humaniora.id – Kalau membahas film Indonesia, aku jadi teringàt kakak kandung ibuku Taguan Hardjo, kelahiran mereka Paramaribo – Suriname (buka halaman google, untuk penguat cerita nyata) yang kumaksud, beliau beralih sebagai komikus karena kecewa ketika ia menawarkan diri kepada Usmar Ismail untuk menyutradarai film, malah diberi tawaran balik jadi aktor.
Taguan Hardjo tidak lantas ujuk-ujuk menerima secara spontan tawaran yang menggiurkan, saat mana banyak orang berambisi ingin jadi bintang film, sangat tidak mudah di masa lalu. Perlu banyak perjuangan yang dilampaui.
Bukan cuma sekadar modal wajah tampan atau cantik tapi kemampuan seni peran pun harus bernilai tinggi. Bukan sebatas rata-rata atau bertukar guling paha atau kue lapis, tapi benar-benar bisa menarik daya pikat bagi penonton, dan membuat bioskop dipenuhi dan meraup keuntungan.
Sangat tak sama pada hari ini. Penonton hanya dicekoki sajian film yang ternyata hanya mimpi para pembuat film atau pemodal yang terjebak rayuan oleh tawaran untuk memproduksi film yang dipastikan meraih keuntungan selangit.
Bagaimana pemilik modal tak tergiur yang menawarkan merangkap sales adalah sutradara itu sendiri, sudah punya nama pula dan diakui track recordnya. Walhasil, ketika film yang diproduksi telah menelan biaya bermiliar-miliar, sekaligus film sejarah pula, para aktor-aktris pun berharga mahal. Plasssh! Semua harapan hangus, begitu tayang di bioskop, tak banyak orang terpanggil hatinya untuk penasaran dan ingin menonton film sejarah tersebut.
Konon, terkabar dari medsos berdasar survey secara akurat, dari modal yang dikeluarkan hanya seperempat tak sampai kembali ke kantung produser. Sang produser tetap legowo, hitung-hitung sebagai bentuk kepedulian pada film Indonesia, apalagi film yang mengangkat sejarah, kalau mengalami kerugian, biasa. Tidak selamanya seorang pedagang selalu mendapat laba dari penjualan. Tapi ya kalau dirayu kedua kali untuk bikin film lagi, mikirnya sampai akhir hayat dikandung badan, sambil berpesan kapok sembari menekan dada.
Kembali kepada kisah nyata Taguan Hardjo manakala mimpinya untuk menjadi sutradara film di Indonesia, kandas tumpas, tak berampas. Tidak berarti ia segera bertolak menerima tawaran jadi aktor. Ada kemungkinan berbeda sudut pandang di negeri bangsaku, tak laku jadi aktor/aktris jadi crew: tak apalah, tak ada daging, ikan asin lumayan, harus menerima nasib, yang penting judulnya Orang Film.
Menurut Taguan Hardjo, justru merupakan satu pelecehan bahwa lulusan sutradara dari Prancis, tak kurang laku di Indonesia, pada masa film Indonesia sedang mencari jati diri, bahkan sampai hari ini ceritanya tak jauh berbeda, dan yang tidak disangka-sangka di luar perkiraan sejarah hidup manusia, bahwa Usmar Ismail hari ini, menerima penghargaan penghormatan tertinggi sebagai BAPAK FILM INDONESIA semoga Taguan Hardjo berlegowo hati, tetap berusaha tersenyum dibalik kuburnya sebagai ibadah agar masuk surga.
Bagi seorang Taguan Hardjo kesempatan tak datang dua kali, tak berlaku baģinya. Yang di otak adalah punya modal ilmu penytradaraan dari Prancis untuk memajukan kualitas film Indonesia agar mampu mengimbangi film import, tak usah bicara menyaingi, ternyata mimpi kosong di siang bolong.
Taguan Hardjo menutup mata dalam persoalan mau jadi sutradara film di Indonesia, meski bermodal lulusan sutradara dari Prancis. Akhirnya, Taguan Hardjo tetap menghidupkan mimpi besarnya dan tetap menjadi sutradara di dunia cergam (cerita bergambar) alias komik, dan menghasilkan karya komiik cukup banyak, di antaranya: Musang Berjanggut, Sekali Tepuk Tujuh Nyawa, Setangkai Daun Surga, Panglima Nayan, dan lain-lain. Bahkan Taguan Hardjo di masanya, terbilang sebagai Bapak Pelopor Komik Indonesia yang tak pernah bermimpi dikebumikan di Makam Pahlawan.
Semoga caraku memperingati Hari Film Indonesia agak berbeda dari yang beda, hanya sebatas mengenang kakak ibu kandungku Taguan Hardjo.
Dari Desa Singasari
Minggu, 26 Maret 2023
15.30
Bambang Oeban, adalah aktor teater, film, sinetron, pelukis, dan seniman serba bisa.
Comments 2