humaniora.id – Dramaturgi adalah sebuah teori yang mempelajari seluk-beluk cerita dari naskah, yang di dalamnya terdapat studi struktur dramatik, plot atau alur cerita, penokohan dan setting peristiwa.
Dengan mempelajari dramaturgi seseorang mempunyai pengertian yang mendalam tentang hubungan antara dunia fiktif dalam permainan drama dan dunia realitas. Fasih dalam menganalisa naskah berdasarkan keterangan mengenai keadaan masyarakat di mana naskah tersebut ditulis dan teori-teori serta praktek menjalankan pemeranan untuk mana naskah atau yang bersangkutan telah ditulis. Juga berkemampuan menerapkan analisa tersebut dengan menguji ketepatan karakterisasi dari watak-wataknya; seperti memerinci keluarga watak, latar belakang pendidikan watak, lingkungan kehidupan watak, kepribadian watak, perkawinan watak, dan lain-lain, yang diketemukan di dalam analisa naskah, dan mengatur konsistensinya dengan visi sutradara.
Dengan mempelajari dramaturgi seseorang dirangsang untuk mencari informasi tentang naskah dari periode tertentu dalam sejarah dan menggali latar belakang sosialnya.
Istilah dramaturgi dicetuskan oleh dramawan Jerman Gotthold Ephraim Lessing. Dari tahun 1767 – 1770, ia menulis dan menerbitkan serangkaian kritik melalui bukunya yang berjudul dramaturgi Hamburg (Hamburgische Dramaturgie). Lessing dikenal sebagai bapak dramaturgi modern.
Karya lain yang penting dalam tradisi teater Barat adalah karya Aristoteles yang berjudul “Poetics” (ditulis sekitar 335 SM). Yang sampai sekarang masih dianggap sebagai acuan dunia teater. Dalam buku Poetics, Aristoteles menjabarkan penelitiannya tentang drama tragedi dan komedi.
Aristoteles meneliti hampir semua karya penulis Yunani pada masa itu. Kisah tragis merupakan obyek utama penelitiannya. Aristoteles menyanjung lakon Oedipus Rex sebagai drama yang paling dapat diperhitungkan. Meskipun Aristoteles mengatakan bahwa drama adalah bagian dari puisi, namun Aristoteles menganalisa drama secara keseluruhan. Bukan saja dari naskah, tapi juga hubungan antar watak, akting, dialog, plot dan cerita.
Nilai-nilai yang dikemukakan Aristoteles dalam mahakarya tersebut dikenal sebagai drama ala Aristoteles atau “drama Aristotelian”, di mana Deus Ex Machina (karakter imajiner, buatan, peristiwa yang tiba-tiba terjadi atau keajaiban yang timbul sebagai solusi dalam lakon yang memuncak atau plot yang sulit. Contohnya, dalam kisah Cinderella ada peri yang tiba-tiba muncul ketika dia tidak bisa pergi ke pesta) adalah suatu kelemahan, dan dimana acting harus tersusun berdasarkan sebab-akibat. Ada juga konsep kunci dramatik seperti Anagnorisis ( perilaku acuh menjadi butuh karena perkembangan cerita) dan katarsis (sensasi atau efek turut terbawanya alur cerita ke dalam hati, perasaan ini seyogyanya muncul di hati penonton seusai menonton lakon drama) tertuang dalam Poetics. Karya Aristoteles ini sampai sekarang masih menjadi acuan dasar pada berbagai petunjukan atau pun kursus-kursus per-film-an.
Jika Aristoteles mengungkapkan dramaturgi dalam artian seni, maka Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Irving Goffman melalui bukunya yang berjudul The Presentation of Self in Everiday Life, menggali segala macam perilaku dalam berinteraksi, seperti yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, di mana kita menampilkan diri sebagaimana seorang aktor menampilkan karakter peran dalam sebuah pertunjukan drama. Bila Aristoteles mengacu pada pertunjukan drama, maka Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi (pertunjukan yang terjadi di masyarakat).
Goffman menggali segala macam perilaku interaksi yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan. Tujuan dari presentasi dari diri – Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi.
Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai dengan apa yang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah menggiring penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi. Karena komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan.
Dalam komunikasi konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indra verbal dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauannya. Maka dalam dramaturgi, yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh tentang bagaimana menghayati peran sehingga dapat memberikan sesuatu yang sesuai dengan apa yang kita inginkan.
Tujuan dramaturgi bagi Goffman adalah mempelajari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut. Dalam teori dramaturgi dijelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan setiap identitas tersebut merupakan bagian dari kejiwaan (psikologi) yang mandiri. Identitas manusia bisa berubah-ubah tergantung dari interaksinya dengan orang lain. Dalam dramaturgi, interaksi social dimaknai sama dengan pertunjukan drama.
Manusia adalah aktor yang berusaha menggabungkan karakterisasi personal dan tujuannya kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgi, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Sebagaimana pertunjukan drama, seorang aktor kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan.
Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunaan kata (dialog) dan tindakan non-verbal lain. Hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan dalam mencapai tujuan. Oleh Goffman, tindakan di atas disebut dalam istilah “impression management”.
Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (front stage) dan di belakang panggung (back stage) drama kehidupan. Kondisi acting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil.
Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku, bagaimana yang harus kita bawakan. Contohnya, seorang teller senantiasa berpakaian rapi menyambut nasabah dengan ramah, santun, bersikap formil dan dengan perkataan yang diatur. Tetapi, saat istirahat siang, sang teller bisa bersikap lebih santai, bersenda gurau dengan bahasa gaul dengan temannya atau bersikap tidak formil (ngerumpi,dsb).
Saat teller menyambut nasabah, merupakan saat front stage baginya (saat pertunjukan). Tanggung jawabnya adalah menyambut nasabah dan memberikan pelayanan kepada nasabah tersebut. Oleh karenanya, perilaku sang teller juga adalah perilaku yang sudah digariskan skenarionya oleh pihak manajemen.
Piramid Freytag
Diagram yang menunjukkan struktur tragedi lima babak yang direka oleh Guster Freytag dalam bukunya Technic des Dramas (1863). diagram berbentuk pyramid ini telah diterima umum sebagai salah satu cara untuk mendekati atau memahami struktur plot dalam cerita, termasuk drama.
Struktur Plot
Dalam cerita atau drama, plot ialah sesuatu yang menghubungkan antara peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita yang rapat pertaliannya dengan gerak laku lahiriah dan batiniah watak-watak dalam cerita. Setiap peristiwa dan gerak laku itu dari awal hingga akhir adalah didasarkan kepada hukum sebab akibat. Plot tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi yang penting ialah mengapa hal itu terjadi, dan dalam hal ini, setiap peristiwa selalu saling berhubungan dan hubungan itu diadakan oleh faktor-faktor sebab akibat.
Penyusunan plot timbul setelah faktor-faktor yang membina cerita terkumpul. Sungguh pun yang wujud dalam alam nyata ialah segala kejadian yang terperinci dan tersusun secara kronologis, tetapi dalam pembinaan plot, keadaannya tidaklah sama. Susunan cerita berganting kepada imajinasi dan daya khayal pengarang pengarang itu sendiri. pengarang mungkin memulai berita dari tengah-tengah bagian cerita ataiu mungkin pada waktu peristiwa sedang memuncak. Karena itu plot adalah penyusunan kronologis yang telah disesuaikan mengikuti kemauan pengarang dan tidak semestinya mengambil semua faktor-faktor urutan aksi.
Dalam membina plot harus ada kesatuan yang bertolak daripada peristiwa-peristiwa atau bagian-bagian yang saling berhubungan. Dengan itu dalam sebuah cerita akan bertemu dengan suatu sebab yang menimbulkan pula hal yang lain. jika hubungan itu tidak meyakinkan, kesatuan akan longgar dan cerita tidak akan menarik perhatian lagi. Pergerakan peristiwa haruslah logis sehingga dapat membentuk satu kesatuan yang dapat menimbulkan kesan yang hidup.
Permulaan plot dikenal sebagai eksposisi yang layaknya menjadi bagian untuk memperkenalkan watak-watak itu, terjadi peristiwa dan timbullak konflik (seperti konflik batin yang terjadi dalam diri tokoh atau pertikaian lahir antara manusia dengan alam, dengan masyarakat atau dengan nasibnya). Peristiwa bergerak dan berkembang membawa kepada peringkat kedua, yaitu pertengahan cerita yang dikenal sebagai komplikasi.
Pada pertikaian ini, diperlihatkan konflik menjadi semakin rumit dan harus dihadapi oleh tokoh-tokoh melalui prosesnya menuju kepada kestabilan. Pertentangan itu menuju kepada klimaks. Pada klimaks inilah tercapainya konsentrasi yang maksimal. Dari sini urutan cerita menuju kepada peleraian, walau pun kadang-kadang dalam setengah cerita , klimaks sekaligus merupakan pengakhiran cerita.
Dalam pembinaan plot juga, unsur ketegangan merupakan salah satu unsur yang penting. Ini dapat merangsang rasa ingin tahu membaca tentang peristiwa yang akan terjadi selanjutnya. Ternyata komposisi yang menarik ialah apabila hadirnya unsur-unsur ketegangan.
Dengan adanya unsur-unsur yang membina plot seperti eksposisi, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian dan penyelesaian, plot dapat dikatakan sebagai satu “struktur cerita” atau biasa juga disebut sebagai “jalan cerita” (bagaimana sebuah cerita itu dirangkai dari satu peristiwa kepada peristiwa yang lain) bagi sebuah cerita atau drama. Adanya kesinambungan peristiwa itu, lahirlah cerita yang bermula dan berakhir. Antara awal dan akhir itulah terlaksananya plot.
Tragedi
Dalam sebuah drama, prosa atau puisi, yang memaparkan suatu peristiwa penting dari kehidupan seseorang ternama, atau suatu tokoh, yang mencapai puncaknya dalam suatu peristiwa buruk atau malapetaka yang menyedihkan. Keseluruhannya dipersembahkan dengan penuh teliti dan dalam keadaan yang serius. Jelasnya, tragedi adalah satu peristiwa di dalam drama di mana protagonisnya mengalami kejatuhan atau kecelakaan dari suatu kejayaan.
Istilah ini umumnya digunakan untuk drama. Pada mulanya tragedi dihubungkan kepada upacara yang bersifat keagamaan dan persembahan kepada dewa-dewa. Tragedi tertua yang bersifat keagamaan terdapat di Mesir dan Syria dengan cerita-cerita berkenaan dengan watak dari mitos Orisis. Attis dan Adonis. Di Yunani, tragedy di mulai dengan upacara keagamaan terhadap Dewa Alam Dionysus. Persembahan tragedi jaman permulaan biasanya diselingi dengan tari-tarian.
Perbincangan tentang konsep tragedi , selalu di mulai dari pendapat Aristoteles dalam bukunya Poetics. Aristoteles mendifinisikan tragedi sebagai “peniruan gerak laku yang berat, agak luas dan lengkap, lebih sering dalam bentuk drama yang memakai bahasa yang indah dengan menggunakan peristiwa-peristiwa yang menimbulkan kesedihan dan ketakutan dan dengan demikian membersihkan jiwa dari emosi.”
Bagi Aristoteles, watak utama yang dikaruniai dengan sifat-sifat ketakutan apabila mengalami bencana sebagai akibat dari salah satu kelemahan dirinya (misalnya terlalu takabur atau gelojoh akan kekuasaan) akan menimbulkan kasihan dan ketakutan kepada penonton/ pembaca. Watak itu menimbulkan kasihan karena bencana yang akan diterimanya itu tidak setimpal dengan kekhilafannya; dan ini mendatangkan ketakutan karena ia menyadari bahwa semua manusia tak luput dari kelemahan. Dan kelemahan ini mungkin sewaktu-waktu mendatangkan bencana.
Komedi
(dari Lat,: Comoedia; Yun,: Coomooidia=pawai peserta pesta;coide=Nyanyian). Salah satu bentuk sandiwara, yang (berlawanan dengan tragedI atau sandiwaa sedih) menonjolkan segi kegembiraan dalam diri dan perilaku manusia. Penulis-penulis komedi yang terkenal antara lain ialah: Aristophanes (Yunani, 445-385 sebelum Masehi); Menander (Yunani, 342-291 sebelum Masehi); Titus Plautus (Italia; 250-184 sebelum Masehi); Terentius (Latin, Romawi; + 195-190 sebelum Masehi); *Moliere (Perancis; 1622-1673); Williams Shakespeare (Inggis; 1564-1616); Calderon (Spanyol; 1600-1681); Ludvig Holberg (Denmark; 1684-1754); Carlo Goldoni (Italia; 1707-1793); G.B. Shaw (Anglo- Irlandia; 1856-1950).
Dari khasanah komedi di Asia dikenal Syakuntala, karya Kalidasa (abag ke- 5 Masehi); Burung-burung sebagai Telangkai, karya Yuang Ta-Chang (Cina, ± 1645).
Indonesia mengenal bentuk-bentuk komedi rakyat, seperti topeng dan lenong (Jakarta), Bancak Doyok dan Pentul-Tembem yang berkembang menjadi dagelan (Jawa Tengah), Ludruk-Besutan (Jawa Timur). Karya-karya komedi dari khasanah sastra Indonesia lama, antara lain: Abunawas, Pak Blegog, Lebai Malang, dan lain-lain; dari sastra Indonesia modern, antara lain: Pembalasannya (Saadah Alim, 1041; Jinak-jinak Merpati (Amin Pane, 1944); Liburan Seniman (Usmar Ismail, 1944).
Sejalan dengan perkembangan tehnologi seni pertunjukan tidak hanya disajikan melalui panggung tetapi juga melalui film. Bentuk komedi di dalam film terutama menampilkan situasi lucu yang memancing ketawa (Inggris; slap stick comedy). Dalam perkembangan selanjutnya film komedi tidak selalu dimainkan bintang-bintang pelawak, tidak lagi menekankan pada gerak-gerik serta mimik lucu seperti pada film-film bisu, tetapi lebih mengutamakan tema cerita yang sering merupakan parody dan dimainkan oleh pemain watak.
Bintang-bintang film komedi, antaa lain: Charlie Chaplin; pasangan Bob Hope dan Bing Crosby; pasangan Stan Laurel dan Oliver Hardy; pasangan Jerry Lewis dan Dean Martin, dan lain-lain.
Hamartia
“Kesalahan, kekhilapan atau kelemahan besar” yang menjadikan nasib seorang pahlawan dalam sebuah tragedi menjadi sebaliknya. Bagi Aristoteles, protagonis dalam tragedi seharusnya “seorang yang terkenal bukan karena sifatnya yang baik dan adil, tetapi disebabkan oleh kecelakaan yang menimpa dirinay; begitu juga ia terkenal bukan karena moralnya yang buruk, tetapi disebabkan oleh kekhilapan atau kelemahannya.
Hamartia yang disebut juga sebagai “cacat tragedi” mungkin disebabkan oleh pertimbangan yang tidak baik, watak yang buruk kelakuannya. Kelemahan yang diwarisi dan sebagainya. Bagaimana pun, kekhilapan itu mestilah diperlihatkan atau dinyatakan sendiri melalui aksi yang jelas atau kegagalan melakukan aksi yang tertentu. Lihat tragedi.
Watak
Watak ialah manusia atau pelaku dalam cerita yang berbentuk naratif atau drama yang diberi sifat-sifat tertentu termasuk perangai dan pemikiran yang dikenal melalui percakapannya, yaitu dialog dan apa yang mereka lakukan dalam bentuk aksi. Berdasarkan perangai dan nilai moral suatu watak yang lahir melalui percakapan dan aksi itu membentuk sebagian dari motivasi watak.
Suatu watak pada dasarnya mungkin tidak berubah atau tidak bertukar dari segi rupa dan sifat-sifat bawaan dan juga pemikiran, dari awal hingga ke akhir cerita. Watak juga mungkin menempuh atau mengalami perubahan yang radikal atau cepat atau sebaliknya melalui perkembangan secara sedikit demi sedikit, atau sebagai akibat dari krisis yang meruncing.
Apakah watak itu berubah atau tidak, kita memerlukan kepastian pada suatu watak – dia tidak boleh berlaku dengan cara yang tidak sesuai dengan dengan tabiat yang ditentukan.
Adegan
Istilah dalam bahasa Inggrisnya scene berasal daripada perkataan skene yang terdapat dalam teater zaman Yunani Kuno, yang berarti tempat suatu aksi dan dialog diucapkan.
Kini, adegan merupakan bagian dari babak yang maksudnya bagian-bagian aksi yang berurutan dalam satu setting peristiwa yang tidak berubah. Dalam pementasan drama, pemecahan adegan kadang-kadang dapat dilihat dengan naik-turunnya layar atau gelap-terangnya lampu, atau hanya dengan pertukaran watak (keluar-masuknya watak).
Pada teorinya, adegan yang tersusun harus mempunyai struktur yang seimbang dengan lakon itu sendiri, dengan lima bagian yang logisnya (lihat struktur dramatik). Sementara penyusunan kea rah klimaksnya dianggap sebagai dasar yang paling penting dalam pembinaan adegan.
Secara longgarnya, adegan dapat dijeniskan atas beberapa dasar tertentu, misalnya panjang pendeknya, fungsi strukturnya, tehnik dalaman dan latar belakang luaran. Dengan begitu mungkin terdapat adegan panjang dan adegan pendek, adegan transisi, adegan eksposisi, adegan bentuk klimaks, adegan selingan dan sebagainya. Terdapat juga adegan yang disebut sebagai adegan monolog, adegan dialog, adegan pertempuran, adegan di dalam hutan, di taman bunga atau di dalam mahkamah dan sebagainya.
Dalam penulisan novel yang berbentuk dramatik, penggunaan adegan dapat dikesankan apabila pengarang mencoba membina ceritanya secara berurutan dalam bentuk adegan yang dapat berdiri sendiri, dan cara ini dalam banyak hal sama seperti cara penulisan drama. Jelasnya, setiap aksi yang berlaku dalam cerita dipersembahkan sebagaimana ia diimajinasikan berlaku., tidak hanya dengan meringkaskannya dalam bentuk eksposisi naratif.
Dalam novel, kecenderungan ini biasanya dilakukan dengan menggunakan tehnik pengarang menyembunyikan diri dan hasilnya merupakan satu tehnik yang bercorak dramatik, disebut sebagai “kaidah adegan”.
Pembinaan suatu bab dalam novel menurut “kaidah adegan” biasanya bermula dengan satu uraian yang terperinci tentang latar dan sifat-sifat dalaman watak yang terlibat dengan aksi; kemudian, setelah segalanya tersedia dengan baik, aksi dan percakapan dipersembahkan secara langsung dengan terperinci, aksi it uterus meningkat kepada klimaks. Pada ketika itu juga “layar” secara kiasannya pun diturunkan, dan “layar” yang dimaksud itu ialah penyelesaian bab yang dilakukan secara tiba-tiba.
“Kaidah adegan” ini selanjutnya diteruskan dalam bab-bab berikutnya menurut keperluan pengarangnya.
Hukum Tiga Kesatuan
Istilah ini merupakan prinsip-prinsip dalam struktur dramatik yang melibatkan aksi, waktu dan tempat. Kesatuan yang paling penting dan yang satu-satunya ditekankan oleh Aristoteles ialah aksi. Beliau menyebut tragedi sebagai “satu peniruan terhadap aksi yang lengkap , sempurna dan tertentu pentingnya”.
Apa yang disebutkan sebagai sempurna itu ialah ia harus mempunyai permulaan, pertengahan dan akhiran dengan hubungan sebab-akibat dalam beberapa bagian yang berlainan dalam sebuah drama. Kepastian berlakunya sesuatu itu, disamping konsentrasi adalah merupakan hasil dari keterikatan terhadap kesatuan aksi. Aristoteles menekankan bahwa kesatuan ini tidak semestinya diperoleh secara mudah dengan menjadikan seorang manusia sebagai obyek.
Kesatuan waktu dikembangkan Aristoteles dari kenyataan dan bukan bersifat dogmatis berhubung dengan penggunaan tragis: “Tragedi mencoba, sedapat mungkin menghadirkan dirinya kepada satu peredaran matahari”. Kritikus-kritikus Itali pada abad ke- 16 merumuskan faham ini dengan menyatakan bahwa aksi seharusnya hanya berlaku sehari saja.
Dalam hubungan ini banyak pengeritik Prancis dan Inggris dalam abad ke- 17 dan 18 menerima kesatuan ini dan banyak pula yang menggunakannya. Terdapat interpretasi yang berbeda terhadap kesatuan waktu; setengah dari mereka lebih suka menentukannya sebagai hari biasa selama 24 jam, sementara yang lain lebih setuju dengan setengah hari yaitu 12 jam, dan ada pula di antara mereka yang mememdekkannya menjadi beberapa jam saja, sebagaimana yang kita saksikan dalam sebuah pertunjukan.
Kesatuan tempat adalah merupakan unsur terakhir dan ini tidak ditimbulkan oleh Aristoteles. Ini diikuti secara natural, keperluan menghadirkan aksi untuk satu tempo tertentu; sementara kritikus-kritikus jaman Reneissance di Itali mengembangkan teori-teori mereka tentang verisimilitud, menjadikan aksi sebuah drama mendekati gambaran yang dikemukakan di pentas, menjadikan satu tempat melengkapi trilogi tersebut. Setengah pengkritik berpuas hati dengan menghadirkan aksi semata-mata dalam lingkungan tempat yang sama.
Bagi para penulis neoklasik, kesatuan tempat adalah amat erat kesatuannya dengan waktu baik dari segi teori maupun praktek. Teori kesatuan ini sebenarnya adalah merupakan hal yang banyak mendapat perhatian dari kritikus drama. Namun begitu konsentrasi dan kekuatan yang dihasilkan dari percobaan-percobaan dalam mencapai kesatuan aksi, waktu dan tempat mungkin dianggap sebagai kebaikan. Biarpun begitu dramawan-dramawan modern kurang berminat terhadap formula tradisional ini. (jrm)