JAKARTA, humaniora.id – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Dosen Tetap Pascasarjana Universitas Borobudur Bambang Soesatyo kembali mengajar mata kuliah Politik Hukum dan Kebijakan Publik, kepada para mahasiswa Pascasarjana Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur. Membahas tentang bagaimana sebuah peraturan kebijakan publik dibuat, dan dinamika dibalik pembuatannya.
Database peraturan perundang-Undangan melaporkan setidaknya Indonesia telah memiliki 1.745 undang-undang (UU), 217 Perppu, 4.869 peraturan pemerintah, 18.175 peraturan menteri, 5.817 peraturan badan/lembaga, 18.814 peraturan daerah, serta 58.034 peraturan lainnya.
Dari banyaknya peraturan tersebut, tidak jarang ada yang saling tumpang tindih bahkan saling bertentangan satu sama lain. Pro dan kontra di masyarakat juga pasti selalu ada. Bahkan tidak menutup kemungkinan, sebuah peraturan yang dikeluarkan sangat kental dengan aroma potensi moral hazard yang hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya atau bahkan justru merugikan masyarakat luas.
“Contohnya, UU No.3/2020 tentang Minerba yang pada saat itu ramai dengan kontroversi karena dinilai mengabaikan sisi konservasi lingkungan hidup serta jauh dari tujuan mensejahterakan masyarakat luas. Menurut laporan WALHI, beberapa kontroversi yang menyertai UU tersebut yakni, masyarakat tidak lagi bisa protes ke pemerintah daerah, resiko dipolisikan apabila menolak perusahaan tambang, perusahaan tambang masih bisa beroperasi meskipun terbukti merusak lingkungan, perusahaan tambang bisa mengeruk keuntungan sebanyak mungkin, bahkan mendapat jaminan royalti 0 persen,” ujar Bamsoet saat mengajar mata kuliah Politik, Hukum, dan Kebijakan Publik, kepada para mahasiswa Pascasarjana Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur, di Kampus Universitas Borobudur, Jakarta, Sabtu (14/10/23).
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, agar tidak ada lagi peraturan yang tumpang tindih, saling bertentangan, maupun menciptakan moral hazard, maka pemerintahan Presiden Joko Widodo mengeluarkan jurus jitu melalui omnibus law dalam merancang Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.2/2022 tentang Cipta Kerja, yang akhirnya ditetapkan menjadi UU No.6/2023. Melalui teknik Omnibus Law, sekitar 80 UU dan lebih dari 1.200 pasal dapat direvisi sekaligus hanya dalam satu UU Cipta Kerja yang mengatur multi sektor. Seperti pada bidang perpajakan yang merevisi 7 UU, yakni UU Pph, UU PPN, UU PUK, UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta UU Pemda.
“Untuk mencegah moral hazard, pembahasan UU Cipta Kerja selain melibatkan pengusaha juga melibatkan kalangan pekerja, organisasi buruh, perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan, dan lain sebagainya. Sehingga UU Cipta Kerja tidak hanya menguntungkan para pengusaha, melainkan juga menguntungkan masyarakat pekerja pada umumnya. Misalnya, adanya program jaminan kehilangan pekerjaan yang memberikan manfaat cash benefit, dan pelatihan untuk upgrading atau reskilling, serta akses informasi ke pasar tenaga kerja; hingga memudahkan pelaku UMKM dalam mendaftarkan hak kekayaan intelektual (HAKI) dan mendirikan perseroan terbuka (PT) perseorangan,” jelas Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD dan Kepala Badan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, kata omnibus diambil dari bahasa latin yang artinya for everything. Konsep ini ibarat pepatah “sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui”. Satu regulasi baru dibentuk sekaligus menggantikan lebih dari satu regulasi lain yang sudah berlaku. Selain Indonesia, setidaknya ada sembilan negara lain yang sudah menerapkan metode omnibus law sepanjang sejarah. Misalnya Inggris, Australia, Jerman, Turki, Filipina, Kamboja, Vietnam, Malaysia, dan Singapura.
Konsep omnibus law memangkaa birokrasi di sektor investasi, dengan menderegulasi berbagai peraturan yang tumpang-tindih, dan menyederhanakan peraturan agar lebih tepat sasaran. Penyederhanaan bukan hanya dari segi jumlah, tapi juga dari segi konsistensi dan kerapihan pengaturan, demi mewujudkan efisiensi dalam implementasi kebijakan.
“Metode omnibus law tidak sepenuhnya baru dikenal oleh Indonesia. Terlepas dari soal istilah, substansi omnibus law sudah pernah digunakan dalam berbagai pembuatan legislasi. Misalnya pada tahun 2017 lalu melalui beberapa peraturan, antara lain UU No.9/2017 tentang Penetapan Perppu No.1/2017 tentang Akses Informasi untuk Kepentingan Perpajakan menjadi UU serta Perpres No.91/2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha,” pungkas Bamsoet. (*)