humaniora.id – Kembali di masa revolusi Prancis tepatnya pada tahun 1789, Raja Louis XVI menjadi legitimasi berakhirnya masa monarki Prancis yang sudah berkuasa sejak tahun 987 atau selama 748 tahun lamanya.
Di Place de la Concorde yang sekarang menjadi Place de la Révolution menjadi saksi bisu revolusi Prancis setelah Louis XVI dipenggal kepalanya dengan pisau Guillotine.
Kejadian tersebut membuat semboyan Liberty, Egalite, Fraternite menjadi menggema dan simbol baru rakyat Prancis akan kebebasan. Rakyat Prancis saat itu membawa kepala Louis XVI dengan memberikan sinyal bahwasanya semua manusia setara dan raja tetaplah manusia biasa dan bukan wakil tuhan.
Namun kebebasan yang harus digarisbawahi dalam konteks Revolusi Prancis ini adalah persamaan sederajat manusia dengan menjunjung hak asasi manusia.
Lalu apa hubungannya dengan pendidikan?
Semangat persamaan antarmanusia yang digaungkan tersebut menjadi dasar fundamental bagi masyarakat Prancis dalam hal pendidikan bahwa semua manusia memiliki kedudukan, dan derajat yang sama. Di sekolah dasar hingga menengah, para siswa di Prancis sudah diajarkan untuk senantiasa menggugat guru apabila siswa tidak setuju dengan pendapat dari guru.
Sebagian info, sejak di sekolah menengah, murid-murid di Prancis sudah diajarkan nalar kritis, dialektika serta retorika dalam beragumentasi. Maka dapat disimpulkan dari budaya tersebut, menghasilkan output berupa ketajaman berpikir serta argumentasi yang tentunya dapat mencetak generasi yang intelektual.
Sedangkan di negara kita, Indonesia, sistem pendidikan tersebut telah “dikrangkeng” oleh budaya feodalisme. Budaya Feodalisme di Indonesia sendiri sudah ada sejak Kerajaan Hindu-Buddha Nusantara yang berlanjut pada masa kolonial.
Feodalisme sendiri memiliki ciri khas adanya hubungan klien dan patron di mana seorang klien memberikan jasa atau upeti kepada patron sebagai bentuk penghormatan. Sebaliknya, patron memberikan perlindungan dan bantuan kepada klien.
Sistem feodalisme ini juga sering dikaitkan dengan adanya kelas sosial terdiri dari borjuis (bangsawan) serta proletar (rakyat jelata). Budaya feodalisme ini secara perlahan lahan merangsak masuk kedalam sistem pendidikan di Indonesia yang dimana guru sebagai pengajar dan murid yang hanya
Mendengarkan saja apa yang diajarkan oleh guru tanpa menggugat kembali atau mempertanyakan hal yang diajarkan. Budaya seperti ini nampaknya menjadi penghambat kemajuan sistem pendidikan indonesia, Karena dalam proses belajar mengajar tidak ada interaksi yang melatih ketajaman argumentasi dan berpendapat antarguru dan murid.
Program Merdeka Belajar yang baru-baru ini digalakkan agaknya masih membutuhkan penyempurnaan.
Empat poin program Merdeka Belajar yang tersegmentasi pada hal-hal yang sifatnya textbook seperti Ujian Nasional (UN), Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dan lain-lain, tidak ada program yang benar-benar mendorong para murid untuk bernalar kritis selama kegiatan akademik.
Selama ini kita melihat bahwa, kegiatan belajar mengajar dari tingkat SD sampai dengan SMA terlihat kasat mata para murid sifatnya pasif dan sebatas “mengangguk” mendengar pelajaran yang disampaikan oleh guru tanpa menggugat kembali apa yang diajarkan seperti hal nya mempertanyakan “apakah pelajaran itu sudah tepat?”, “saya tidak setuju dengan apa yang bapak/ ibu guru ajarkan,” dan masih banyak lagi.
Hal tersebut mengikis kemampuan nalar kritis para siswa karena ketidakadaan pertengkaran pikiran yang mampu mengasah daya intelektualitas siswa. Begitulah sistem pendidikan kita saat ini yang sebelas dua belas dengan budaya feodal.
Hubungan yang kuat antara patron (guru) dengan klien (siswa) nampaknya masih mengakar turun temurun hingga merambah ke dunia pendidikan kita.