humaniora.id – Antara pendirian yang kuat dan self-diagnosis dalam ber-media sosial.
Dampak Populer Media Sosial
Salahsatu dampak negatif yang dihadapi oleh masyarakat modern pengguna berbagai platform media sosial (baca: Netizen) saat ini, adalah menghadapi derasnya informasi yang masuk, sehingga terkadang masyarakat modern pengguna berbagai platform media sosial atau para netizen tersebut sering merasa terkecoh dalam memilih mana informasi yang akurat, dan mana informasi bohong, serta yang mana informasi yang sifatnya provokatif negatif.
Ya, ‘perang informasi’ pun akhirnya sering terjadi di dalam dunia internet dan media sosial. Bahkan seringkali terjadi saling ejek, saling menghina, dan saling ghosting diantara para user media sosial tersebut, apalagi karena terlanjur terprovokasi.
Dan yang lebih parah, terkadang informasi yang bersifat provokatif negatif tersebut ditelan begitu saja, sehingga yang tadinya para pengguna tersebut hanya ‘berperang’ di platform media sosial secara online, akhirnya berperang ‘kopi darat’ secara offline.
Namun yang lebih menggelikan dan mengherankan saya, banyak sekali organisasi aparat atau instansi pemerintah yang sepertinya juga merasa lebih ‘takut’ untuk ‘dikontrol’ oleh para netizen, alih-alih mematuhi sistem dan Standar Operasional Prosedur (SOP) serta kompetensi kinerja yang mereka miliki.
Entahlah, mungkin karena mereka tidak ingin ‘borok-borok’ yang ada dalam instansi mereka ‘dijembreng’ oleh para netizen yang ikut memperhatikan kinerja mereka, sehingga dikhawatirkan akan menjatuhkan harga diri instansi mereka, dan dicap tidak becus kerja oleh masyarakat.
Padahal, jika aparat atau instansi pemerintah tersebut bekerja sesuai dengan sistem, perundangan, dan SOP yang benar, sepertinya mereka tidak perlu merasa ‘kebakaran jenggot’ dengan kontrol kinerja yang dilakukan oleh para netizen di media sosial.
Dalam hal ini, kita perlu mengucapkan terimakasih juga kepada para netizen yang sudah ‘berpartisipasi’ dalam mengontrol kinerja aparat atau instansi pemerintah yang tidak berkualitas tersebut, karena telah menjadi elemen suara masyarakat (People Power) dadakan, yang ternyata sangat ampuh dalam memecut kualitas kerja para aparat atau instansi pemerintah ini.
Fenomena Self-Diagnosis Dalam Ber-media Sosial
Salahsatu fenomena menarik lainnya dari dampak negatif penggunaan media sosial yang ada selama ini, yaitu munculnya ‘penyakit’ Self-Diagnosis. Secara sederhana, self-diagnosis dapat diartikan sebagai sebuah tindakan mendiagnosa atau menyimpulkan sendiri ‘kebenaran’ dari sebuah informasi, konten, atau komentar yang diterima di media sosial terhadap diri sendiri, tanpa melakukan konsultasi atau bertanya kepada ahlinya terlebih dahulu.
Misalkan saja, ketika kita membaca sebuah informasi, konten, atau sebuh komentar dari sebuah media sosial, dan kebetulan informasi, konten, atau komentar tersebut pernah kita alami atau sedang kita rasakan, langsung saja kita membenarkan informasi atau komentar tersebut, tanpa mengecek terlebih dahulu kebenaran informasi tersebut, agar tidak terjadi misdiagnosis.
Dan jika informasi, konten, atau komentar dalam media sosial tersebut bersifat negatif, maka dapat dipastikan akan timbul banyak sekali kekhawatiran diri, skeptis, overthinking, dan pesimisme dalam diri sendiri.
Padahal sejatinya, mereka yang memberikan informasi atau komentar dalam berbagai media sosial tersebut sebenarnya lebih banyak menggunakan narasi yang dibentuk dari pengalaman pribadi yang telah ‘didiagnosis’ sendiri dengan kondisi tertentu, dengan gaya bahasa yang persuasive, sehingga mempengaruhi orang lain yang menganggap kondisi yang mereka alami sama.
Tidak hanya sampai di situ, hal ini pun mengantarkan pada situasi yang lebih buruk, yakni banyaknya orang yang menormalisasi self-diagnosis tersebut, dikarenakan pengaruh sosial media yang intens, penggiringan opini yang sangat kuat, influencer dengan pengikut yang banyak, serta narasi-narasi yang dramatis, sehingga masyarakat luas memiliki pola pikir atau mindset bahwa self-diagnosis adalah hal yang benar, karena sangat umum untuk dilakukan dan sudah menjadi sebuah ‘kebenaran’ yang dapat ‘diterima’ bersama.
Jika kita atau para netizen selalu menggunakan self-diagnosis sebagai cara untuk menarik sebuah kesimpulan yang ‘benar’ terhadap diri sendiri, maka akan timbul berbagai bentuk depresi dalam diri, yang akhirnya sangat berpengaruh negatif terhadap kesehatan mental itu sendiri.
Dan akibat proses self-diagnosis ini, maka para pengguna internet dan media sosial yang telah terpengaruh tersebut, akan mengalami peningkatan kecemasan, karena melihat banyak informasi, konten, dan komentar atau influencing terkait keadaan negatif yang mereka anggap telah telah terjadi pada diri mereka.
Menjadi Netizen Cerdas dan Berpendirian Kuat
Dalam sebuah rilis detik.com (22 Juni 2024) dinyatakan bahwa media sosial bersifat candu seperti obat-obatan terlarang dan narkoba. Tidak hanya bersifat adiktif tetapi juga seperti pandemi, informasi yang ada di dalamnya tersebar sangat cepat dan sangat luas hingga ke berbagai jenjang usia penggunanya.
Akibatnya, misinterpretasi dari informasi-informasi yang beredar mengakibatkan fenomena berupa echo chambers di mana orang-orang cenderung bergabung dengan pihak lain yang berkeyakinan sama untuk mendukung mindset self-diagnosis mereka.
Mengapa hal ini dapat terjadi?
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), yaitu sebuah organisasi yang terbuka bagi seluruh penyedia jasa internet di Indonesia, baik yang bergerak di bidang telekomunikasi maupun perusahaan-perusahaan internet) secara rutin melakukan survei tahunan untuk mengukur perkembangan industri internet di Indonesia. Survei ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari seluruh anggota APJII dan menganalisis tren yang terjadi di dalam industri internet, termasuk aspek-aspek seperti penetrasi internet, perilaku pengguna internet, perkembangan e-commerce, serta potensi bisnis internet di Indonesia.
Dan menurut laporan survey APJII per 2023, berdasarkan tingkat pendidikan, penetrasi internet paling banyak terjadi pada masyarakat dengan tingkat pendidikan Pasca-sarjana (Magister dan Doktoral yakni mencapai 100%, dengan kontrobusi 0,45%.
Kemudian, tingkat sarjana 97,61% dengan kontribusi 8,23%, dilanjutkan oleh tingkat SMA 94,74% dengan kontribusi 51,27%, dan tingkat SMP 85,42% dengan kontribusi 24,15%.
Dengan melihat hasil survey tersebut, dan memperhatikan tingkat kontribusinya, maka jelas terlihat bahwa dominasi pengguna media sosial atau internet di Indonesia lebih banyak didominasi oleh mereka yang berpendidikan SMA dan SMP.
Ini artinya peluang self-diagnosis yang terjadi di dalam dunia media sosial Indonesia memang sangat tinggi, dikarenakan tingkat pendidikan yang rendah akan sangat berpengaruh terhadap sikap atau tindakan yang akan diambil oleh seseorang, dan pola pikir yang pendek dan sempit juga sangat mempengaruhi sifat self-diagnosis yang negatif tersebut.
Jika demikian, bagaimana cara netizen Indonesia agar terbebas dari pengaruh self-diagnosis dalam bermedia sosial, dan agar tidak terjadi misdiagnosis yang dampaknya akan sangat membahyakan fisik dan mental?
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan agar para netizen Indonesia menjadi pengguna media sosial yang cerdas secerdas-cerdasnya, dan tetap menjadi netizen yang sehat fisik dan mental, yaitu antara lain mengecek terlebih dahulu kebenaran informasi dari konten atau komentar yang diterima di media sosial, bertanya kepada ahlinya jika masih merasa ragu dengan kebenaran informasi yang beredar, dan hindari misself-diagnosis dengan tetap berpendirian kuat untuk tidak terpengaruh begitu saja terhadap infromasi, konten dan komentar yang diterima.
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 23 Juni 2024
*Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI