Oleh: H. J. Faisal
Krisis Identitas Diri di Usia Paruh Baya
Suatu saat, masuklah sebuah pesan Whatsapp (WA) ke handphone (HP) saya dari seorang teman. Dalam pesan WA tersebut, teman saya tersebut menanyakan sebuah pertanyaan yang menurut saya cukup menggelitik. Dia bertanya kepada saya, apakah benar yang namanya krisis paruh baya itu ada?
Menggelitik memang, tetapi secara pribadi, saya sendiri tidak terkejut dengan pertanyaan teman saya tadi. Terus terang, saya memang sering mendengar istilah krisis paruh baya ini sejak lama, dan makin sering mendengarnya lagi di saat usia saya mulai menginjak 40 tahunan.
Ya, kita yang sudah berumur di atas 40 tahunan dan di bawah 60 tahunan, sesungguhnya memang sedang berada di tengah-tengah proses kehidupan itu sendiri (middle of life), mengingat usia manusia yang hidup di ‘akhir zaman’ pada umumnya hanyalah berkisar rata-rata 71-75 tahun, menurut data badan United Nations atau Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), pada tahun 2024.
Karena sedang berada dalam pertengahan proses hidup dan kehidupan itulah, maka wajar saja jika kehidupan seorang manusia seperti teman saya, anda, dan mungkin saya sendiri, atau bahkan mungkin juga seluruh manusia yang usianya sedang berada dalam rentang usia 40 sampai dengan 60 tahunan, merasakan yang namanya sindrom proses peralihan perubahan fisik dan mental, serta perubahan kematangan pemikiran, yang disebabkan oleh banyak faktor yang ada dalam kehidupan itu sendiri (Midlife Crisis).
Dan setelah saya mencari refrensi dan sumber bacaan ilmiah yang ada dari beberapa sumber, ternyata teori tentang ‘Krisis Paruh Baya’ ini memang ada. Dan berdasarkan refrensi yang saya dapatkan tersebut, ternyata pada dasarnya, seorang manusia tidak hanya mengalami ‘krisis’ dalam dirinya pada saat dia berada di usia paruh bayanya saja.
Artinya, dalam setiap tahapan kehidupan, seorang manusia akan selalu mengalami ‘krisis’ identitas dalam dirinya.
Sedangkan menurut beberapa sumber refrensi yang saya dapatkan tersebut, secara umum, krisis paruh baya dapat diartikan sebagai masa refleksi diri dan evaluasi hidup yang sering kali menyebabkan perasaan tidak puas, kebingungan, dan kecemasan.
Perasaan ‘krisis’ ini sejatinya juga sering muncul tanpa memandang apakah seorang manusia atau individu tersebut sedang dalam keadaan sukses, kaya, apalagi dalam keadaan miskin atau ‘kebelangsak’.
Artinya, secara umum pula, manusia yang mengalami krisis di usia paruh bayanya tersebut, mungkin merasa ingin mengubah gaya hidup, karir, atau hubungan, untuk mencari makna-makna kehidupan yang baru dalam hidupnya.
Adapun beberapa penyebab yang dapat memicu munculnya perasaan ‘krisis’ dalam usia paruh baya seorang manusia, antara lain sebagai berikut:
• Penuaan: Perubahan fisik dan mental yang terjadi seiring bertambahnya usia.
• Kehilangan: Kematian orang terdekat, perceraian, atau perubahan hubungan, maupun kehilangan pangkat dan jabatan.
• Kurangnya pencapaian: Merasa tidak berhasil mencapai tujuan hidup yang diharapkan.
• Stagnasi: Merasa hidup menjadi monoton dan tidak menantang.
• Stres dan Beban Emosional: Krisis paruh baya sering kali dipicu oleh stres, perubahan besar dalam hidup, atau perasaan ketidakpuasan yang terakumulasi.
• Kehilangan Makna dan Tujuan: Seseorang mungkin merasa kehilangan arah atau tujuan hidupnya, yang dapat menyebabkan perasaan hampa (Emotional Numbness), dan tidak bermakna.
• Beban Ekonomi: Krisis paruh baya juga sering diebabkan oleh ketidakmampuan pencapaian taraf hidup yang layak.
• Kecemasan dan Depresi: kondisi seperti kecemasan dan depresi, yang bisa menjadi lebih umum saat seseorang menghadapi transisi besar dalam hidup seperti krisis paruh baya.
Fase Masa Krisis Dalam Kehidupan Manusia
Sesungguhnya, ada beberapa teori dari beberapa tokoh psikologi terkenal yang membahas tentang krisis paruh baya ini. Salah satunya adalah teori dari Erik Erikson, seorang psikolog yang dikenal dengan teori perkembangan psikososial.
Erikson telah berhasil mengidentifikasi krisis paruh baya sebagai bagian dari tahap “Krisis Identitas versus Kehilangan Identitas” yang terjadi pada usia 45-64 tahun. Menurutnya, pada tahap ini, orang mulai mengevaluasi hidup mereka dan merenungkan pencapaian serta tujuan masa depan.
Erikson menyatakan bahwa jika seseorang berhasil menyelesaikan krisis ini, mereka akan merasa memiliki identitas yang kuat dan memiliki arti dalam hidup. Namun, jika tidak berhasil, mereka mungkin merasa kehilangan dan kebingungan tentang tujuan hidup mereka dalam jangka waktu yang lama, atau bahkan sampai manusia atau individu tersebut mati.
Erik Erikson sendiri adalah seorang psikolog analitik Amerika yang lahir pada 15 Juni 1902 di Frankfurt, Jerman, dan meninggal pada 12 Mei 1994 di Harwich, Massachusetts, Amerika Serikat. Erikson dikenal karena teori perkembangan psikososialnya yang mencakup konsep “Krisis Identitas”.
Beberapa bukunya yang terkenal antara lain:
• “Childhood and Society” (1950): Buku ini adalah esai penting yang memperkenalkan teori perkembangan psikososial Erikson.
• “Identity and the Life Cycle” (1968): Buku ini membahas hubungan antara identitas dan siklus kehidupan.
• “Gandhi’s Truth: On the Origins of Militant Nonviolence” (1969): Buku ini mengkaji asal-usul nonkekerasan militan melalui kaca mata psikologi Erikson.
• “The Life Cycle Completed” (1987): Buku ini ditulis bersama istrinya, Joan M. Erikson, dan mengeksplorasi perkembangan psikososial selama siklus kehidupan.
Konsep ‘krisis diri’ atau ‘krisis dentitas’ yang dikembangkan oleh Erik Erikson pada dasarnya merupakan bagian penting dari teori perkembangan psikososialnya. Menurut Erikson, krisis identitas adalah fase penting dalam kehidupan individu, di mana seseorang mencari jati diri dan mengembangkan pemahaman tentang siapa mereka sebenarnya.
Berikut adalah tahapan perkembangan krisis identitas menurut Erikson:
1. Infancy (0-1 tahun): Crisis of Trust versus Mistrust
o Masalah Utama: Kepercayaan dan ketidakpercayaan.
o Pengaruh: Jika bayi merasa aman dan mendapat kasih sayang, mereka akan mengembangkan rasa percaya. Jika tidak, mereka mungkin akan merasa ketidakpercayaan.
2. Early Childhood (2-3 tahun): Crisis of Autonomy versus Shame and Doubt
o Masalah Utama: Kemandirian versus rasa malu dan keraguan.
o Pengaruh: Anak-anak yang didorong untuk melakukan sesuatu sendiri akan mengembangkan otonomi. Jika terlalu dikekang, mereka mungkin merasa malu dan ragu.
3. Preschool (3-5 tahun): Crisis of Initiative versus Guilt
o Masalah Utama: Inisiatif versus rasa bersalah.
o Pengaruh: Anak-anak yang didorong untuk melakukan aktivitas dengan inisiatif sendiri akan mengembangkan rasa percaya diri. Sebaliknya, jika sering merasa bersalah atau dihalangi, mereka mungkin merasa tidak cukup baik.
4. School Age (6-11 tahun): Crisis of Industry versus Inferiority
o Masalah Utama: Kepintaran versus rasa rendah diri.
o Pengaruh: Jika anak merasa kompeten dalam kemampuan dan prestasi mereka, mereka akan mengembangkan rasa berprestasi. Jika tidak, mereka mungkin merasa rendah diri (inferior).
5. Adolescence (12-18 tahun): Crisis of Identity versus Role Confusion
o Masalah Utama: Identitas versus kebingungan peran.
o Pengaruh: Masa remaja adalah periode krusial di mana individu mencari jati diri dan tujuan hidup mereka. Keberhasilan dalam fase ini akan menghasilkan identitas yang kuat, sementara kegagalan bisa menyebabkan kebingungan identitas.
6. Young Adulthood (19-40 tahun): Crisis of Intimacy versus Isolation
o Masalah Utama: Keintiman versus isolasi.
o Pengaruh: Orang yang berhasil membangun hubungan yang erat akan merasa dekat dan terhubung. Sebaliknya, yang gagal mungkin merasa terisolasi dan kesepian.
7. Middle Adulthood (40-65 tahun): Crisis of Generativity versus Stagnation
o Masalah Utama: Produktivitas versus stagnasi.
o Pengaruh: Orang dewasa yang aktif dan merasa berguna akan merasa bermakna dalam hidupnya. Jika tidak, mereka mungkin merasa stagnan dan tidak produktif.
8. Maturity (65 tahun ke atas): Crisis of Ego Integrity versus Despair
o Masalah Utama: Integritas ego versus keputusasaan.
o Pengaruh: Orang yang merasa puas dengan kehidupan mereka akan mencapai rasa integritas. Sebaliknya, mereka yang tidak merasa puas mungkin mengalami keputusasaan.
Menurut Erikson, pada masa remaja (adolescence), individu berada pada tahap Identity versus Role Confusion. Ini adalah fase di mana remaja mulai mengeksplorasi siapa mereka sebenarnya, apa yang mereka yakini, dan tujuan hidup mereka. Mereka mencoba berbagai peran dan pengalaman untuk menemukan identitas mereka. Keberhasilan dalam tahap ini akan menghasilkan identitas yang jelas dan kuat, sedangkan kegagalan dapat menyebabkan kebingungan identitas dan ketidakpastian tentang masa depan.
Krisis paruh baya (midlife crisis) yang terjadi di tahap Generativity versus Stagnation juga dapat dianggap sebagai perpanjangan dari pencarian identitas, di mana individu mengevaluasi pencapaian hidup mereka dan mencari makna serta tujuan baru.
Konsep Kebangkitan Mental a.k.a Tranformasi Positif
Setelah kita memahami arti krisis paruh baya dan penyebabnya, maka akan lebih lengkap jika kita sama-sama memahami pula, bagaimana solusi untuk membangkitkan kembali kondisi mental kita sebagai manusia yang sedang berada di usia ‘midlife’ ini, agar tidak terus terjerembab ke dalam krisis diri atau krisis identitas yang lebih dalam lagi.
Ada konsep yang dikenal sebagai kebangkitan mental atau transformasi positif pada usia dewasa atau paruh baya. Istilah ini merujuk pada perubahan besar dalam pandangan hidup dan kesejahteraan mental yang sering terjadi setelah seseorang mengatasi krisis paruh baya atau menghadapi perubahan signifikan dalam hidup mereka.
Teori kebangkitan mental atau transformasi positif dalam menghadapi krisis identitas di usia paruh baya banyak dipengaruhi oleh kontribusi dari Martin Seligman, yang sering disebut sebagai “Bapak Psikologi Positif”. Seligman telah mengembangkan konsep-konsep seperti teori kesejahteraan dan sikap positif, yang membantu memahami dan mendorong kesejahteraan mental dan emosional.
Martin Seligman sendiri lahir pada 12 Agustus 1942 di Albany, New York, Amerika Serikat. Ia adalah seorang psikolog, pendidik, dan penulis buku bantuan diri yang dikenal sebagai “Bapak Psikologi Positif”. Seligman memperoleh gelar sarjana dalam filsafat di Princeton University pada tahun 1964 dan gelar Ph.D. dalam psikologi di University of Pennsylvania pada tahun 1967.
Seligman dikenal karena teori Learned Helplessness (Ketidakmampuan Belajar) dan kontribusinya terhadap psikologi positif. Dia menulis banyak buku, termasuk “Learned Optimism”, “Authentic Happiness”, dan “Flourish”. Seligman juga menjabat sebagai Presiden American Psychological Association (APA) pada tahun 1998.
Dan berikut adalah beberapa aspek dari kebangkitan mental di usia dewasa atau paruh baya, menurut Seligman:
1. Redefinisi Identitas:
• Evaluasi Diri: Setelah menghadapi krisis paruh baya, banyak orang melakukan evaluasi diri yang mendalam dan memutuskan untuk mengejar tujuan yang lebih bermakna dalam hidup mereka.
• Penemuan Tujuan Baru: Individu mungkin menemukan minat atau tujuan baru yang memberikan rasa pencapaian dan kebahagiaan.
2. Mindfulness dan Spiritualitas:
• Praktik Mindfulness: Melibatkan diri dalam praktik mindfulness atau mencari ketenangan batin yang bersifat positif, sehingga dapat membantu seseorang mencapai kebangkitan mental dengan meningkatkan kesadaran diri dan kebahagiaan batin.
• Pendalaman Spiritualitas: Beberapa individu menemukan kebangkitan spiritual yang memberikan makna dan tujuan baru dalam hidup mereka.
3. Pertumbuhan Pribadi:
• Penerimaan Diri: Kebangkitan mental sering kali melibatkan penerimaan diri dan kondisi hidup yang lebih positif, yang dapat meningkatkan kesejahteraan emosional.
• Kemandirian Emosional: Orang yang mengalami kebangkitan mental mungkin menjadi lebih mandiri secara emosional dan mampu mengatasi tantangan dengan lebih baik.
4. Koneksi Sosial:
• Hubungan yang Lebih Dalam: Memperkuat hubungan sosial dan mengembangkan koneksi yang lebih dalam dengan orang-orang terdekat bisa menjadi bagian dari kebangkitan mental.
• Keterlibatan Komunitas: Banyak orang mulai lebih terlibat dalam kegiatan komunitas atau amal, yang memberikan rasa kontribusi dan kebahagiaan.
5. Kesehatan dan Kesejahteraan:
• Perubahan Gaya Hidup: Mengadopsi gaya hidup yang lebih sehat, termasuk olahraga teratur dan pola makan yang baik, dapat mendukung kebangkitan mental dan meningkatkan kesejahteraan secara keseluruhan.
• Pencapaian Keseimbangan: Mencapai keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi dapat membantu seseorang merasa lebih puas dan sejahtera.
Masih menurut Seligman, kebangkitan mental itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal yang mendukung transformasi positif seseorang. Dan berikut adalah beberapa faktor penting dari dalam (internal) dan luar diri (eksternal) tersebut:
Faktor Internal (Dari Dalam Diri):
1. Motivasi Diri:
o Keinginan untuk Berubah: Keinginan yang kuat untuk memperbaiki diri dan kehidupan adalah pendorong utama kebangkitan mental.
o Tujuan dan Aspirasi: Menetapkan tujuan yang jelas dan realistis membantu memberikan arah dan motivasi.
2. Kesadaran Diri:
o Refleksi Diri: Kesadaran dan refleksi terhadap perasaan, pikiran, dan tindakan membantu individu mengenali area yang memerlukan perubahan.
o Mindfulness: Praktik mindfulness atau kesadaran penuh dapat meningkatkan pengendalian emosi dan pikiran.
3. Ketahanan Mental:
o Resiliensi: Kemampuan untuk bangkit dari kegagalan dan rintangan sangat penting untuk menghadapi perubahan dan krisis.
o Optimisme: Memiliki pandangan positif terhadap masa depan membantu seseorang tetap termotivasi dan bersemangat.
4. Kesehatan Emosional dan Fisik:
o Manajemen Stres: Mengelola stres dengan baik melalui teknik relaksasi atau olahraga dapat meningkatkan kesejahteraan mental.
o Kesehatan Fisik: Pola makan sehat, olahraga, dan istirahat yang cukup mendukung fungsi otak dan kesehatan mental.
Faktor Eksternal (Dari Luar Diri):
1. Dukungan Sosial:
o Keluarga dan Teman: Dukungan dari keluarga dan teman-teman dapat memberikan dorongan emosional dan rasa aman.
o Komunitas: Bergabung dengan kelompok atau komunitas yang memiliki minat dan nilai yang sama dapat memberikan rasa keterhubungan dan dukungan.
2. Lingkungan yang Positif:
o Lingkungan Kerja: Lingkungan kerja yang sehat dan menyenangkan, serta saling mendukung, akan dapat meningkatkan kesejahteraan mental.
o Tempat Tinggal: Lingkungan yang aman dan nyaman membantu menciptakan stabilitas emosional.
3. Akses ke Bantuan Profesional:
o Terapi dan Konseling: Bantuan dari psikolog atau konselor profesional dapat memberikan strategi dan dukungan untuk mengatasi masalah.
o Pelatihan dan Workshop: Mengikuti pelatihan atau workshop tentang pengembangan diri dan kesejahteraan mental dapat membantu dalam proses kebangkitan mental.
4. Sumber Daya dan Informasi:
o Literatur dan Pendidikan: Membaca buku, menulis artikel, atau mengikuti kursus tentang pengembangan diri dan kesehatan mental dapat memberikan wawasan dan alat untuk perubahan.
o Media Sosial: Mengikuti akun atau komunitas yang mempromosikan kesejahteraan mental dan motivasi yang bisa menjadi inspirasi. Jika perlu melakukan pembersihan postingan yang bersifat flexing atau ‘unuseful things’ di media sosial sendiri (zero grid).
Bagaimanapun, kebangkitan mental di usia dewasa atau paruh baya adalah proses yang sangat personal dan unik bagi setiap individu. Proses tersebut pada dasarnya tidak dapat disamaratakan antara satu manusia atau satu individu dengan individu lainnya. Dengan dukungan yang tepat dan refleksi diri, banyak orang menemukan cara baru untuk meraih kebahagiaan dan makna dalam hidup mereka pada usia ini.
Sejatinya, kombinasi dari faktor internal dan eksternal ini dapat memberikan dukungan yang diperlukan untuk mencapai kebangkitan mental dan transformasi positif dalam hidup seseorang.
Tips Jitu Anti Stress dan Anti Krisis Identitas Diri Dalam Islam
Setelah kita mengetahui bagaimana proses ontologi, epitimologi, dan aksiologi yang telah dilakukan oleh para ahli psikologi tentang krisis identitas diri di berbagau rentang usia manusia, terutama di rentang usia paruh baya, maka kita akan mencoba memahami bagaimana sebenarnya petunjuk yang telah Allah Ta’alla dan Rasul-Nya berikan kepada manusia mengenai hal ini.
Di dalam tuntunan Islam sendiri, sesungguhnya banyak terdapat banyak tips atau petunjuk ayat dalam Al-Qur’an dan hadits Rasulullah Salallahu alaihi wassalam, yang mengajarkan manusia untuk tidak berputus asa, tidak tertekan (stress), tidak berkeluh kesah, dan selalu bangkit ketika menemui kendala atau mengalami segala macam krisis dalam kehidupan, termasuk krisis diri atau krisis identitas ini.
Berikut beberapa tipsnya:
1. Al-Baqarah 2 : 286, yang artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan dia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”
2. Az-Zumar 39 : 53, yang artinya: “Katakanlah: Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Hadits:
1. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda, yang artinya: “Janganlah salah seorang di antara kalian berkata: Ya Allah, ampuni aku jika Engkau menghendaki. Akan tetapi hendaklah dia bersungguh-sungguh dalam meminta dan memperbesar harapan, karena tidak ada yang bisa memaksa Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda, yang artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya pertolongan Allah itu didapatkan bersama dengan kesabaran. Kelapangan itu didapatkan bersama dengan kesulitan. Sesungguhnya setiap kesulitan itu ada kemudahan.” (HR. Ahmad).
Akhirul kalam, semoga dengan coretan artikel yang sederhana ini, kita dapat membuat program ‘Stress Management’ kita sendiri dalam upaya mengurangi tingkat tekanan (stress) dan beban krisis identitas diri di usia kita saat ini.
Tengoklah ke kanan kita, dimana keluarga kita ingin terus tersenyum dan berbahagia bersama kita. Dan tengoklah ke kiri kita, dimana lingkungan kita, sahabat kita, rekan kerja kita, ingin selalu merasakan kehangatan kehadiran kita, karena kita selalu, selalu, dan selalu menebarkan aura positif kita, dan bukan aura toxic atau aura krisis kita.
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 24 November 2024
Dosen Sekolah Pacasarjana Prodi MMPI UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Sekretaris Majelis Riset dan Digitalisasi PB Al Jam’iyatul Washliyah/ Anggota PJMI