humaniora.id – Sejak abad ke 13 Hijriah Klan Ba’alwi berusaha untuk menguasai Hadramaut secara politik. Namun besarnya usaha klan Ba’alwi yang dilakukan untuk menguasai politik Hadramaut sampai abad 14 Hijriah, semuanya gagal. Tulisan ini akan menyajikan bagaimana perjalanan sejarah klan Ba’alwi menurut para sejarawan Yaman terkait usaha mereka untuk merebut kekuasaan politik di Hadramaut. Dari berbagai pandangan sejarawan di Yaman tentang klan Ba’alwi, kita juga dapat mengetahui bagaimana posisi sosial klan Ba’alwi di sana di antara klan-klan lainnya.
Pada abad sembilan Hijriah, yaitu abad permulaan mereka mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW, usaha politik Ba’alwi sama sekali tidak tercatat sejarah. Di abad itu klan Al Katsiri berhasil menguasi politik Hadramaut setelah mengalahkan klan Dawis bin Rashi’ (Tarikh Hadramaut, Salih al Hamid, 2/524). Tahun 970 Hijriah, Sultan Badr Butuwairiq al Katsiri menyatakan tunduk kepada Daulah Utsmaniyah Turki (Tarikh Hadramaut, Solah Al Bakri. 1/99). Tanggal 15 Syawal 1015 Hijriah kaum Zaidiyah menyerang Hadramaut pimpinan Al Imam Ismail Mutawakkil Alallah dengan panglima perang Ahmad bin Hasan Al Shofi. Mereka dapat mengalahkan keluarga Al Katsiri, namun tetap mengangkat keluarga Al Katsiri, Badar bin Umar al Katsiri sebagai pemimpin di Hadramaut. Kemudian Al Katsiri menyatakan merdeka dari Zaidiyah pada tahun 1093. Di tahun itu klan Al Katsiri bersekutu dengan klan Nahd, Al Mahfudz, Al Musa’id, Al Awamir dan Al Tamim. Mereka bersepakat untuk tetap bersatu menguasai Hadramaut (Al Hamid, Tarikh Hadramaut, 1/106-108).
Tahun 1107 Hijriah, setelah kematian Sultan Hasan bin Abdullah Al Katsiri, klan Yafi’ menguasai Hadramaut tanpa peperangan. Hal demikian, karena pengganti sultan Hasan, yaitu Sultan Isa bin Badar al Katsiri lemah dalam pemerintahan. Klan Yafi’ yang merupakan pembantunya menonjol di tengah rakyat. Sehingga secara defacto kekuasaan berada ditangan klan Yafi’. Klan Nahd dan Al Tamim yang mempunyai kekuatan dan nama besar berada di dalam barisan klan Yafi. Klan Yafi menguasai Tarim, Sayun, Syibam, Syahar, Mukalla dan sekitarnya (Solah Al Bakri, Tarikh Hadramaut, 1/108-1016).
Ba’alwi Berusaha Menguasai Politik Hadramaut di Abad 13 Hijriah
Setelah 326 tahun sejak mereka mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW, klan Ba’alwi memulai gerakan politiknya. Mereka termasuk klan yang tidak mempunyai sejarah tempur. Yang dibangun mereka adalah “al sultat al ruhiyah” (hegemoni ruhani). Gerakan politik yang mewarnai klan mereka ke depan juga selalu berkelindan dengan hegemoni ruhani yang mereka bangun itu.
Sejarawan Yaman, Solah al Bakri mengatakan:
لقد بذل ال با علوي كل مستطاع في توطيد مركزهم الروحي وتظاهروا بالصلاح والتقوى وعملوا بكل ما عرفوا به من الدهاء لجلب الناس الى تقديسهم والتبرك والتوسل بهم.
“Klan Ba’alawi melakukan segala kemampuan untuk mengkonsolidasikan posisi spiritual mereka. Mereka berpura-pura saleh dan takwa, dan mereka melakukan dengan segala apa yang mereka tahu dari tipudaya bagaimana membawa orang untuk menyucikan mereka, mencari berkah, dan bertawassul dengan mereka” (Al Bakri, Tarikh Hadramaut, 1/77).
Dibagian lain dari kitabnya Solah al Bakri mengatakan:
ولم يقنعوا بما نالوا من السلطة الروحية بل طمحت نفوسهم وأشرأبّت أعناقهم إلى اكثر من ذلك وطمحوا إلى الملك فلعبوا في السياسة أدوارا هامة
“Mereka tidak puas dengan otoritas spiritual yang telah mereka peroleh, lebih dari itu jiwa mereka bercita-cita dan leher mereka mendambakan lebih dari itu. Mereka bercita-cita menjadi raja, sehingga mereka bermain politik dalam beberapa peran-peran penting” (Tarkih hadramaut, 1/78).
Usaha pertama klan Ba’alwi untuk mendapatkan kedudukan politik dimulai pada tahun 1221 Hijriah. Sejarawan Karamah Mubarak Ba’mukmin dalam bukunya “Al Fikr wa Al Mujtama’” menyebutkan bahwa keluarga Ba’alwi pada tahun tersebut ingin merebut kekuasaan dari Klan Yafi’ dengan mendirikan dinasti Ba’alwi. usaha itu diimplementasikan dengan dikumpulkannya dana dari klan Ba’alwi dengan mengangkat Tahir Husain Ba’alwi sebagai pemimpin dengan gelar “Nasiruddin” dan menjadikan Tarim sebagai ibukota. Namun, gerakan makar itu dapat ditumpas (h. 200).
Usaha lainnya adalah apa yang dilakukan oleh seseorang yang bernama Ishak bin Umar bin Yahya di tahun 1221 Hijriah. Ia mengumpulkan uang atas nama agama kemudian ia memobilisasi orang-orang dari cafe-cafe dan bar-bar untuk melawan pemerintah yang sah dengan menyerang Mukalla. Usahanya ini berhasil ditumpas oleh Gubernur Solah bin Muhammad al Kasadi al yafi’I. orang-orang yang dimobilisasinya itu kebanyakan tewas, namun ia melarikan diri dengan perahu (Solah al Bakri, Tarkih Hadramaut, 1/118).
Ketika klan Yafi’ menguasai Hadramaut, klan Al Katsiri terus berusaha merebut kekuasaan yang dulu dipegangnya. Klan Ba’alwi yang gagal merebut kekuasaan atas nama klannya, kini berusaha menguasai politik atas nama klan lain. Mereka memainkan peran politik ganda: mereka mendukung Al Katsiri di suatu waktu, di waktu yang lain mereka menjalin hubungan juga dengan Klan Al-Yafi’.
Ketika Tarim dipimpin oleh Abdul Qawi bin Abdullah Garamah al Yafi’I, tokoh-tokoh Ba’alwi mendukung tokoh Al Katsiri yang bernama Abud bin Salim Al Katsiri untuk memberontak. Tokoh-tokoh utama Ba’alwi yang mendukung Abud itu adalah Muhsin bin Alwi al Shafi Ba Alwi, Abdullah bin Umar bin Yahya dan Jafar bin Syekh Assegaf. Walaupun mereka mendukung pemberontakan Abud al Katsiri kepada Yafi, tetapi mereka tetap sering sowan mendatangi istana Amir Tarim dari keluarga Yafi’ dan memperlihatkan persahabatan. Sejarawan Solah al Bakri mengungkapkan bahwa Amir Tarim memuliakan mereka dengan semestinya tanpa menyadari bahwa yang sowan kepadanya itu adalah musuh dalam bentuk sahabat; serigala dalam rupa kambing (lihat Al Bakri, Tarikh Hadramaut, 1/ 118).
Usaha merebut kekuasaan yang selalu gagal tidak menjadikan keluarga Ba’alwi berhenti. Mereka memberikan bantuan kepada para pemberontak untuk memerangi pemerintah yang sah yang berasal dari klan Yafi. Bersamaan dengan itu mereka mempengaruhi penguasa local untuk kepentingan mereka. Jika kepentingan mereka terabaikan maka tidak segan mereka menggerakan massa dari kabilah-kabilah yang ada agar masuk ke dalam konflik mereka (lihat Ba’mukmin, h. 301)
Usaha lain yang dilakukan klan Ba’alwi untuk merebut kekuasaan politik adalah dengan mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pada tahun 1343 Hijriah Tarim dikuasai oleh klan Al Kathiri kembali. Untuk dapat membangun otoritas politik, Klan Ba’alwi dari Al Kaf membuat semacam LSM yang diberi nama “Jam’iyyatul Haq”. LSM ini dijadikan klan Al Kaf Ba’alwi sebagai instrument untuk masuk ke dalam lingkungan politik Tarim. Amir Tarim, Muslim bin Galib al Katsiri didekati. Dengan berbagai cara akhirnya klan Al Kaf Ba’alwi dengan LSM nya tersebut dapat mempengaruhi kebijakan Amir Tarim. Pada 10 Jumadil Ula Amir Tarim, Muslim bin Galib Al Katsiri wafat. Ia digantikan oleh Salim bin Abud bin Mutliq al Katsiri. Dominasi klan Ba’alwi semakin menonjol semenjak wafatnya Muslim Al Katsiri. Pemerintahan Salim al Katsiri hanya sebatas nama, pelaksana segala proyek kebijakan adalah LSM Ba’alwi tersebut. Pajak daerah pun diatur dan dilaksanakan oleh klan Al Kaf Ba’alwi. akhirnya keadaan tersebut menimbulkan gejolak rakyat dan kerusuhan. Rakyat Tarim melapor kepada klan Al Qu’aiti dari Bani Yafi’ untuk menertibkan keadaan sehingga kemudian keadaan kembali kondusif (lihat Al Bakri, Tarikh Hadramaut, 2/55).
Tahun 1346 Hijriah dua keluarga besar di Hadramaut: Al Yafi’ dan Al Katsiri mengadakan perjanjian perdamaian. Dua keluarga paling berpengaruh dalam politik Hadramaut ini sepakat untuk memerintah bersama dalam membangun Hadramaut. Keluarga Al Yafi’ di wakili oleh Amir Salih bin Galib al Qu’aiti, sedangkan dari Al Katsiri diwakili oleh dua pimpinan Klan Al Abdullah Al Katsiri (lihat Al Bakri, Tarikh hadramaut, 1/60).
Berita perdamaian itu dibawa oleh Syekh Al Sasi ke Singapura dan Jawa untuk mengkabarkan kepada penduduk Hadramaut yang tinggal di perantauan. Ia mampir di Singapura di rumah seorang Ba’alwi dari marga Al Kaf. Dari sana ia membentuk panitia muktamar warga Hadramaut yang tinggal di Singapura dan Jawa. Muktamar itu akan dilaksanakan di Singapura. Ketika undangan muktamar dikirimkan kepada warga Hadramaut yang ada di Jawa, keluarga Al Yafi’ di Jawa tidak mau menghadiri muktamar di Singapura itu. Mereka curiga bahwa muktamar itu dipengaruhi oleh klan Ba’alwi. alasan itu masuk akal karena pembawa undangan itu berasal dari keluarga Ba’alwi (lihat Tarikh Hadramaut 1/63).
Muktamar itu tetap dilaksanakan pada tanggal 25 Syawal 1346 bertepatan dengan 17 April 1928. Muktamar itu dipimpin oleh Ibrahim Assegaf dan dianggotai mayoritas keluarga Ba’alwi. salah satu point muktamar itu adalah bahwa untuk menunjang ekonomi Hadramaut harus dibentuk sebuah BUMN yang diketuai oleh orang yang berpengalaman dalam dunia perdagangan. Muktamar memutuskan bahwa sosok yang ditunjuk adalah Abdurrahman bin Syekh Al Kaf (Solah al Bakri, lihat Tarikh Hadramaut 2/69).
Klan Yafi’ di Jawa menganggap bahwa hasil muktamar itu hanya ingin mengambil keuntungan dan hegemoni terhadap kekuasaan klan Al Qu’aiti al Yafi’. Akhirnya klan Al Yafi mengirim telegraf dan surat ke keluargaynya di Hadramaut untuk menolak hasil muktamar Singapura yang dianggap hanya sebagai akal-akalan klan Ba’alwi. Ketika Syekh al Sasi datang ke Hadramaut, keluarga Al Yafi mengusirnya dan melarangnya tinggal di daerah yang berada dalam kekuasaan klan al Yafi’. Tidak hanya mengusir Syekh Al Sasi, klan Al Yafi’ juga mengusir Muhammad bin Aqil bin Yahya Ba’alwi yang dianggap sebagai “al jasus al akbar” (mata-mata terbesar) (Al Bakri, Tarikh Hadramaut, 2/64).
Melihat penolakan klan Al Yafi’ tentang hasil muktamar Singapura itu, klan Ba’alwi membuat framing negative terhadap klan Al Qu’aiti melalui surat kabar “Hadramaut” yang terbit di Surabaya. Muhammad bin Aqil bin Yahya Ba’alwi juga mengirim tulisan ke Koran-koran Mesir yang berisi cacian kepada klan Al Qu’aiti. Klan Ba’alwi juga berusaha mengadu domba antara Klan Al Qu’aiti dan Klan Al Katsiri yang telah bersepakat untuk bersatu. Namun, usaha mereka gagal (Al Bakri, 2/66).
Penulis: Imaduddin Utsman Al Bantani