humaniora.id – Di tahun politik apapun bisa menjadi komoditas. Tak terkecuali kemiskinan. Setiap proses pergantian kekuasaan dimensi kesejahteraan rakyat menjadi menu wajib untuk dikulik, diolah dan dijadikan amunisi menarik atensi publik.
“Seperti janji pasangan Pranowo – Gibran yang akan memberikan makan siang gratis dengan anggaran 450 triliun. Lha untuk apa?,” tanya Isti Nugroho dalam diskusi ‘Indonesia di Persimpangan Sejarah’ yang digelar di Warung Apresiasi Bulungan Jakarta Selatan, Rabu (27/12/2023).
Tampil sebagai pembicara, Isti Nugroho mempertanyakan apa yang akan dihasilkan dengan makan siang berbiaya 450 triliun itu?
“Orang di luar sudah bicara gagasan untuk kemajuan peradaban dunia. Di sini masih bicara untuk memberi makan! Lho soal memberi makan itu kan bukan gagasan yang luar biasa!,” tegasnya.
Saat ini, lanjut Isti Nugroho, narasi-narasi yang disampaikan oleh tokoh politik, terutama oleh Capres dan Cawapres menjelang Pemilu 2024 tidak memberi gagasan kuat bagi kemajuan Indonesia ke depan.
Kelompok pemegang kuasa kerap menjadikan tema kemiskinan sebagai modal pencitraan. Meskipun secara faktual masyarakat bisa bangkit dari kemiskinan karena usahanya sendiri.
Menyangkut materi diskusi, menurut dia, Indonesia bukan lagi berada di persimpangan sejarah, tetapi sudah berada dalam lika-liku sejarah.
“Persimpangan sejarah itu sudah terjadi saat sebelum kemerdekaan dan setelah kemerdekaan, sampai tahun 1965,” ujarnya.
Tahun 1965 Indonesia berada di persimpangan. Pilihannya waktu itu apakah Indonesia mau ke kiri atau ke kanan. Namun kata Isti, Indonesia akhirnya berkiblat ke Barat.
“Jadi yang dulu penolakan Soekarno; go to hell with your aid (pergilah ke neraka dengan bantuanmu), tapi bantuan itu akhirnya diterima Soeharto. Sampai bantuan itu menjatuhkannya sendiri,” papar Isti Nugroho.
Terlepas dari kepentingan politik praktis, secara statistik penduduk miskin di Indonesia, di bulan Maret 2023 masih 25,90 juta orang atau 9,36 persen dari total penduduk.
Data ini menunjukkan penurunan jumlah warga miskin sebanyak 0,46 juta orang terhadap data September 2022. Secara akumulatif, sejak Maret 2021 hingga Maret 2023 tercatat 1,6 juta orang yang berhasil keluar dari garis kemiskinan.
Secara spasial tingkat kemiskinan per Maret 2023 menurun, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Namun demikian secara faktual kemiskinan masih menjadi masalah yang harus menjadi agenda utama dalam pembangunan.
“Dalam kondisi ini peran masyarakat sipil menjadi strategis. Tidak saja sebagai mitra untuk percepatan pengentasan kemiskinan, namun juga berperan ganda sebagai kelompok kritis mengontrol atas implementasi program pengentasan kemiskinan,” kata Isti Nugroho.
Selain penyair Isti Nugroho, diskusi ini menghadirkan budayawan Dr. Zastrouw Al Ngatawi, dengan moderator penyair Amien Kamil.
Generasi Alpa Sejarah
Pembicara lainnya, Dr. Zastrouw Al Ngatawi, menyayangkan lemahnya generasi muda terhadap pemahaman sejarah. Anak-anak muda tidak tertarik bicara sejarah. Mereka lebih tertarik berbicara hal-hal yang terkait materi.
“Anak-anak muda sekarang seperti menghilang. Padahal bukan menghilang, tetapi kita yang tidak bisa menemukan cara berkomukasi dengan mereka,” ujar Al Zastrouw mengawali paparannya.
Menurut mantan asisten pribadi Presiden Abdurrahman Wahid ini, orangtua terlalu takut anaknya hanyut dalam budaya liberal. Lalu dibuatlah tembok-tembok tebal untuk menghalangi, seperti Syariat Islam, UU pornografi, dan lain-lain.
“Tetapi setebal apapun tembok yang dibuat, tetap saja bisa jebol. Lebih baik kita meningkatkan imunisasi kultural bukan dengan melarang. Tembok setinggi apapun akan jebol,” tegasnya.
Al Zastrouw juga bingung apakah sejarah masih relevan dengan anak muda saat ini. Karena pendidikan sekarang lebih ke arah pada kecerdasan kognitif. Orang belajar agama hanya jadi ilmu pengetahuan, tapi miskin implementasi.
“Pendidikan sekarang lebih mengarah ke kecerdasan kognitif (pemikiran) saja. Anak-anak lebih banyak disuruh menghapal, belajar sangat banyak. Jangan-jangan anak-anak stunting bukan karena kurang gizi, tapi karena kebanyakan bawa buku,” gurau Al Zastrouw.
Sebagai pengatur lalu lintas kata-kata, Amien Kamil mengawali acara dengan mengungkap tujuan diskusi. Menurut dia, Indonesia saat ini sedang berada di persimpangan sejarah.
Bahwa dunia yang sekarang kita huni merupakan resultan dari industrialisasi, kapitalisme, militer dan juga oleh kultur politik yang tak kondusif.
“Kita menyaksikan berbagai macam kejadian yang seringkali jauh dari apa yang diniatkan oleh bapak pendiri bangsa dan para pahlawan. Lihatlah korupsi merajalela hampir di semua instansi pemerintahan,” tegas Amien Kamil prihatin.
Tidak hanya kepada para seniman, Amien mengajak semua pihak peduli dengan masa depan Indonesia. “Haruslah jadi pelopor penyadaran dan agen perubahan ke arah yang lebih baik,” ajaknya./***