humaniora.id – “Tapi, pertanyaannya apaa?!” Pak Bupati balik bertanya, dengan jengkel. “Tai kucing!” umpatnya, ketika rombongan orang kampung yang dipimpin seorang nenek itu (diperankan Uliel yang asyik dari Teater El Nama) mendesaknya untuk memberikan jawaban.
Bupati membutuhkan pertanyaan yang verbal. Bupati yang didampingi dua hansip yang petakilan dan pecicilan. Pembisik yang tak bermoral. Dan sibuk mengancam-ancam warga itu. Padahal, penduduk yang datang dari sebuah tempat ratusan kilometer jauhnya, mengantarkan fenomena pelik: para lelaki yang bunting , kepala yang terpenggal dan melayang-layang di atas kepala mereka. Keganjilan yang tak bisa mereka pahami dan rumuskan dengan pertanyaan.
Karena Bupati (yang dimainkan dengan cantik oleh Gandung Bondowoso) tak juga bisa memberi jawaban, begitu pula Tuhan yang mereka gugat pemihakannya, maka mereka pun bunuh diri massal.
Penonton bisa menafsirkan kegilaan di panggung itu sebagai apa saja. Dongeng, peristiwa sosial, tamsil, atau mungkin ramalan. Bahasa, idiologi, agama, standar sosial, atau pendidikan penonton menjadi ikhwal yang sumir di sana. Cerita bisa terjadi di mana saja. Bisa di TIM, di Art-Center Denpasar, atau di New York.
Saat pertama kali dipentaskan pada tahun 1982, dengan Amak Baljun (aktor yang dipinjam dari Teater Ketjil) berperan sebagai Bupati, dan pada tahun 1993 (dengan Arswendi Nasution sebagai Bupati), cerita yang menyerempet bahaya ini sesungguhnya bisa menjadi santapan lezat bagi Kopkamtib-Laksusda untuk bertindak. Dulu ia memang dimaksudkan sebagai kritik sosial kepada rezim Orde Baru. Tatkala banyak kejanggalan tak berani diungkap oleh media massa. Ketika informasi yang sahih sukar diakses oleh masyarakat.
Namun Teater Mandiri menempuh jalan bijak, dengan bersikap mawasdiri. Lewat keasyikan menonton yang dikelola dengan cerdik, saran, pikiran, gagasan, dan opini yang memungkinkan perseteruan, disembunyikan. Teater Mandiri piawai menyusun siasat mengelakkan pemasungan. Piawai membaca gelagat, dan menangkap peluang untuk berkelit. “Takuruang nak di lua, taimpik nak di ateh,” kata bijak orang Minang, sebagai menyiasati kebebasan.
Menebar anekdot, dengan menjadikan para tokoh sebagai sasaran olok-olok, provokasi, umpatan, cercaan, makian, menjadi salah satu pilihan untuk mengelabui imajinasi ‘intel’ yang banyak bergentayangan di masa itu. Selain dengan membangun suasana dongeng antah berantah, yang tak bisa ‘diproses-verbal’ maksudnya.
Tapi tidak hanya soal kritik kepada penguasa. Pada pementasan kemarin, penafsiran bisa melebar, bahkan terbalik, kesoal-soal yang justru membuat masyarakat kebingungan. Dulu, yang menjadi masalah ialah minimnya informasi. Informasi bersifat tunggal, monolitik. Kini, yang terjadi adalah banjir bandang informasi. Nalar bening tergerus oleh informasi yang bercampur aduk dengan sampah busuk. Sesat pikir menjadi wabah. Teknologi memberi kemudahan, sekaligus ancaman. Tak ada waktu untuk mencerna, dan merenung. Tak ada kesempatan untuk memilah hal baik dan benar.
Pihak yang diharapkan memberikan jawaban yang lurus, jelas, dan terang, justru tergagap. Dan malah berpikir tentang pistol, sebagai alat pengancam dan pembunuh pertanyaan. Model berpikir birokrasi yang rigid, prosedural dan struktural (dan, tak bisa disembunyikan pula bau politis yang menguar), membuat komunikasi menjadi buntu, chaos. Yang terjadi kemudian adalah bunuh diri akal sehat! Beramai-ramai, baik masyarakat, maupun si penguasa dan antek-anteknya.
Naskah “Aum” sendiri ditulis oleh Putu Wijaya, terinspirasi dari peristiwa bunuh diri massal sekitar 900-an pengikut aliran Kenisah Rakyat di Guyana pada tahun 1978 yang mengejutkan penduduk bumi, serta adanya catatan ilmuwan tentang satu suku bangsa di Afrika yang punah perlahan-lahan karena tak mampu menghadapi perubahan zaman, dan ditemukannya sekawanan burung yang bunuh diri dengan menabrakkan diri ke tembok.
Menonton Teater Mandiri yang ber-Taksu, kemarin malam, di awal tahun yang ditengarai akan diwarnai situasi ekonomi dan politik yang memburuk, saya menemukan pesan kuat yang disampaikan oleh Putu Wijaya dan Teater Mandiri. Soal kewaspadaan. Soal komunikasi yang beradab. Soal bagaimana cara menjawab dan memecahkan problem musykil yang akan dihadapi.
Termasuk dalam mendudukkan kembali Taman Ismail Marzuki sebagai ruang ekspresi yang sehat bagi kaum seniman. Siapa pun tahu, sejak awal, Putu Wijaya adalah salah seorang seniman yang menolak keras penguasaan Taman Ismail Marzuki oleh pihak-pihak yang tidak punya kompetensi dan sejarah di sana.
Tentu saja, selain pesan yang kontekstual itu, saya pun menikmati panggung sebagai khalwa mata. Tayangan visual dengan citarasa perupa. Komposisi, garis dan ruang, ritme, bentuk-bentuk yang mengingatkan saya pada jejeran wayang kulit. Bloking yang rapi, yang dibangun dengan kesadaran. Kostum berlapis-lapis, diwarnai dengan motif tenun etnik. Sosok Bupati konyol mengambil posisi di sebelah kanan, dan rombongan warga berjejer di sebelah kiri. Panggung cukup dengan satu kursi rongsok, properti yang minimalis, yang tepat guna, yang tidak menyemaki, yang berangkat dari semangat Bertolak Dari Yang Ada, yang cerdik cendekia. Selain itu, kecepatan adegan pun terasa terjaga dengan baik.
Putu meyakini dan mewarnai teater modern Indonesia sebagai kelanjutan dari teater tradisi, teater rakyat. Kearifan lokal Bali, “desa-kala-patra,” yang menyarankan keluwesan yang antisipatif, menjadi rujukan. Memuliakan penonton menjadi pertimbangan. Menyerap kecerdasan seni tradisi semisal wayang Bali dengan greget layarnya; dan Teater Mandiri kemudian menggunakan layar (besar) sebagai anasir penting dipanggung, adalah temuan jenial yang bisa menghadirkan kemungkinan.
Memang, ia bukan teater realistik. Lihatlah, setelah kekonyolan, komedi, dan ‘geerr’ hampir di sepanjang pertunjukan, penonton mendadak dihadapkan dengan tragedi, keseriusan yang dakhsyat: Warga yang melolong-lolong dan menikamkan keris beramai-ramai ke jantung masing-masing, termasuk belasan ‘penonton’ yang tiba-tiba berlompatan dari kursinya, lalu memenuhi panggung yang disesaki oleh imaji aneka rupa di layar raksasa yang menggila. Layar besar itu, menguasai panggung, dan merefleksikan banyak hal. Masa lalu dan masa datang, percakapan dan mimpi-mimpi yang kompleks, saling kelibut, berebutan susul menyusul, timpa menimpa, dengan keras, cepat, liar. Teror halus yang dibangun perlahan, sejak menit pertama tontonan, dibagian akhir menderas bertalu-talu, menggedor benak penonton, menjadi teror yang brutal. Tak boleh ada lagi yang tertawa. Tak ada lagi goro-goro, humor yang dijungkir-balikkan itu.
Tapi ia juga tidak sesungguhnya ingin menjadi teater absurd, meski pada sejumlah naskah, tokoh-tokohnya nyaris tak bernama, tak jelas asal-usulnya, yang terperangkap dalam situasi yang tak terbaca. Teater Mandiri beristiqamah menghormati penonton. Mereka mengelakkan istilah pementasan, atau pergelaran.
‘Tontonan’, demikianlah Teater Mandiri menegaskan penampilannya di depan publiknya. Istilah yang dicerap dari teater tradisi. Bahwa teater adalah peristiwa bersama. Bahwa penonton turut menciptakan peristiwa. Penonton adalah unsur penting. Dan di dalam “Aum,” mereka berebutan naik ke panggung, ikut berbunuh diri dalam kecemasan yang melanda masif itu.
Tontonan itu diamsalkan oleh Putu sebagai tuak. Tuak sebagai materi yang membikin mabuk. Dan menjadi penting untuk menimbang, bagaimana efeknya bagi penonton yang menenggaknya.
I Gusti Ngurah Putu Wijaya, yang lahir di Puri Anom, Tabanan, 11 April tujuh puluh sembilan tahun yang lalu, adalah seorang pelukis, penulis naskah teater, cerpen, esai, novel, skenario film, dan sinetron. Ia juga jurnalis. Ia sudah menulis sekitar tigapuluhan novel, seribuan cerpen, ratusan esei, artikel lepas, dan sejumlah kritik drama.
Empat puluhan naskah teater sudah ia tulis. Yang pertama, sejak usianya masih sangat belia,18 tahun, yaitu “Dalam Cahaya Bulan” (tahun 1966). Berlanjut dengan cerita berikutnya, dengan judul-judul singkat tapi menyiratkan konflik, antara lain: Anu, Aduh, Dag-Dig-Dug, Gerr, Dor, Blong, Los, Awas, Tai, Front, Aib, Hah, dan seterusnya.
Segala kehebatannya itu, mengganjarnya dengan banyak penghargaan. Antara lain, tiga kali memenangkan sayembara penulisan novel DKJ, empat kali memenangkan sayembara penulisan lakon DKJ, penulisan esei DKJ dan Kompas, penulisan novel Femina, penerima hadiah buku terbaik Depdikbud, penerima SEA Write Award 1980 di Bangkok, penerima Anugerah Seni dari Menteri P&K (1991), Penerima Profesional Fellowship dari The Japan Foundation Kyoto, Jepang, penerima Anugerah Seni dari Gubernur Bali (1993), Tanda Kehormatan Satyalancana Kebudayaan, penghargaan Akademi Jakarta (2009), dan Penghargaan Presiden RI pada Kongres Kebudayaan 2018.
Saya bahagia berkesempatan menonton Teater Mandiri kemarin, dan berjabat tangan pertama kali dengan Putu Wijaya, yang saya anggap guru menulis dan berpikir saya itu. Merasakan hangat erat jemarinya. Tokoh hebat yang kini masih terus menulis dengan hanya menggunakan dua jemari. Yang novelnya, Telegram dan Stasiun, saya baca berulangkali, sejak lebih empat puluhan tahun yang lalu. Dua buku yang saya beli di sebuah toko buku, Toko Buku Deli namanya, di kawasan kota tua Kesawan, Medan, toko buku yang kini sudah tak berjejak sama sekali. Tapi kedua buku tua itu masih saya simpan sebagai benda yang sangat berharga./*
Comments 3