humaniora.id – Alhamdulillah, pada tanggal 6-7 Juli 2024 saya bersama sejumlah sahabat berkesempatan mengunjungi Al-Zaytun. Atas inisiasi karib saya Dr. Ahmad Sudirman Abbas. Sudah lama saya mendengar pesantren Al Zaytun. Apalagi akhir-akhir ini pemberitaan tentang pesantren ini begitu intens.
Kunjungan singkat 2 hari tersebut membuat saya dapat kesempatan melihat langsung Al-Zaytun dengan mata kepala sendiri. Tentu waktu singkat 2 hari tidak cukup memadai untuk menggambarkan dan menyimpulkan keseluruhan apa yang ada dan terjadi di Al-Zaytun. Tetapi kunjungan pertama tersebut memberikan kesan yang sangat mendalam.
Sebagai orang yang punya latarbelakang pendidikan pesantren, dan saat ini banyak terlibat dan membantu dunia pesantren, saya mendapati bahwa apa yang tersaji di Al-Zaytun adalah beyond our imagination.
Saya sering berkunjung ke berbagai pesantren, terutama pesantren-pesantren modern. Baik pesantren-pesantren yang ada di pulau Jawa, Sumatera hingga beberapa pesantren di Lombok NTB. Akan tetapi tidak ada satupun yang sefenomenal Al Zaytun.
Kesan yang paling mendalam dari Al-Zaytun adalah soal kemandirian. Tentu saja selain yang paling kasat mata yaitu infrastruktur bangunan seperti masjid, gedung asrama, dapur, hotel, dan berbagai fasilitas penunjang belajar dan hidup yang nyaman bagi para santri. Dan juga berbagai fasilitas olah raga dengan standar internasiol, termasuk 3 atau lebih lapangan tenis mewah. Semuanya terlihat abnormal untuk ukuran sebuah pesantren.
Al-Zaytun mengajarkan high value aspek-aspek kemandirian kepada para santrinya. Dan bagi Al Zaytun kemandirian bukan hanya slogan. Semua fasilitas pendukung dan penunjang disiapkan dengan terencana, terstruktur dan terintegrasi.
Disiapkan puluhan hektar sawah untuk praktik agrikultur bagi para santri. Diajarkan dan dipraktikkan bagaimana menanam berbagai varian padi yg mungkin tidak dipelajari di IPB, mulai dari beras lokal, sushi sampai basmati. Disiapkan 20 ha untuk kebun pisang untuk memenuhi kebutuhan internal sekaligus praktik pembelajaran bagi para santri. Belum termasuk kebun kelapa, kebun klengkeng, jati mas, alpokat, nanas, sampai buah naga. Dan dari yang saya dengar, praktik tersebut diajarkan langsung oleh pengasuh Al-Zaytun, Syeikh Abdussalam Panji Gumilang.
Untuk mengolah hasil buminya, Al-Zaytun menyiapkan mata rantai unit-unit pengolahannya sehingga menjadi end product yang siap untuk dikonsumsi. Disediakan Rice Milling Unit (RMU) super canggih dengan kapasitas 10.000 ton beras/jam. Untuk memenuhi kebutuhan beras untuk internal para santri yang berjumlah 6.000 orang, para guru dan juga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar. Disiapkan pula Integrated slaughter house modern dan higenis untuk ayam dengan kapasitas 10.000 ekor/hari. Dijelaskan, terdapat pula unit-unit meat processing untuk kambing/domba dan sapi. Tak terkecuali, unit mandiri untuk pengolahan ikan standar industri yang sumber ikan lautnya (tongkol dan tuna) didatangkan langsung dari Halmahera.
Semua kebutuhan internal didukung dengan kandang-kandang budidaya livestocks secara mandiri, mulai ayam, kambing, domba dan sapi. Termasuk hatchery udang dan kepiting. Dengan luas 200 ha area kampus pesantren dan 3.000 ha tanah pendukung baik berupa sawah, kebun, tambak dan peternakan, maka semua kebutuhan internal Al-Zaytun dengan mudah dapat dikelola dengan baik.
Selain industri makanannya, Al-Zaytun juga mengelola sendiri industri air mineralnya. Untuk memenuhi kebutuhan internal dan eksternal.
Ada beberapa pesantren yang mungkin mencoba dan bahkan lebih dahulu melakukan hal yang sama untuk kemandirian pesantren. Tetapi belum ada yang melakukan dengan skala Al Zaytun. Apalagi dilakukan secara terintegrasi dan dengan standar industri modern. Ditunjang dengan unit-unit fasilitas dan mesin-mesin yang canggih. Dibutuhkan 4 ton pisang perhari untuk memenuhi kebutuhan santri Al-Zaytun sendiri. Kebutuhan tersebut bisa dicukupi dari 20 ha kebun pisang Cavendsih milik sendiri. Pisang-pisang tersebut diproses dengan standar industri pisang Sunpride. Hasilnya, yang tersaji bagi para santri dan guru adalah buah pisang dengan kualitas dan citarasa tinggi yang mungkin hanya dapat dibeli di fresh market.
Sebuah pembelajaran kemandrian yang sangat berharga bagi para santri, yang sulit ditemui di pesantren-pesantren modern lain. Pembelajaran kemandirian ekonomi yang sangat penting. Al-Zaytun ingin menyadarkan, kalau ingin memenangkan pertarungan maka kuasai sumbernya, kuasai mata rantainya.
Dengan proses pempelajaran seperti ini tentu dimaksudkan untuk menyiapkan santri yang siap terjun ke masyarakat bukan hanya dengan modal pengetahuan agama, tetapi juga dibekali dengan economic skill tertentu yang dibutuhkan untuk membanguan kehidupan di tengah masyarakat.
Terlebih lagi santri-santri dibiasakan hidup secara sehat dan benar. Hidup dalam lingkungan green environment dengan naungan pohon-pohon besar yang teduh. Mereka diajarkan menghargai lingkungan alam, membangun lingkungan yang sehat, segar, non-polutif.
Sebuah pembelajaran yang sangat berharga dari sebuah pesantren bernama Al-Zaytun.
Hadi Muijono
Mantan Direksi dan Profesional di Industri Pengeboran Migas. Sekarang aktif sebagai Pegiat Dakwah dan Pendidikan Pesantren.