New York, humaniora.id – Presiden Nusantara Foundation, Imam Shamsi Ali, menekankan bahwa puasa Ramadan harus menjadi momentum peningkatan berbagai amalan ibadah. Tak sekedar bulan ritualitàs.
Bulan Ramadan adalah bulan merajut ketajaman batin bersama Allah. Dengan puasa terjadi “al-qurbah” (kedekatan) bahkan “al-ma’iyah” (kebersamaan) dengan Allah SWT.
Demikian antara lain disampaikan Presiden Nusantara Foundation dalam Forum Kajian Islam menjelang berbuka puasa, yang diselenggarakan Columbia Indonesian Society (CIS), Columbia University, kota New York, Jum’at (31/03/2023) waktu setempat.
Di bulan puasa ini penting untuk mengenal diri sebagai manusia. Bahwa manusia itu memiliki “kemanusiaan” (insaniat) yang menjadikannya manusia.
“Dan ini mungkin ketika spiritualitas manusia hidup. Puasa Ramadan adalah amalan yang menyuburkan ruhiyah dan kemanusiaan kita,” ujar Imam Shamsi Ali yang disampaikan melalui pesan tertulis kepada humaniora.id
Bulan puasa, tegas Imam Shamsi Ali, dapat dijadikan sebagai bulan perenungan-perenungan, termasuk merenungi kembali tentang orientasi hidup.
“Kita sesungguhnya hadir di muka bumi ini untuk apa dan akan kemana. Persis ketika kalian bertanya, anda hadir di New York untuk apa dan akan kemana akhirnya,” sambungnya.
Imam Shamsi Ali menyampaikan rasa syukur, bahwa acara ini bersejarah. Mengingat di Columbia, salah satu universitas terbaik dunia, sudah lama ada mahasiswa-mahasiswi Indonesia. “Namun baru kali ini ada inisiatif memgadakan kajian Islam,” ungkapnya.
Imam Shamsi Ali kembali menegaskan, pentingnya puasa Ramadan menjadi momentum membentuk kembali karakter kemanusiaan yang baik (akhlak karimah). Bahkan menurutnya esensi beragama itu ada pada karakter manusia.
“Iman anda dipertanyakan ketika tidak memiliki dampak positif pada karakter. Ibadah-ibadah ritual yang anda lakukan akan bangkrut jika tidak menghasilkan akhlak yang mulia,” tegas beliau.
Di akhir ceramahnya Shamsi Ali kembali mengingatkan, kajian ini harus menjadi tradisi mahasiswa Indonesia. Karena selain sebagai komitmen keislaman, juga bagian dari spirit keindonesiaan yang berketuhanan.
Di akhir kajian para mahasiswa dipersilahkan menyampaikan berbagai pertanyaan. Satu pertanyaan disampaikan bagaimana menyikapi LBGT yang merajalela di masyarakat. Pembicara memberikan jawaban yang singkat namun komprehensif.
Acara Kajian buka puasa ini juga dihadiri beberapa mahasiswa dan mahasiswi non-muslim. Juga hadir Br. Ebad, Chaplain Muslim di Columbia University.
Acara diakhiri dengan buka puasa dan sholat magrib berjamaah, foto bersama dan tentunya santap malam dengan menu khas Nusantara.
Hampir semua mahasiswa yang tergabung di Columbia Indonesian Society adalah mahasiswa Master dan PhD. Pada umumnya mereka adalah penerima beasiswa dari pemerintah atau LDPK.
New York, 1 April 2023