humaniora.id – Pengembangan budaya Indonesia dinilai masih belum maksimal. Padahal, UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan sudah dikeluarkan pemerintah sejak April 2017.
Pernyataan itu disampaikan Ketua Umum Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Hendardji Soepandji saat menerima Dewan Anggota Pengawas RRI Hasto Kuncoro di Rumah Budaya KSBN, kawasan Mandor Hasan, Cipayung, Jakarta Timur, Sabtu (16/10).
“Selama tiga tahun penerbitan UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaa ini ternyata kurang mendapat respons yang memadai. Penekanan Bapak Presiden (Joko Widodo) cukup bagus, Tapi setelah itu kok kurang berkembang. Ini seperti teriakan di padang pasir, teriakan itu tidak terdengar,” ujar Hendardji.
Hendardji menilai pengembangan kebudayaan itu sangat penting dilakukan karena itu menyangkut jati diri bangsa. Bahkan, implementasi Pancasila pun ada di dalam seni budaya.
“Keutuhan bangsa itu akan terjaga kalau seni budaya dipertahankan. Hoaks itu ada karena budaya sopan santun kurang dibumikan di dalam kehidupan sehari-hari,” ujar mantan Danpuspomad tersebut.
Karena itu, Hendardji mengajak pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk terus menjaga budaya bangsa, termasuk budaya sopan santun. Sebab, budaya tersebut sangat penting untuk menunjukkan jati diri bangsa.
“Satu contoh lagi, Bapak Presiden juga pernah mengatakan bahwa sarung akan menjadi pakaian tradisi. Tapi, mana sih sarung itu dipakai harian oleh masyarakat Indonesia,” tutur Hendardji.
Yang jelas, Hendardji menegaskan bahwa pengaruh kebudayaan asing itu begitu kuat di Indonesia. Semua serbaluar negeri mulai dari pakaian, makanan, hingga gaya hidup. Padahal, masyarakat Indonesia sebetulnya bisa menolak pengaruh kebudayaan asing tersebut dengan cara memperkuat nilai-nilai tradisi dalam kehidupan sehari-hari.
“Kita memang tidak mungkin menolak budaya asing yang masuk ke Indonesia. Tapi kita bisa mengurangi, bahkan menepis pengaruh tersebut lewat penguatan nilai-nilai tradisi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, menggunakan pakaian nusantara, mengonsumsi makanan nusantara, hingga mengimplementasi perilaku nusantara,” tuturnya.
Dia menambahkan, membangun dan mengembangkan sanggar-sanggar seni budaya yang mengajari anak-anak mengenal budaya sendiri adalah salah satu upaya untuk menjaga tradisi. Setidaknya, anak-anak yang tumbuh di masa milenial sepereti sekarang ini juga tetap mampu mengetahui dan mencintai budayanya sendiri. Tentunya, ini akan berefek pada perilaku mereka yang berbudaya, termasuk menjaga budaya sopan santun.
“Ini yang harus dihidupkan dalam bangsa kita. Jangan dibiasakan makan makanan luar, pakaian luar, dll. Sehingga, tradisi budaya kita akan tetap terjaga,” katanya.
Dalam konteks ini, Hendardji juga minta pemerintah transparan dalam kebijakan anggaran seni budaya. Sebab, pembangunan yang berbasis budaya yang diamanatkan UU No., 5 Tahun 2017 tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah dalam hal pembiayaan.
“Membangun manusia Indonesia seutuhnya itu ada dalam sepuluh unsur yang tercantum dalam UU No. 5 Tahun 2017. Tapi, anggarannya belum jelas. Saya berharap 5% dari APBN harus diarahkan untuk pengembangan budaya. Itu sangat penting untuk membangun seni budaya. Dan harusnya ada konsolidasi anggaran, berapa persen budaya, berapa persen yang lainnya, biar jadi jelas. Wujudnya apa, program seperti apa,” katanya.
Sementara itu, Anggota Dewan Pengawas RRI Hasto Kuncoro sangat mengapreasisi upaya KSBN yang dipimpin Hendardji. Dia juga sangat setuju jika budaya Indonesia harus mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah dan masyarakat.
“Mudah-mudahan ke depan negara kita tercinta itu panglimanya budaya. Kalau zamannya Bung Karno panglimanya politik, zaman Pak Harto, Pak SBY, dan Pak Jokowi panglimanya ekonomi, mungkin sudah saatnya negara ini ke depan panglimanya budaya agar budaya ini dihargai baik di negara kita maupun di dunia internasional,” ujar Hasto. Sekali lagi, “Budaya Indonesia Dipertahankan, Keutuhan Bangsa Terjaga” (One)
Sumber : Official website Komite Seni Budaya Nusantara ( KSBN ) https://www.ksbnindonesia.org/