humaniora.id – Setelah sukses dalam pertunjukan teater musikal Niskala Nawasena pada pementasan sebelumnya, Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta kembali menggelar teater Musikal dengan judul Ambarasta. Pertunjukan kolosal yang menggabungkan unsur teater, tari, musik etnik, musik Moderen, dan pedalangan ini akan di pentaskan pada hari Jumat, 31 Mei 2024, pukul 19.30 wib di Plaza FSP Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Jl. Parangtritis KM 6,5 Sewon Bantul sebagai rangkaian dari acara Lustrum ISI Yogyakarta ke-8.
Ambarasta merupakan kisah lanjutan dari cerita Niskala Nawasena, Setelah Niskala berhasil merebut kembali kerajaan Dwipantara dari pemberontakan pasukan Ahengkara, Niskala dinobatkan sebagai Ratu yang memimpin kerajaan. Sementara jasad mendiang Ayahnya (Adhikara) sang raja yang tewas dalam serangan penghianatan, dimakamkan di taman kerajaan atas permintaan Ibu Buana.
Dalam kepemimpinannya Ratu Niskala mengendalikan kerajaan dengan penuh kasih sayang. Kepeduliannya pada rakyat menjadikan dirinya sangat dikagumi oleh masyarakat. Berita Kemahsyuran dan kejayaan Dwipantara semakin tersebarluas kepenjuru semesta, hingga banyak kerajaan-kerajaan lain yang turut takjub padanya. Namun demikian, ada yang terasa kurang dari sosok Niskala, bahwa dirinya masih seorang gadis belia yang belum memiliki suami dan anak sebagai putera mahkota. Hal ini membuat kerajaan-kerajaan lain berusaha untuk meminang atau menjodohkan putera mahkotanya agar bisa memperistri Niskala. Namun Niskala lebih memilih sendiri dan berbagi cinta bersama Ibu yang disayanginya.
Prinsip untuk hidup tanpa suami akhirnya luluh, setelah berkali-kali bisikan mendiang ayahnya hadir dalam mimpi Niskala. Sang ayah meminta agar Niskala segera memiliki pendamping dan melahirkan putera mahkota untuk memastikan Dwipantara jaya dalam keabadian. Sejalan dalam pemikiran, Ibu Buana memutuskan agar segera diadakan sayembara yang diikuti oleh para putera mahkota kerajaan. Sebagai tradisi leluhur kerajaan, Niskala diminta untuk mendatangi gunung suci memohon kelancaran dalam mendapatkan pendamping hidupnya. Undangan di sebar dan disambut dengan riang gembira.
Di gunung suci, Niskala mendapatkan cobaan yang berat. Seluruh pasukannya tewas dimangsa oleh ular raksasa yang menyerangnya. Niskala berusaha menyelamatkan diri namun terlilit oleh ekor ular yang besar itu. Beruntung seorang pemuda desa yang kebetulan melihat kejadian itu langsung menerjang dan menyayat perut ular hingga menyemburkan darah kesemua arah. Sang ular mati terkapar, dan Niskala selamat dari maut.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, begitulah hikmah dari bencana yang menimpa Niskala. Sang ratu Dwipantara jatuh hati kepada pemuda yang penyelamat dirinya, dia adalah Ambarasta pemuda desa yang sakti dan pemberani. Niskala merasa berhutang nyawa dan meminta agar Ambarasta ikut ke Dwipantara untuk mengikuti sayembara. Meski Ambarasta sempat menolak karena dirinya bukan kaum bangsawan kerajaan, namun Niskala meyakinkan bahwa Ambarasta akan diberikan kehormatan untuk bisa bersaing menaklukan lawan-lawannya.
Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Saat Niskala berhari-hari melakukan perjalanan ke gunung suci, di kerajaan Dwipantara terjadi kekacauan akibat wabah yang menyerang. Sebegitu cepatnya tanah Dwipantara dilanda kekeringan, tak ada lagi yang bisa berladang. hewan ternak banyak yang musnah, karena tak ada lagi sugai yang basah. Wabah begitu cepat menyebar, banyak yang mati karena menggigil menahan nyeri, orang-orang terkapar sesak menghimpit denyut nadi. Tiba di Dwipantara Niskala terguncang menyaksikan Ibu Buana terkapar oleh serangan wabah. Nahas, beberapa pangeran yang telah datang untuk mengikuti sayembara turut menjadi korban keganasan wabah tersebut. Jalan terbaik menghentikan wabah adalah dengan membakar seluruh jenazah termasuk Ibu Buana dan para tamu pangeran dari kerajaan-kerajaan yang hendak mengikuti sayembara.
Dwipantara mulai mereda dari wabah yang mengancam. Atas saran para petinggi kerajaan, Niskala diminta untuk menikah dengan Ambarasta karena telah menyelamatkan nyawanya dari musibah. Maka dilakukanlah prosesi pernikahan dalam suasana duka, tanpa pesta dan riuh tetabuhan. Tak lama kemudian, Dwipantara mendapatkan berita gembira bahwa Ratu Niskala mengandung bayi putera mahkota. Berita ini disambut oleh seluruh rakyat dengan riang gembira. Namun permasalahan kerajaan seperti tak pernah berakhir, kerajaan yang putera mahkotanya wafat dan dibakar di Dwipantara merasa tidak terima dan menyerang Dwipantara. Penyerangan itu terjadi berulang-ulang seiring bayi yang dikandung Niskala terus membesar. Namun Ambarasta selalu berhasil menangkal serangan lawan dengan sempurna.
Tiba dihari kelahiran sang Putera Mahkota, Dwipantara diserang oleh gabungan kerajaan yang jumlah pasukannya sangat besar. Peperangan hebatpun pecah di tanah Dwipantara. Ambarasta menyerukan kepada seluruh prajurit dan rakyat agar membela tanah airnya dari serangan musuh. Takdir berkata lain, Dwipantara porak poranda saat putera mahkota terlahir. Tangisan bayi pecah diriuhnya peperangan. Niskala yang masih dalam kondisi lemah terpaksa turut membantu suaminya menghalau penyerang. Ambarasta menggendong bayi seraya mengayunkan pedang melawan musuhnya. Niskala berjibaku menghalau serangan lawan. Akhir yang memilukan, Niskala dan Ambarasta tewas di medan pertempuran. Putera mahkota “Mahespati Sangkara” tak sempat mengenal wajah ayah dan ibunya.
Kisah Ambarasta merupakan metafora sebagai seruan untuk bela Negara kepada generasi emas Indonesia. Niskala adalah gambaran bumi Indonesia yang menawan di mata seluruh negara. Kemasyhuran bumi pertiwi ini selalu menjadi perhatian dunia global. Sebagai Negara yang memiliki kekayaan alam melimpah, Indonesia akan selalu mengalami cobaan dan gangguan baik dari luar maupun dalam negeri seperti; perpecahan, radikalisme, multi krisis, dekadensi moral dll. Menumbuhkan cinta tanah air dan menanamkan semangat bela Negara pada generasi muda Indonesia adalah langkah nyata untuk kepastian kehidupan generasi kita dimasa mendatang.
Naskah Ambarasta ditulis dan disutradari oleh: Rano Sumarno, M.Sn, penata lagu: Puput Pramuditya, M.Sn., Penata Iringan: Warsana, M.Sn., Penata Tari: Galih Suci Manganti, M.A., dan Penata Wayang: Aneng Kiswantoro, M.Sn. pertunjukan ini melibatkan seratus lima puluh mahasiswa dari fakultas seni pertunjukan ISI Yogyakarta.