Jakarta, humaniora.id – Setelah berproses lebih dari sembilan bulan, buku “Jualan Ka’bah, dan Kisah-kisah yang Terserak“, karya terkini Benny Benke akhirnya dirilis.
Buku ini bernarasi tentang kisah perjalanan Benny Benke saat menjadi anggota Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Media Center Haji (MCH) 2023. Bersama ratusan kawan media seluruh Indonesia yang difasilitasi Kementrian Agama RI, selama 50 hari.
Di kota Makkah, Madinah, Taif dan Jeddah kisah-kisah yang pernah mengitari dan terjadi di empat kota itu, oleh Benny dituliskan dalam tulisan yang mendalam.
Buku setebal xxiv, 279 halaman; 17,6 x 25 cm, yang disain sampul atau covernya digambar dengan sangat puitis oleh Bakkar Wibowo, seorang visual desainer.
Benny yang bertugas di daerah kerja (Daker) Makkah mengisahkan pengalamannya bersentuhan langsung dengan persoalan penyelenggaraan ibadah haji tahunan.
Dari kisah tentang khotbah terakhir Nabi di Padang Arafah, Arafah yang ternyata nglangut di malam hari, Mina yang memesona, hingga Ka’bah yang subtil, sampai Madinah yang memerah, hingga Jeddah yang ‘wah’, dan Taif yang hanif ditulis Kepala Biro Jakarta HU Suara Merdeka, itu berdampingan dengan kisah tentang Gua Hira, dan orang-orang yang hilang dan “menolak” ditemukan di Tanah Suci.
Serta sejumlah cerita lainnya, yang bisa dijadikan teman pengantar tidur, bagi calon jamaah haji sebelum benar-benar menginjakkan kaki di Makkah dan Madinah demi menunaikan ibadah haji atau umrah.
Memang tidak ada yang baru di bawah matahari dari tulisan Benny ini, tapi niat menulis dan mencatat peristiwa adalah upaya kemanusiaan yang patut dihormati.
Manusia boleh datang dan pergi, sebagaimana sunnahatullah, tapi catatan perjalanan kehidupan sepatutnya tetap diabadikan.
Untuk itulah menjadi penting buku yang ditulis Kepala Departemen Musik dan Film PWI Pusat ini.
Apalagi menurut Menteri Agama RI H.Yagut Cholil Qoumas, buku ini ditimbang sangat pantas untuk dinikmati. “Secara ringkas, membaca buah pikir dan rasa Benny seperti mengeja dan membaca persoalan yang galib kita temui di sejumlah penyelenggara ibadah haji dengan segala dinamikanya. Namun disajikan dengan menarik, dan menyenangkan langsung dari orang pertama.
“Dengan keterampilan menulis yang baik, Benny tahu sekali bagaimana menuangkan pemikiran ke dalam kata-kata dengan apik dan laras, kemudian mengatur dan mengartikulasikannya dengan jelas dan tidak bias.
“Sehingga, siapa pun pembacanya, akan merasa dilibatkan dalam teks, lalu mendapatkan perspektif berbeda, sekaligus akan memperluas basis pengetahuannya. Sehingga—sekali lagi—semua yang dituliskan Benny di buku ini menjadi semacam “pengantar kecil” kepada siapa pun yang hendak pergi berhaji ke Tanah Suci.
“Karenanya, selamat bertamasya di halaman pengetahuan buku ini,” demikian tulis Gus Yaqut dalam kata pengantar buku ini.
Atau dalam bahasa H. Wibowo Prasetyo Staf Khusus Kemenag RI Bidang Media dan Komunikasi Publik, buku ini seperti taman bermain yang menyenangkan
“Sederhananya, membaca “Jualan Ka’bah, dan Kisah-kisah yang Terserak”, seperti memasuki taman bermain dengan panduan cara bermain yang mendalam dan komprehensif, sekaligus berani. Seperti bagaimana Benny kurang lebih menulis, Tuhan tidak melihat seberapa indah redaksi doa yang kita ucapkan, tetapi Tuhan melihat seberapa indah perlakuan yang membenarkan atas doa kita itu.
“Sebab itu, buku ini menjadi lebih dari layak untuk disimak lantaran Benny berhasil menghubungkan tulisannya dengan pembacanya. Sebagaimana dilakukan Khaled Hosseini, penulis Afghanistan-Amerika dengan karya “The Kite Runner” yang mengharukan itu, yang pernah mengatakan: Menulis adalah cara kita terhubung dengan orang lain, cara kita berbagi cerita kita”.
Sedangkan Ketua Umum PWI Pusat 2023-2028 Henry Ch Bangun menulis; “Via catatannya yang terserak di sejumlah tulisan di buku inilah, Benny secara tidak langsung sedang mempertajam pemikiran kritis pembacanya. Karena sebagaimana kita maklumi, tindakan mencatat dan melakukan refleksi, memaksa seseorang menganalisis informasi, mengevaluasi argumen, dan membuat kesimpulan. Sebelum akhirnya, lahirlah tulisan yang baik ini.
“Karena dari hasil pencatatannya ini, memungkinkan kita, pembaca tulisannya menangkap ide-ide singkat, bertukar pikiran, dan sekaligus mengembangkan konsep yang sudah ada. Sekaligus melakukan komunikasi dengan pembaca tulisannya. Sambil berbagi dan mendiskusikan catatan akan mendorong kolaborasi, mendorong pertukaran pengetahuan, dan menyempurnakan ide.
“Dan yang paling utama, “melestarikan sejarah intelektual”. Karena, sebagai pewarta atau jurnalis yang lebih dari 20 tahun berkarya, catatan ini mempertegas kemampuan intelektualitas penulisnya. Karena, sekali lagi, catatan yang terpelihara dengan baik akan menjadi catatan berharga mengenai pemikiran individu dan kolektif. Sebelum memberikan wawasan tentang sebuah hal di masa lalu, dan menjadi inspirasi bagi generasi mendatang.
“Apalagi, membuat catatan, atau menulis dengan baik dan laras, sebagaimana ditunjukkan Benny dalam buku ini, bukanlah praktik yang bisa dilakukan semua orang. Setiap individu harus menemukan metode dan gaya kepenulisan yang paling sesuai untuk dirinya sendiri. Dan Benny Benke melakukannya dengan baik dengan gaya kepenulisannya yang mengalir di buku ini”.
Akhirnya, buku yang menurut si empunya penulis, “…hanya catatan ringan, ihwal bunga rampai pengalaman tak seberapa bahkan belum semenjana, selama mengikuti dan menjadi keluarga besar Petugas Penyelenggara Ibadah Haji Indonesia (PPIH) 1444 H/ 2023.
“Catatan ringan selama 50 hari di Tanah Suci, mengikuti persiapan penyelenggaraan ibadah haji. Yang berisi catatan ringkas dan informal yang diniatkan untuk mencatat pemikiran atau ide secara cepat dan lekas.
“Daripada cerita yang ada di kepala berserakan begitu saja, dan sekedar menjadi bunga obrolan antarkawan seperibadah hajian, maka dirangkailah tulisan suka cita ini”, akan benar-benar sampai ke pembacanya.
Benny juga berharap, pada akhirnya, sebagaimana semua jenis karya lainnya, buku ini akan sampai ke pembacanya dengan caranya sendiri. Mempunyai nasibnya sendiri.
Sehingga memberikan sedikit urun ilmu kepada pembacanya, syukur-syukur ada suluh di tulisan ini yang mampu memberikan pelita kepada pengasupnya. Dan siapa tahu, entah bagaimana caranya, nasib membawa pembacanya ‘hilang’ di tanah suci, seperti dirinya.
PLT Kepala Perpusnas RI Prof E. Aminudin Azis M.A, Ph.D berharap buku ini bukan sekedar mampu memberikan ajakan kepada masyarakat untuk menguatkan gerakan mencintai literasi digital.
“Tapi juga sekaligus membangkitkan minat kepada generasi z untuk kembali membaca. Membaca apa saja, apalagi pengalaman peristiwa besar seperti ibadah haji dengan persoalannya,” katanya.
Untuk sementara buku yang bisa didapatkan secara gratis, free atau percuma dalam format ibook itu, dirilis oleh SiPena iPerpusnas.
Atau dapat dibaca di laman https://press.perpusnas.go.id/ProdukDetail.aspx?id=965 lalu tinggal click view in fullscreen, dan swiped /gesek untuk membaca halaman selanjutnya.
Dalam waktu dekat, buku ini juga akan bisa ditemui dan dibaca di iPusnas, masih milik iPerpusnas, Perpusnas Press, Anggota IKAPI.