humaniora.id – Teman di Facebook (FB) sering bertanya : “Apa ini akun bu Nurul Azizah kena hack, setahu saya bu Nurul itu postingannya tentang dakwah bukan politik?” Pertanyaan ini kerap muncul di FB mana kala saya memposting politik. Akun FB saya sehat tidak kena hack, itu yang perlu difahami oleh semua teman FB saya.
Sebelum saya jawab pertanyaan tersebut, sebenarnya masalah agama dan politik menjadi santapan saya setiap hari. Di bidang agama saya sudah biasa dakwah secara nyata dan dakwah di medsos. Terutama kata-kata Islami yang sering muncul setiap pagi dipostingan saya. Bahkan kata-kata motivasi yang bertajuk Islami sudah dikemas dalam satu file dengan nama “Kata-kata bijak.” Nanti kalau pas longgar kata-kata tersebut akan dijadikan sebuah buku (ini baru rencana). Serta postingan tulisan sketsa atau opini pribadi tentang peringatan hari raya atau hari-hari bersejarah dalam Islam. Hal ini sebenarnya saya rangkum saat memberikan ceramah-ceramah keagamaan yang biasa saya sampaikan saat mengisi pengajian di majelis ta’lim ibu-ibu Yasinta (Yasin dan Tahlil). Kemudian saya kemas dalam bentuk tulisan agar tulisan tersebut bermanfaat bagi banyak orang.
Masalah politik sebenarnya sudah lama saya senangi. Agama dan politik menjadi passion saya, silahkan membaca buku yang berjudul: “Muslimat NU di Sarang Wahabi dan Muslimat NU Militan Untuk NKRI,” karya Nurul Azizah. Di buku tersebut masalah agama dan politik terpampang jelas.
Tulisan agama dan politik untuk membongkar tipu daya dan hoak yang disebarkan para pembenci Nahdatul Ulama (NU) dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di akun media sosial saya sekarang ini banyak posting masalah politik ketimbang masalah agama. Ya saya akui, dengan alasan karena mengikuti atau update gencarnya tahun politik. Terutama saat pemilu presiden (pilpres) 2024.
Awalnya saya mencintai presiden Joko Widodo karena prestasi-prestasi membangun negeri dengan jargon kerja, kerja dan kerja. Saya berubah pandangan ke Jokowi ketika beliau ikut cawe-cawe dalam memihak salah satu pasangan calon dimana anaknya menjadi cawapresnya, yaitu Gibran Rakabuming Raka. Presiden adalah jabatan publik dan harus independen tidak boleh memihak salah satu paslon, dan ini yang dilanggar Jokowi dengan berbagai upaya secara terstruktur sistematis dan masif agar Gibran menang.
Bentuk cawe-cawe Jokowi ketika ingin meloloskan Gibran menuju cawapres dengan kongkalikong dengan ketua Mahkamah Konstitusi, yang kebetulan dijabat oleh adik iparnya sendiri yaitu Prof Dr Anwar Usman. Dengan membuat putusan MK No 90/PUU-XXI/2023, tentang batas usia kurang dari 40 bisa mencalonkan diri menjadi capres cawapres, dan Gibran usianya kurang dari 40.
Jokowi sebagai Presiden dan Anwar Usman sebagai ketua MK sudah menabrak konstitusi. Seharusnya calon presiden atau wakil presiden minimal usia 40 tahun.
Dalam diri Kanjeng Nabi Muhammad SAW ada suri tauladan yang baik (hasanah). Nabi Muhammad SAW menikah pada usia 25 tahun, diangkat oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril menjadi pemimpin (Nabi) pada usia 40 tahun (dan ini yang menjadi aturan MK untuk capres cawapres minimal usia 40 tahun).
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan dan pengawasan kebijakan nasional, terdapat jabatan publik yang syarat usia pencalonannya 40 tahun (presiden dan wakil presiden). Dibawah usia 40 tahun yang sama-sama dipilih melalui pemilu seperti jabatan Gubernur (30 tahun), Bupati dan Walikota (25 tahun). Hal ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu.
Mengapa saya kemudian tidak lagi berpihak pada Jokowi, ya karena beliau berubah sementara saya tidak berubah. Saya tetap konsisten dengan perjuangan saya untuk membongkar hoak dan tipu daya demi tegaknya kebenaran di negeri tercinta ini. Saya mulai sadar orang yang selama ini saya kagumi ternyata berbelok arah tidak lagi mementingkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia tetapi memilih memihak agar Gibran lolos menjadi cawapres mendampingi capres Prabowo Subianto. Jokowi menjabat sebagai presiden hanya mementingkan keluarga saja. Beliau berupaya dengan sepenuh hati agar anaknya menjabat sebagai pimpinan publik di negeri yang berbentuk Republik. Indonesia bukan negara kerajaan atau monarki, mengapa Jokowi bersikukuh dengan politik dinasti.
Untuk mewujudkan impiannya Jokowi ikut cawe-cawe dengan mempengaruhi Komisi Pemilihan umum (KPU), Bawaslu, Kementerian agama, Kementerian Dalam Negeri, Kementrian Pertahanan, Kementrian Pertanian, pihak Kepresidenan sendiri (istana) dan Kepolisian Republik Indonesia (sumber majalah TEMPO Hikayat Pilpres 2024 Pemilu Yang Ternoda, edisi 11 Februari 2024).
Menurut teman-teman religius dan nasional apa yang saya lakukan juga bagian dakwah. Moral dan etika adalah salah satu yang diajarkan oleh agama.
Kalau presiden dan MK ikut cawe-cawe dan menabrak konstitusi berarti melanggar moral dan etika berbangsa dan bernegara. Itulah alasan saya sering posting tentang politik. Karena di dalam jabatan publik ada kekuasaan yang tidak lepas dari urusan politik. Seharusnya politik yang dimainkan itu sehat dan diterima oleh semua kalangan masyarakat, bukan berpihak pada keluarga.