humaniora.id – Hujan turun deras membasahi ibukota petang kemarin. Bahkan sejak dari pinggiran, khususnya Pondok Cina di Kota Depok, stasiun mana saya berangkat.
Saya gagal turun di stasiun Cikini lantaran duduk di depan. Begitu pintu gerbong terbuka air turun deras dari langit, sehingga saya biarkan menutup lagi dan melaju ke stasiun berikutnya, Gondangdia.
Di stasiun dekat masjid Cut Muthia itu, sudah mulai sedikit reda. Saya memutuskan turun dan naik bajaj, karena ojek motor tak memungkinkan – bakal kuyup. Taksi dan roda empat lainnya terjebak kemacetan.
Pelan melaju menuju Balai Budaya, gedung seni bersejarah, tempat saya sebagai reporter pelibut acara budaya berkumpul sejak penghujung 1980-an hingga 1990an. Gedung seni, dimana event pameran lukisan dan diskusi serta kongkow para seniman besar pada zamannya.
Dari luar nampak bercahaya, dan baliho besar sudah nampak di sana. “Pidato Kebudayaan”, jelas tertera. Gawean kami, para wartawan peliput kebudayaan di Jakarta, malam itu.
Saya melihat Nugroho F Yudho, jurnalis pensiunan ‘Kompas’, yang lebih dahulu hadir. Dan kejutan, Kang Sobary sudah sampai duduk di sampingnya. Lega hati saya. Spontan cium tangan takzim pada Kyai, Budayawan, Cendekiawan yang egaliter ini.
Dia aktor utama malam itu. Saling bertukar cerita seputar hujan di luar yang mencemaskan bagi semua penyelenggara acara. Hujan menimbulkan kemacetan, kemalasan, mendorong orang untuk enggan keluar rumah. Kami tak memikirkan pawang, yang mungkin juga sia sia. Karena hujan memang sudah niat turun. Membasahi jalanan.
Waktu berlalu. Tamu berdatangan satu per satu, sebagiannya teman teman wartawan dari Aliansi Jurnalis Video (AJV) dan para penikmat kegiatan budaya, hadir, karena tak sekadar mendengarkan pidato budaya melainkan juga kami menjanjikan pembacaan puisi oleh Presiden. Maksudnya, President of Performing Arts, Amien Kamil.
Acara berbarengan dengan Ultah AJV ke-4, yang kini dipimpin oleh Chandra, jurnalis muda yang penuh semangat, ramah dan energik. Kami; para jurnalis sepuh Tut Wuri Handayani saja. Melu ngeli – ikut hanyut.
Tantangan media makin kompleks, semua orang bisa menjadi wartawan, dan banjir konten di media sosial, harus diantisipasi oleh para jurnalis dengan ikut serta memberikan berita yang lengkap, akurat, berimbang, positif, memenuhi standar jurnalisme, semaksimalnya.
Kang Sobary menegur kami, karena sudah pk.19.00. Tapi dua bintang lainnya belum muncul, yaitu Ki Sujiwo Tedjo dan Okky Mandasari. Jelang 19.30 mereka nongol. Sudah diduga, mereka terjebak macet. Bahkan di Menteng, jalan dan kawasan yang sudah sangat dekat.
Amien Kamil yang jadi komandan gawean malam itu, mendadak menunjuk saya untuk jadi MC. Tak ada pengalaman untuk moment ini, tapi di acara kebudayaan, acara memang luwes, jadi tak ada masalah.
Tak ada skrip, cukup rundingan mana saja, urutannya. Disepakati dari yang muda dulu, Okky Mandasari, lanjut ke Kang Sujiwo Tedjo dan Kang Sobary yang sudah 71 tahun. Saya hanya membaca contekan bagaimana menyampaikan salam pembukaan.
Oom Swastiatu, namo budaya, salam kebajikan, assalamualaikum dst.
Sebagai pembawa acara saya ikut mendengar pikiran pikiran yang tersaji, tapi tak sempat mencatat, seperti biasanya. Karena harus memikirkan untuk penampilan selanjutnya.
Biasanya saya duduk di barisan penonton sembari oret oret, menulis point point dan mencatat kutipan. Kali ini mendengar saja. Ingatan lemah (bukan lemah ingatan), jadi saya belum bisa mencatat rinci.
Okky Mandasari mengajukan makalah tentang “Martabat” yang berubah menjadi “martabak”. Dia menyindir para politisi yang kehilangan integritas, merosot nalarnya. Sekaligus membidik tukang martabak yang melaju jadi cawapres. Seru.
Selanjutnya Sujiwo Tedjo, yang sudah tidak merisaukan gonjang gonjing yang terjadi. Fokus pada keseimbangan diri. “Mereka yang cemas adalah yang memikirkan, saya tidak memikirkannya, ” begitu katanya.
Lalu dia meniup saxephone, membawakan lagu jadul “Summer Time” (an livin is easy / fish are jumpin’ and the cotton is high..) – sembari menyebut nada lebih mengena di hati ketimbang lirik. Maka dia mengaku selalu mematikan suara di televisi saat para politisi pidato, sebab tanpa suara dan melihat mimik dan gerak mereka sudah menjelaskan apa keinginannya. “Yang disampaikan itu sebenarnya omong kosong” katanya.
Di tengah pidatonya, Ki Tedjo memanggil Amin Kamil untuk membacakan sajak Rendra. Was-was tak hapal, saya ikut nimbrung, karena saya hapal. Mirip nyanyi bareng saja. Sajak tentang kesaksian… “Aku mendengar suara / jerit hewan terluka /ada orang memanah rembulan, ada anak burung jatuh dari sarangnya / Orang orang harus dibangunkan / kesaksian harus diberikan / Agar kehidupan tetap terjaga.”
Diselingi pembacaan puisi yang atraktif oleh Amien Kamil untuk setiap penampilnya, pidato kebudayaan pada akhirnya disajikan cendekiawan dan budayawan, Kang Sobary. Dia curhat dan patah hati atas apa yang terjadi.
“Saya menurunkan foto presiden dan menggantikan dengan gambar cucu saya. Menurunkan foto presiden di rumah adalah sikap saya, ungkapan kekecewaan atas apa yang terjadi pada orang yang selama ini saya bela, yang ternyata mengecewakan, ” begitu katanya.
Simbolisme ala Jawa sangat ampuh. Dalam diam, para petani melawan, dengan caranya. “Ya bukan berarti ‘ya’, ujar Kang Sobary panjang lebar. “Anak anak sejak belia harus diajari perlawanan. Apa artinya pendidikan tanpa sikap ‘ribellion’ (pembrontakan) kepada yang mapan?” pesannya.
Acara mendekati usai ketika seniman Jogja yang sedang jadi berita, muncul bersama pengiringnya : Butet Kartaredjasa dan isteri. Kenapa telat? Saya tanya. “Lha, saya dikasi tahunya TIM, maka saya ke TIM. Kok di sana ada teater, bukan pidato kebudayaan, ” jawabnya.
Amin Kamil yang mengundangnya ke TIM dan kemudian pindah ke Balai Budaya tanpa pemberitahuan lagi. Butetpun jadi bergeser. Tapi meski dekat, dan sama sama Menteng, dengan hujan dan kemacetan melanda, dan jalan dengan tongkat, terasa memakan waktu.
Dan dia ‘misuh misuh’ seperti biasanya. Korbannya, Amien Kamil yang ngundang dia, tentu saja: “Asyuu iki… ” omelnya. Yang di-asyu ketawa saja. Ngaku salah.
Pidato kebudayan penting. Yang tak kurang penting adalah jagongan sesudahnya. Butet yang lagi bikin heboh setelah dilaporkan karena pantun yang dibacakannya, kami tanggap. Sudjiwo Tedjo bertakon takon, bersama Kang Sobary. “Sak jane piye iki, Tet? Lha, bojoku melu stress. ‘Kancamu iki dilaporna polisi, tah?’..Waduhh…”
Butet menjawab sembari ketawa ketawa. Saya nimbrung, “Nggak akan diproses. Kapolda DIY itu temannya. Waktu saya ke padepokan, Kapoldanya hadir, ” kata saya. Butet terkekeh. “Lagian kalau diproses malah jadi blunder, bisa jadi amunisi PDIP, ” kata saya lagi.
Selanjutnya pembicaraan gayeng diiringi canda tawa seperti biasanya. Banyak off the record-nya, tentu saja.
Menengok ke panggung, sudah nampak petugas yang beres beres, akhirnya kursi kursi diangkat, tamu tamu pamit, dan satu per satu pulang.
Saya kebagian terakhir bersama Haris Jauhari naik angkutan online ke Stasiun Gondangdia dan mancal KRL ke arah Pasar Minggu dan Depok./*