humaniora.id – The Lead Institute Universitas Paramadina menyelenggarakan diskusi dengan tema “Fatsoen Politik dan Media: Menuju Media sebagai Pilar dan Bukan Perusak Demokrasi.” Diskusi yang berlangsung secara daring melalui ini dimoderatori oleh Tri Wahyuti, M.Si, Selasa (12/12/2023).
Hadir sebagai narasumber Dr. Haidar Bagir, Penulis dan Pemikir Islam menyampaikan bahwa akses dari sosial media, menggantikan media konvensional baik cetak maupun elektronik yang tumbuh dari berbagai website, portal, dan lain sebagainya.
“Sosial media memberikan kesempatan bagi semua orang untuk mengirimkan berita yang disajikan sebagai suatu kebenaran. Tulisan yang sensasional, adalah semata-mata hal yang half truth tetapi bukan berarti memberikan setengah kebenaran, tetapi benar-benar hal yang salah” kata Haidar.
Haidar juga berpendapat bahwa Indonesia cukup maju dengan UU ITE, tetapi Indonesia harus mengoreksi pasal-pasar karet yang cukup membahayakan, seperti pasal mengenai pencemaran nama baik.
Narasumber berikutnya Rizal Nova Mujahid dari Drone Emprit memaparkan peta media sosial terkait KPK Taliban, Capres-Cawapres 2023, Pilpres 2024, pemilu dan lain sebagainya.
“Narasi yang dibawa oleh media turut di respon dengan baik, tetapi banyak sekali isu-isu lain yang membawa isu-isu politik identitas lain pada tahun 2023.” Ujarnya.
Dr. Agus Sudibyo, Peneliti Media dan Mantan Dewan Pers menyebutkan bahwa “Keadaan pers secara global sedang tidak baik-baik saja, mengalami disrupsi dan kualitas jurnalis mengalami penurunan” katanya.
Agus juga memaparkan bahwa lama kelamaan masyarakat berada dalam kondisi tidak bisa lagi membedakan media media konvensional, media massa, ataupun media sosial karena semuanya sama saja. “Media sosial menyajikan dan memberikan model-model baru, distribusi, dan monetisasi konten sehingga disebut sebagai friend and enemy secara bersamaan.” Ungkap Agus.
Tetapi dalam diplomasi digital lanjut Agus, media sosial disebut sebagai musuh dari media konvensional. “Dalam konteks ini, menyajikan good content, dan good journalism bukan hanya sekedar diamanatkan oleh undang-undang tetapi dengan alasan bisnis dan harus ada diversity content” lanjut Agus.
“Polarisasi yang muncul hendaknya direspon oleh media massa untuk kembali sebagai pers pilar keempat yang menjadi pilar publik yang beretika.” pungkasnya.