humaniora.id – Awal bulan Januari (5/01), Putu Wijaya dan Teater Mandiri kembali menggelar lakon AUM di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM). Pergelaran itu dimaksudkan sebagai acara penggalangan dana solidaritas untuk beberapa seniman yang membutuhkan, agar bisa terus berkarya.
Adegan dimulai dengan pemandangan di halaman rumah bupati. Sejumlah orang “udik” bergerombol ingin menemui bupati. Mereka telah menempuh ratusan kilometer untuk bisa menghadap bupati, mengadukan berbagai persoalan yang dihadapinya. Mereka tidak puas mendengar jawaban dari hansip bahwa bupati tidak ada di tempat, bupati sedang beristirahat, bupati sedang rapat, dan sebagainya. Mereka bersedia menunggu, bila perlu untuk selama-lamanya. Daripada harus kembali pulang membawa pertanyaan dan malu.
Setelah terjadi aneka kericuhan dan kelucuan di antara sesama hansip; lalu hansip dengan tamu-tamu; serta hansip dengan bupati yang sedang lari pagi; akhirnya tibalah kesempatan para warga menyampaikan pertanyaan.
Tapi coba simak salah satu pertanyaan mereka yang diwakili oleh Taksu: “Kekuasaan yang menghimpit kita, sudah tidak mau lagi memberikan jawaban dari mana asalnya, kenapa dia datang, dan apa tujuannya. Kita terpaku terus di tembok yang rapuh. Bergerak sedikit, seluruh alam ikut bergetar dan batu-batu yang keras makin banyak berjatuhan melukai tubuh kita yang bukan milik kita lagi. Seluruh umat manusia menjadi mayat-mayat berjalan. Dan di alam kuburan yang besar ini, kejujuran akan menjadi senjata- senjata yang membunuh diri kita sendiri. Tak ada sedikit pun harapan, tinggal hanya kerak, Kerak… Bapak Bupatiiiii,,,,,”
Bupati bingung harus menjawab apa. Kalimat panjang Taksu lebih mirip sebuah pernyataan daripada pertanyaan. Bupati hanya bisa menerka-nerka. Jangan-jangan ini bagian dari rencana pemberontakan. Kalau toh yang ingin ditanyakan adalah “kekuasaan yang makin menghimpit”, barangkali juga bukan kapasitas bupati untuk menjawabnya. Tapi rakyat kecil itu terus menuntut jawaban.
Pertanyaan berikutnya makin “aneh” lagi. Diwakili oleh seorang perempuan bernama Mawar, dia menceritakan bahwa tubuh suaminya membengkak, dan ternyata – sang suami itu –sedang hamil tujuh bulan. Hal itu dibenarkan oleh anak-anaknya yang lain, yang lahir lebih dulu dari rahim sang ayah.
Suasana makin gaduh. Semua orang berbicara sesuai versi masing-masing. Bupati akhirnya meninggalkan tempat untuk mengambil seragam dan pistolnya. Terjadi perdebatan seru di antara rakyat yang menuntut jawaban itu. Lalu terjadi perkelahian, dan ada kepala melayang di udara.
Layar putih turun menjadi latar berlakang. Di baliknya aneka bayang-bayang aneh bermunculan. Nenek atau Kepala Keluarga kemudian berseru kepada Tuhan: “…. Tuhan seru sekalian alam, Yang Maha Besar…… Ribuan, jutaan, bermiliar-miliar pertanyaan dalam bongkah kecil dan paket-paket raksasa telah sesak di sini menghimpit kami, mengalir setiap waktu. Tak satu pun yang benar-benar telah terjawab. Dokter-dokter kami, para cendikiawan, tokoh-tokoh masyarakat, para pejabat, dan bahkan juga orang-orang pinter kami yang arif dan bijaksana telah mencoba menjelaskan dengan segala upaya mulut mereka. Tapi semua itu
ternyata belum memuaskan. Itulah sebabnya, hari ini, bagaikan orang murtad, bagai pemberontak dan pembangkang, aku langsung mengetuk gerbang-Mu dan menanyakan langsung: satu, kenapa kelebatan sinar-Mu tidak sama besarnya di hati kami sehingga kami berkelahi sepanjang zaman. Dua, dua a – apa maksudmu yang sebenarnya. Dua b – berapa lama semua ini akan berjalan seperti ini, dalam kurung, seorang anak pernah bertanya, apakah Kamu benar-benar netral atau berpihak? Dan pertanyaan yang terakhir, apa artinya segala yang mokal-mokal itu?” katanya sebelum memutuskan untuk bunuh diri beramairamai.
***
Seperti dikatakan oleh Putu, AUM yang ditulis pada 1981 itu terinspirasi oleh pembunuhan massal pengikut Peoples Temple di Guyana yang dipimpin pendeta James Warren Jones pada 1978. Ditambah lagi dengan aneka berita“ganjil” di koran, seperti seorang ibu melahirkan sembilan bayi kembar di Bangladesh; sekawanan burung menabrakkan dirinya ke sebuah tembok; dan satu suku bangsa di Afrika yang anggotanya mati satu demi satu hingga punah. Tentu saja juga kejadian-kejadian aneh lain di tanah air. Semua itu terakumulasi sehingga menjadi naskah AUM.
Tetapi naskah AUM yang dipentaskan di TIM kali ini juga mengalami perubahan dibanding naskah yang ditulis Putu Wijaya pada 1981. Misalnya, kali ini tak ada orang bertangan banyak mirip oktopus (digantikan adegan di balik layar putih). Lalu tak ada tokoh mantri yang di naskah aslinya juga diminta pendapat soal omongan orang-orang udik itu. Dan perubahan terbesar adalah ending drama ini. Jika di naskah “asli”-nya adegan diakhiri dengan bupati yang pingsan dan kemudiam bangun lalu menembak (meski keliru yang dicabut adalah sapu tangan), di AUM “versi baru” ini sang bupati mengakhiri dengan kalimat: “Beginilah
keadaan dan kenyataannya. Lompatan teknokogi yang terlalu cepat menmbuat seluruh dunia gamang. Terutama saudara-saudar kita sendiri yang di udik, di pedalaman. Mari kita temani mereka agar tak sesat dan agar selamat.” Jadi ada penambahan “misi” di naskah baru ini. Maklum, literasi tentang dunia dunia digital memang belum merata di Indonesia.
Menurut saya, meski telah terjadi beberapa perubahan di sana-sini, ciri khas Teater Mandiri masih terasa kental. Peristiwa aneh-aneh dan dialog yang “aneh-aneh” juga tetap menjadi teror mental bagi penontonnya. Di dalam “Aum”, ada kepala melayang; ada perempuan yang tak lagi bisa berbadan dua karena tugas hamil itu telah diambil alih oleh para lelaki. Tentang kejadian “anek-aneh”, di dunia nyata banyak terjadi. Misalnya, ada anak mebunuh ibunya, ada bapak memperkosa anaknya, ada pemuda menyetubuhi ibu dan adiknya sendiri, dan seterusnya.
***
Salah satu ciri umum gaya berteater Putu Wijaya adalah penggunaan metode obyektif dalam pengisahan, dan gaya stream of of conciousness (orang Prancis sering menyebutnya sebagai le monoloque interieur) dalam pengungkapannya. Maksudnya, dalam hal watak tokoh, Putu sekan-akan tidak pernah menyentuhnya. Para tokoh dibiarkan bergerak dengan tindakan dan pikiran mereka sendiri. Jadi, yang tampak pada penonton seolah-olah Putu hanya sekadar pengamat obyektif para tokoh yang ada di dalam cerita. Pengarang sebagai subyek, seakan terpisah dari karyanya.
Perwujudan teknik itu dalam drama biasanya dilakukan dalam tiga bentuk, yakni monolog (tokoh berbicara panjang sendiri tentang suatu peristiwa yang sudah lewat); soliloque (tokoh berbicara tentang peristiwa yang mungkin atau akan terjadi); dan aside (tokoh mengomentari pembicaraan tokoh lain atau peristiwa yang sedang berlangsung). Dari ketiga hal itulah karakter para tokoh terkuak dan dikenali oleh penonton. Teater Mandiri sudah lama melakukan hal itu.
Malam itu, berkali-kali penonton tertawa menikmati gaya Putu berhumor, dan kali lain tampak diam tercekam oleh beberpa adegan. Lagi-lagi, Putu Wijaya berhasil melakukan teror mental –sekaligus teror moral– kepada penontonnya.
KEMALA ATMOJO, Pencinta seni.
Sumber: https://indonesianlantern.com/2023/01/16/aum-kaum-pinggiran-catatan- pementasan-teater-mandiri-kemala-atmojo/
Comments 1