan teater? Itulah persoalan yang tak pernah terpikirkan bagi penyelenggara Festival Teater sepanjang jaman, bukan saja seputar DKI Jakarta, bahkan termasuk seluruh Festival Teater semesta tanah air raya.
Pada akhirnya, Festival Teater hanya sebagai proyek pelengkap kebudayaan bagi pemerintah, menyiapkan dana cuma-cuma, bahkan masih tega disunat juga. Festival Teater hanya melahirkan generasi baru yang dipungut dari sekolah-sekolah atau umum, menjadi kelangenan candu bagi insan teater usia tua, tapi Festival Teater mandeg dalam pengembangan untuk menyuburkan permasalahan teater di luar Festival Teater, itu sendiri.
Itulah keironian paling fatal dalam sejarah panjang Festival Teater yang dianggap sudah lima puluh tahun usianya. Masih terlalu muda dalam prespektif memberikan aroma wangi agar Dunia Teater mampu menghidupi para Insan Teater di negeri tercinta ini.
Salam Teater Indonesia!
Bambang Oeban, adalah penggiat seni teater dan penerima Anugerah Kebudayaan dari Pemerintah RI Tahun 2006