JOMBANG, humaniora.id – Indonesia merupakan negara dengan angka stunting tertinggi ke-2 di Asia Tenggara dan menduduki peringkat ke-5 di dunia menurut data riset kesehatan dasar (Riskesdas) di tahun 2018.
Minimnya pengetahuan soal kesehatan perempuan juga menjadi salah satu faktor tingginya angka stunting di negara ini.
Pada acara Sosialisasi Pencegahan Stunting dari Hulu dalam Rangka Penguatan Peran Serta Mitra Kerja dan Stakeholder dalam Implementasi Kegiatan Prioritas Pembangunan Keluarga yang diselenggarakan oleh Direktorat Ketahanan Remaja (Dithanrem) Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) Anggota Komisi IX Dapil Jawa Timur VIII M. Yahya Zaini, S.H mengatakan bahwa Indonesia harus melakukan pencegahan stunting dari hulu guna memanfaatkan bonus demografi secara maksimal dan menggapai Indonesia Emas pada tahun 2045.
“Bonus demografi akan menjadi malapetaka apabila presentasi stunting tidak diturunkan. Padahal balita-balita inilah yang kelak menjadi tenaga produktif pada masa depan,” tutur Yahya di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Kamis (14/12/2023).
Yahya juga menegaskan bahwa kebutuhan gizi pada ibu hamil dan menyusui harus terpenuhi dengan baik. Dan pemberian ASI eksklusif perlu diberikan pada bayi hingga usia 6 bulan, diatas usia tersebut bayi bisa diberikan makanan pendamping ASI.
“Selain pemberian ASI, pemeriksaan tumbuh kembang bayi ke posyandu secara teratur juga perlu dilakukan untuk mencegah stunting. Pemeriksaan tinggi dan berat badan bayi merupakan salah satu cara untuk mengetahui apakah bayi masuk kategori stunting atau tidak,” lanjutnya.
Direktorat Bina Ketahanan Remaja Retno Dewanti, S. Sos. M. A. P mengungkap bahwa setidaknya ada sekitar 600 juta gadis di seluruh dunia “menghilang” dari agenda pembangunan karena menghadapi banyak kerentanan seperti ketidaksetaraan gender, kekurangan gizi, pernikahan anak, dan kehamilan usia remaja.
“Ada sebanyak 50 ribu anak menikah dini karena mayoritas hamil di luar nikah,” sebut Retno.
Retno menerangkan bahayanya wanita yang hamil pada usia kurang dari 20 tahun, karena memiliki peluang 2 kali lebih beresiko melahirkan anak dengan kondisi stunting.
“Untuk mencegah agar tidak melahirkan anak yang stunting, setiap calon ibu dan calon ayah (calon pengantin) harus dipastikan berada dalam kondisi yang ideal untuk menikah, hamil, dan melahirkan,” ujarnya.
Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Timur Dra Maria Ernawati, MM memaparkan bahwa 1000 hari pertama kehidupan merupakan periode paling penting dalam sejarah kehidupan manusia. Dimana pada masa ini 80% otak terbentuk dan akan terhambat perkembangannya apabila bayi memiliki minim stimulasi.
“Stunting memiliki dampak pada menurunnya kualitas sumber daya manusia, produktivitas dan daya saing,” kata Maria.
Ia melanjutkan, stunting memiliki dampak jangka panjang apabila tidak dilakukan pencegahan. Dampak tersebut meliputi menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah terpapar penyakit, dan meningkatnya risiko memiliki penyakit diabetes obesitas, jantung, pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua.
“Indonesia merupakan pada peringkat ke-130 pada negara dengan tingkat kecerdasan IQ di dunia pada tahun 2022. Bayangkan berapa banyak anak-anak Indonesia yang masuk dalam kategori stunting?” ujar Maria.
Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Timur menyebut pencegahan stunting perlu dilakukan sejak masa pra nikah. Calon pasangan diwajibkan untuk melakukan skrining dan pembekalan Kespro, dan harus mengkonsumsi multi vitamin.
“Setelah menikah dan kemudian mengalami kehamilan, ibu harus mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang dan setidaknya melakukan 4 kali pemeriksaan kehamilan,” ungkapnya.
Sementara itu, Muh. Nurdin Purwoko selaku Sekretaris Dinas PPKBPPPA mengatakan bahwa stunting merupakan pertanda bahwa ada masalah dalam manajemen penyelenggaraan pelayanan dasar. Hal ini khususnya terkait dengan belum optimalnya skala, kualitas, dan keterjangkauan pelayanan pada kelompok sasaran prioritas, yaitu remaja, calon pengantin, ibu menyusui, ibu hamil, dan anak usia 0 – 59 bulan.
“Angin segar bagi kabupaten Jombang bahwa angka stunting pada kabupaten ini turun dari tahun sebelumnya sebesar 8,39% kini menjadi 6,21%,” kata Nurdin.
Meski begitu, Nurdin menerangkan penurunan angka stunting perlu terus dilakukan, apalagi pada 3 Desa Lokus Stunting diantaranya Desa Sambongdukuh, Desa Bareng, dan Desa Segodorejo.
“Pemerintah telah berperan aktif dalam melakukan penurunan dan pencegahan stunting, yakni melalui Rembuk Stunting dan berhasil mengeluarkan Peraturan Bupati Jombang No. 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penurunan Stunting Terintegrasi di Kabupaten Jombang dan Surat Edaran Pj. Bupati No. 050/10080/415.10/2023 tentang Optimalisasi Percepatan Penurunan Stunting di Tingkat Kecamatan,” sebutnya.
Ia melanjutkan, Pemerintah Kabupaten Jombang yang bekerja sama dengan Kominfo telah meluncurkan Aplikasi Joss (Jombang Stop Stunting). Aplikasi Joss ini merupakan aplikasi yang diharapkan bisa menjadi aplikasi satu data stunting. Dalam aplikasi ini, data-data hasil penimbangan balita di posyandu tersedia. Sehingga pertumbuhan dan perkembangan balita di kabupaten Jombang dapat terpantau.