humaniora.id – Nama Al-Zaytun sebagai sebuah pesantren modern di kabupaten Indramayu sebenarnya sudah lama saya dengar. Sejak diresmikan Presiden Habibie pasca reformasi, Al-Zaytun adalah sebuah kontroversi. Setidaknya itulah kesan dan gambaran pribadi yg saya dapati dari beragam sumber pemberitaan.
Seiring waktu, sebagai orang yg pernah dididik untuk tidak mengedepankan “prejudice” saya pun mulai menimbang secara kritis atas setiap pemberitaan terhadap Al-Zaytun. Tidak semua informasi memuat fakta. Seringnya informasi adalah opini yg dikemas sebagai “berita” dan selalu bias kepentingan. Dan parahnya, model berita seperti ini yg justru pangsa pasarnya tinggi. Jadi menang tidak ada berita tanpa sensasi, tak terkecuali soal Al-Zaytun. Ini yg membuat saya ahirnya penasaran soal Al-Zaytun. Pikiran kemudian saya “netral”kan bila bicara soal Al-Zaytun jika ada yg mengangkat soal ini baik dalam pertemuan luring maupun daring seperti group WA, dll.
Jembatan ke Al-Zaytun
Bulan ramadhan kemarin secara tak terduga kami dipertemukan Sudirman Abbas yang menginisiasi pembentukan perkumpulan alumni Gontor konsulat Bojonegoro di Jabodetabek. Karena beliau ini dianggap orang penting di Al-Zaytun, banyak dicecar pertanyaan seputar Al-Zaytun dari teman konsul di acara buber pertama perkumpulan ini. Begitupun di acara berikutnya saat halal bihalal. Seolah informasi yg disampaikan masih belum memcukupi rasa penasaran mereka. Pertanyaan cenderung tendensius seperti arus utama pemahaman media terhadap Al zaitun. Bagi saya, yg ingin untuk objektif sejak awal, semua keingintahuan tidak bisa dipenuhi hanya dengan menggali informasi dari seseorang. Haris datang langsung dan menemui pihak yg kompeten dan relevan disana. Mendatangi sendiri tanpa “key person” tentu hanya akan mendapati “kulitnya” saja. Itulah sebabnya, mengapa pertemuan dengan Sudirman Abbas adalah berkah tersendiri.
Ahirnya ke Al-Zaytun
Dan begitulah momen yg ditunggu itu datang. 1 Muharraman atau satu suro ternyata menjadi hari penting bagi Al-Zaytun. Hari diadakan pertemuan akbar yg melibatkan semua komponen bangsa dari beragam suku dan keyakinan, rakyat dan aparat dll .
Boleh dikata, kami berlima dengan dua orang yg membawa istri, plus seorang lagi yg bukan konsul Bojonegoro, Bambang Suryadi yg konsul Solo, tapi kesehariannya sangat akrab dengan kami semua. Semua, selain Sudirman Abbas tentunya, belum pernah sama sekali berkunjung ke Al-Zaytun. Bahkan salah satu dati kami, Kholisuddin yg punya sepupu di Al-Zaytun juga belum pernah melihat langsung Al-Zaitun.
Keterbukaan dan Toleransi
Singkat cerita, malam saat rombongan kami datang, kami diajak Sudirman tour kecil mengelilingi salah satu asrama santri, dari ruang pemondokan nya hingga ruang makan nya.
Dari hasil pandangan mata ini saya secara pribadi mendapat kesan, sangat wajar jika ada kontroversi soal Al-Zaytun ini. Dalam hal ini, Al-Zaytun bukan saja melakukan langkah yang besar, tapi juga sebuah “quantum leap” atau lompatan besar sehingga merobah paradigma umum tentang pesantren yang sampai saat ini masih belum ada yg sanggup melakukan hal serupa. Umumnya Pesanren itu bermula dari kesederhanaan dan diperjuangkan dari nol oleh semua komponen pesantren, tak terkecuali santrinya sendiri. Tapi Al-Zaytun tidak. Begitu ada santri, semua fasilitas sudah ada dan terpenuhi yg membuat santri generasi awal tidak perlu bersusah berjuang seperti menggali sumur, bahkan ikut menjadi tukang bangunan hingga mencari dana untuk membiayai dan menopang kegiatan pesantren.
Beralih ke acara satu suro yang ternyata menjadi ajang penyampaian opini, gagasan dll dari beragam komponen masyarakat dengan latar belakang yg beragam. Tampak Al-Zaytun memberi ruang terbuka untuk tumbuhnya dialog menuju toleransi. Saya kira ini adalah bentuk kontribusi Al-Zaytun pada pembentukan bangsa dengan karakter majemuk. Menariknya lagi, acara ini juga dikkuti oleh santri dan wali santrinya. Ini sebuah pembelajaran yg luar biasa agar santri bisa terbuka pada keragaman. Mereka akan mengenal Hindu langsung dari penganut Hindu nya. Mengenal adat langsung dari tokohnya. Sesuatu yg luar biasa yg bahkan tidak saya dapati Kartika saya belajar Ilmu Perbandingan Agama di sebuah PTS di Bandung dulu. Mengajarkan perbedaan tanpa perjumpaan langsung tentu tidak memberi kesan yg baik, malah cenderung studi agama lain dijadikan ajang untuk sekedar apologetik dengan penyampaian informasi yg cenderung reduksionistik. Dengan memberi perjumpaan langsung, toleransi bukan semata teori.
Pesantren Cash
Quantum leap yg dilakukan Al-Zaytun yg sampai hari ini belum mampu dilakukan oleh institusi lain adalah penyediaan sarana dan prasarana secara langsung secara simulacra. Seperti saya tulis diatas, umumnya pesantren dimulai dari nol yg dalam bahasa pesantren dirumuskan dalam trilogi pesantren, yakni masjid, kyai dan santri. Trilogi ini ibarat down payment untuk sebuah pesantren, sisanya seperti asrama, ruang belajar dan beragam pendukung lainnya diusahakan secara perlahan sambil berjalan. Boleh dikata, harus mencicil. Sementara hal itu tidak berlaku bagi Al-Zaytun. Untuk fasilitas dan infrastruktur belajar dan pembelajaran disediakan secara kontan, cash.
Saya kira, ini poin krusialnya. Karena banyak yg tidak mempu meniru Al-Zaytun, maka muncul kontroversi, mispersepsi, hingga melahirkan ragam teori konspirasi soal Al-Zaytun ini. Wajar. Tapi tetap harus dihadapi.
Dari Necessary menuju Necessity
Salah satu rombongan kami ada yg mendapat kehormatan menjadi pembicara dalam forum satu suro yg bertema Remontada from within ini. Saya anggap menarik karena dia menyelipkan kritik pada Al-Zaitu dan saya ikut mengamini.
Menurutnya, semua yg dilakukan oleh Al-Zaytun dalam rangka pendidikan ini sudah memenuhi aspek “necessery”, yakni ketersediaan infrastruktur pendidikan. Tinggal menuju yg “nevessity” yakni hal yg intangible yg harus dicapai dalam proses pendidikan, yakni mutu dan kualitas alumni. Apa yg dialaminya sebagai dosen psikologi si UIN Jakarta, sejauh ini masih belum ada alumni Al-Zaytun yg memiliki prestasi unggul secara akademik di lingkungan akademik nya. Demikian pula dengan kegiatan ekstra kurikuler seperti ormas kemahasiswaan. Setidaknya dalam pengamatan beliau, belum didapati alumni Al-Zaytun yg memiliki prestasi kepemimpinan dalam organisasi. Hal hal seperti ini yg harus dipikirkan buat Al-Zaytun yg sudah lebih dari 3 dekade mengabdikan diri dalam dunia pendidikan.
Dan dalan pasar bebas demokrasi ini, sudah saatnya juga Al zaitun untuk berpikir bagaimana mengorbitkan alumninya dalam kancah perpolitikan secara nasional. Tentunya dengan cara elegan yg tidak vulgar seperti pesantren lain dalam berpolitik. Maka pilihannya adalah “High Politics”. Tak hanya dalam politik, dalam ranah sosial pun mesti dipikirkan bagaimana melahirkan secara sistemik tokoh tokoh masyarakat dan tokoh akademis secara nasional, bahkan global. Semua bisa dicapai lewat pengembangan mutu pembelajaran.
Dan saya yakin, Al zaitun mampu melakukan itu. Dan pastinya sudah masuk dalam tujuan jangka panjangnya. Semoga saja akan ada percepatan yg akan membuat Al-Zaytun semakin diperhitungkan,