humaniora.id – Akhmad Sekhu mengaku tidak pernah memimpikan dirinya menjadi seorang penulis. Separuh hidupnya memang diisi dengan kegiatan menulis. Semua mengalir begitu saja.
Sastrawan yang dikenal juga sebagai wartawan itu sehari-harinya menekuni pekerjaannya untuk menafkahi anak-istri dari kegiatan tulis-menulis.
“Menulis bagi saya menjadi saksi sejarah,” kata Akhmad Sekhu kepada wartawan, Minggu (3/9/2024).
Lebih lanjut, lelaki kelahiran desa Jatibogor, Suradadi, Tegal, 27 Mei 1971, ini menerangkan, bahwa menulis memang tak memberi jaminan kekayaan dan ketenaran.
“Tapi saya tetap menekuni pekerjaan menulis untuk terapi dan eksistensi, “ terang Pemenang Favorit Sayembara Mengarang Puisi Teroka-Indonesiana “100 Tahun Chairil Anwar” (2022).
Menurut Sekhu, dengan menulis, paling tidak, ia bisa mengingatkan tentang arti kehidupan dan kemanusiaan. “Memperjuangkan kehidupan, hidup sekali harus punya arti, “ ungkap ayah dua anak ini mantap.
Sekhu menyebut dalam novel ‘Jejak Gelisah’, ia menjadi saksi sejarah tentang peran penting pemuda dalam kehidupan bermasyarakat. Juga tentang fenomena alam “Ndaru” Pulung Kebegjan dan Pulung Gantung. “Sebagian besar tulisan saya berdasarkan dari pengalaman hidup saya, tulisan selebihnya bumbu-bumbu fiksi agar ceritanya lebih dramatis, “ bebernya.
Novel ‘Jejak Gelisah’ karya Akhmad Sekhu memang kurang laku di pasaran, tapi ia cukup bangga novelnya yang dikategorikan sebagai karya sastra itu ada unsur ilmiahnya karena ditulis dengan riset penelitian yang cukup panjang. Sehingga novelnya menjadi bahan skripsi banyak mahasiswa untuk mendapatkan gelar sarjana. “Alhamdulillah, novel saya dapat bermanfaat bagi banyak mahasiswa untuk skripsi dalam mendapatkan gelar sarjana,” tuturnya penuh rasa syukur.
Karya novel Akhmad Sekhu selanjutnya, Chemistry berkisah tentang romansa kehidupan remaja dalam meraih cinta dan cita-citanya. “Tapi ceritanya tak melulu berkisar kisah asmara, melainkan juga menyelipkan tema tentang politik dan kekuasaan, yang tentu temanya tetap aktual dan relevan sampai sekarang, “ paparnya.
Novel Pocinta, Akhmad Sekhu menyebutkan tentang perjuangan anak manusia agar bisa survive hidup di Jakarta, dan melalui masa Pandemi Covid-19. “Tragedi kemanusiaan yang melanda ke seluruh dunia, yang menurut World Health Organization (WHO) korban meninggal akibat Covid mencapai 16,6 juta orang, “ ungkapnya iba.
Dalam novel Pocinta, kata Akhmad Sekhu, ia mengangkat kesenian tradisional Sintren yang sudah langka. “Tugas saya sebagai penulis, di antaranya, mengabadikan kesenian magis tersebut agar kelak dapat diwariskan kepada anak cucu, “ tegas Sekhu.
Kemudian, ada tradisi yang dinamakan “moci”, yakni minum teh khas Tegal dengan poci. “Tradisi ini sudah menjadi budaya masyarakat Tegal untuk minum teh poci bersama dengan penuh guyub, rukun dan semakin akrab, ” imbuh Sekhu penuh haru.
“Novel Pocinta sudah dilirik produser untuk diangkat ke film layar lebar, ” imbuhnya bangga.
Akhmad Sekhu menyampaikan sedang menyiapkan novel terbaru yang berlatar tahun 98-an sejarah awal bergulirnya era reformasi tentang kisah seorang mahasiswa dengan pacarnya yang menjadi istri simpanan pejabat penting. “Doakan agar cepat kelar,” ujarnya
Harapan Akhmad Sekhu ke depan dapat mengabadikan berbagai kesenian tradisional lain dalam karya-karya selanjutnya, di antaranya kuda lumping, kuntulan, wayang kulit, wayang golek, wayang orang, ketoprak. “Mumpung masih diberi umur, saya ingin terus berkarya, yang semoga dapat bermanfaat bagi masyarakat, karena sebaik-baiknya manusia harus dapat memberi manfaat kepada masyarakat sebanyakl-banyaknya,“ ucap Sekhu penuh semangat.
Akhmad Sekhu menyampaikan dirinya tetap semangat untuk berkarya. “Hal ini yang menjadi motivasi saya untuk tetap optimis dalam menjalani hidup ini, “ pungkas Akhmad Sekhu optimis.
Selain novel, Akhmad Sekhu juga menulis berbagai tulisan lainnya, antara lain, berupa puisi, cerpen, esai sastra-budaya, resensi buku, artikel arsitektur-kota, kupasan film, telaah tentang televisi dan lain-lain.
Catatan tentang kesastrawanan Akhmad Sekhu masuk dalam Bibliografi Sastra Indonesia (2000), Leksikon Susastra Indonesia (2001), Buku Pintar Sastra Indonesia (2001), Leksikon Sastra Jakarta (2003), Ensiklopedi Sastra Indonesia (2004), Gerbong Sastrawan Tegal (2010), Apa & Siapa Penyair Indonesia (2017), dan lain-lain.***