Humaniora.id – Fase Hidup di Jakarta Iwan Burnani Toni kemudian menceritakan fase-fase hidupnya saat telah tinggal di Jakarta.
T: Anda akhirnya jadi tinggal di Jakarta?
Ya. Saya juga saat itu telah menikah dengan orang Jakarta. Tapi betul-betul awalnya saya tak betah hidup di Jakarta. Mas Willy saat itu tinggal di daerah Tomang, di gang sempit bersama Ken Zuraida.
Nah kerjaan saya, tiap hari saya luntang lantung ke Taman Ismail Marzuki. Nah suatu hari saat saya di TIM, tiba-tiba saya dan teman-teman di tawari oleh Ati Cancer. “Ikut yukkk..ini ada tes untuk menjadi dubber (pengisi suara Unyil).” “Apaan tuh saya bilang…”
T: Sandiwara boneka Unyil di PFN (Pusat Film Nasional)?
Iya di PFN. Nah saya kemudian ikut tes dubber. Ternyata aku lolos dan terpilih menjadi pengisi suara Pak Lurah – dalam sandiwara boneka Unyil. Jadi kalau Anda lihat sandiwara boneka Unyil zaman dulu di TV pas hari minggu, ada tokoh lurah, kalau dia ngomong – itu suara saya. Nah dari gaji dubber itu saya bisa menetap di Jakarta..
T: Ini menarik. Banyak yang tak tahu Anda sebenarnya pernah menjadi dubber suara boneka Lurah di Unyil. Mungkin bisa cerita pengalaman menjadi dubber itu.
Iya jadi dubber. Wah yang ikut tes ribuan orang. Aku nekat saja ikut. Mana badan aku saat itu masih suka teler. Eh ternyata lolos. Nah saat itu rambut saya masih gondrong sekali. Karena menjadi lurah –meski suaranya saja, saya di haruskan potong rambut. Wah sampai beberapa kali potong saat itu haha. Sudah kupotong katanya masih kurang pendek. Di potong lagi, masih di bilang kelihatan gondrong. Akhirnya sampai ya potong pendek sekali.
T: Itu pengambilan syuting dan kemudian pengisian suaranya gimana? Bisa cerita?
Yang bikin boneka-boneka Unyil dan lain-lain itu Pak Suryadi. Jadi di mainkannya begini…(Iwan lalu menampilkan permainan boneka kain di jari tangan). Sutradaranya Pak Zulkarnain. Jadi drama boneka itu di syuting dulu sampai jadi filmnya. Syutingnya memakai kamera besar. Lalu setelah film selesai di putar di studio baru aku sebagai dubber mengisi suara.
T: Saat mengisi suara itu sudah tahu jalan ceritanya?
Tidak tahu. Kita di kasih skenario sebelum mau dubbing. Saya baca, langsung take.
T: Anda berapa lama bergabung sebagai dubber di Unyil ?
Setahun lebih. Sampai tahun 1982. Unyil menjadi sangat terkenal. Bahkan ada filmnya: Unyil Menjadi Manusia. Bahkan saat itu ada penonton yang ingin tahu, melihat pengisi-pengisi suara Unyil. Mereka ingin dubber-dubber yang selama ini di belakang – di munculkan di film.
T: Kenapa hanya setahun lebih?
Nah begitu Unyil makin terkenal, suatu hari aku di ajak Mas Willy ke rumah Bang Adnan Buyung Nasution. Bang Buyung bilang: “Wah kau sekarang kaya Wan ya ?” “Waduh, kaya apaan Bang.”Bang Buyung kemudian bilang: “Itu cucuku, punya kaset si Unyil ada suara kau.” “Wah aku gak dapat apapun Bang dari kaset itu,”jawab saya.
Tiba-tiba Adnan Buyung Nasution memarahi saya: “Kau ini anak buah Rendra yang goblok. Kau tidak dapat apa-apa? “ begitu omel Bang Buyung.” “Sepersen pun gak dapat Bang.” “Wah kau goblok,” aku di maki Adnan Buyung. “Kok goblok sih Bang ?” “Ya goblok lah, itu suara di jual, harus minta bayar dong, kau gak mau minta ?” “Ya gimana aku minta ? Aku ga punya kontrak.
Job saya itu hanya berdasar surat calling. Setiap dapat surat calling pengisian suara, surat aku simpan, aku kumpulin sampai banyak, terus di tukarin. Dari situ kita dapat uang makan, uang transport dan sebagainya. Cukup lumayan…
T: Lalu apa reaksi Adnan Buyung?
Saat itu Bang Buyung langsung bilang: “Urus secara hukum!” “Urusnya gimana Bang ? Aku tak punya duit” “Besok kau ke LBH (Lembaga Bantuan Hukum),” kata Bang Buyung. Jadi aku oleh Adnan Buyung akan di bantu pengacara LBH untuk menuntut PFN.
T: Akhirnya Anda datang ke LBH?
Ya, saya datang. Bang Buyung langung bilang: “Kau boleh pilih, mau sama pengacara siapa di sini”. Saya langsung pilih Mahdi Ismail karena dia teman, sama-sama aktivis di Yogya. ”Di, kau mau menjadi pengacaraku ya. Boleh kan Bang Buyung ?” “Boleh aja, terserah kau mau yang mana” jawab Adnan Buyung.
Kami lalu menuntut ke sidang pengadilan. Mahdi menyusun tuntutannya. Ia menyuruh aku meminta aku menuntut Rp. 5 perak setiap kaset kepada PFN. “Minta 5 perak satu kaset, kalin berapa juta tuh seluruh Indonesia. Ebiet pasti kalah ntar,” kata Mahdi saat itu.
T: Bagaimana saat di sidang pengadilan?
Kalah. Karena aku tak punya surat kontrak. Pengadilan mengatakan suara bisa aja milik suara orang lain. Bisa saja saya hanya mengaku-ngaku. Ya udah karena kalah, tahun 1982 saya keluar dari Unyil.
T: Lalu apa yang Anda lakukan setelah tak dapat job lagi di Unyil?
Seriap hari aku tinggal di tempat Mas Willy di Tomang. saat itu aku sudah cerai dengan istriku. Aku juga saat itu sesungguhnya punya kost di Kampung Melayu. Waktu itu biar dekat, supaya aku bisa jalan kaki menuju PFN.
Lalu aku pernah kost di Paseban, kemudian di Kramat. Tapi aku sering ke Tomang agar aku tetap berhubungan dengan Mas Willy. Saya juga masih terus main ke TIM. Nah, di TIM suatu hari ketemu almarhum Mas Yos Maruta Effendi (pemimpin Sanggar Adinda). Dia bilang:“Wan, bikin teater dong.” Ada duitnya gak ?”saya Tanya. “Ada. Ini ada proyek dari Dikbud, untuk mengisi studi pembandingan teater darah seluruh Indonesia.” “Aku terima tawaran itu.
Akhirnya aku memainkan naskah Lawan Catur (naskah karya Kenneth Sawyer Goodman terjemahan Rendra). Aku merangkap pemain dan sutradara. Aktornya ada Bangkit Sanjaya, Kamsudi Merdeka.
Baca juga : Iwan Burnani Toni: “Saya ikut Rendra, dari Mastodon… Bag 10
Comments 2