JAKARTA, humaniora.id – Etika dan politik kenegaraan Indonesia menghadapi peluang dan tantangan yang signifikan dalam era demokrasi saat ini. Prof. Didik J. Rachbini, dalam diskusi daring bertajuk “Peluang dan Tantangan: Etika dan Politik Kenegaraan Indonesia” yang diselenggarakan oleh LP3ES bekerjasama dengan Universitas Paramadina, menekankan pentingnya aturan kuat dalam menjaga perilaku politisi dan orang-orang yang terlibat dalam kekuasaan.
“Tanpa aturan yang kuat, demokrasi bisa berubah menjadi sarang bandit,” kata Prof. Rachbini. Diskusi ini dimoderatori oleh Swary Utami Dewi pada hari Selasa, 16 Januari 2024.
Hadi Purnama, Direktur Pusat Hukum, HAM dan Gender LP3ES, menambahkan bahwa etika adalah cara kita berperilaku dan tidak bisa dipisahkan dari bagaimana kita hidup bersama-sama. “Dalam konteks kekuasaan, etika sangat penting untuk ditekankan. Perilaku dapat berubah karena didasarkan pada kekuasaan yang ada,” kata Hadi.
Hamid Basyaib, aktivis dan mantan jurnalis, memberikan contoh etika politik yang dicerminkan oleh Syahrir saat menjadi perdana menteri. “Ketika beliau menabrak mobil warga yang sedang diam tidak bergerak, beliau tetap mengganti biaya kerusakannya tanpa menyebutkan siapa dirinya serta jabatan yang diemban olehnya,” ujarnya.
Sidratahta Mukhtar, Dosen PTIK dan Pengamat Militer, memberikan contoh etika dalam sistem militer, yang terletak pada sistem komando. “Jika terjadi kesalahan, yang disalahkan adalah atasan yang di dalamnya terintegrasi hukum, norma, nilai dan komando,” kata Sidratahta.
Titi Anggraini, Dewan Pembina Perludem, memaparkan data dari The Economist pada tahun 2022 yang menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-54 secara global. “Indonesia dikatakan sebagai negara dengan demokrasi yang cacat, dapat dilihat dari political culture dan civil liberties,” kata Titi.
Menurut survei LSI, pihak yang paling potensial melakukan kecurangan di Pemilu 2024 mayoritas disumbangkan oleh elit politisi. Urutan pertama ditempati oleh partai politik, kemudian tim sukses capres/cawapres, disusul oleh penyelenggara pemilu.
Titi menekankan pentingnya aktivisme/gerakan sosial untuk pengawalan dan literasi pemilu dalam rangka mewujudkan pemilih berdaya. “Aktivisme hukum dimana perlawanan sebagai bentuk keberdayaan pemilih atau masyarakat sipil dan aktivisme digital dengan tujuan untuk perluasan efektivitas jangkauan advokasi dan gerakan,” tegasnya.
Diskusi ini menyoroti pentingnya etika dan politik kenegaraan dalam menjaga integritas demokrasi Indonesia. Para peserta diskusi sepakat bahwa tanpa etika yang kuat dan aturan yang jelas, demokrasi bisa berubah menjadi sarang bandit. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk berperan aktif dalam menjaga etika dan politik kenegaraan Indonesia.