Humaniora.id, Jakarta, 12 Juli 2024 – Satu kata yang dapat saya ucapkan ketika berkunjung pertama kali ke Ma’had Al-Zaytun adalah Penantang. Sang Penantang melawan kebodohan, kemiskinan, kezaliman, dan keserakahan. Sang Penantang melawan penjajahan dan penindasan. Sang Penantang melawan kemalasan dan ketergantungan. Sang Penantang melawan tradisi dan kebuntuan. Petarung ulung tak kenal lelah menuju kegemilangan dan kecemerlangan. Penantang sebagai padanan kata bagi Sang Mukafih (pejuang) dan Mujahid. Sebuah pesantren yang berjuang menantang kemapanan yang menipu dan kejumudan yang membatu dari berbagai tradisi yang membelenggu. Al-Zaytun menjadi air sejuk sumber mata air ilmu pengetahuan. Sinar terang yang menerangi jiwa raga dari gundah gulana dunia masa depan. Al-Zaytun menantang budaya nafsi-nafsi yang mengeras menjadi egoisme akut, fanatisme sempit, lalu mengembangkan budaya toleransi, berdamai dengan keadaan menuju masyarakat sehat, cerdas, dan manusiawi.
Kata Al-Zaytun itu sendiri diambil dari nama buah “keramat” (karamah, mulia), yaitu zaitun. Buah yang dapat menghidupi berbagai bangsa dari kelaparan selain tin, dan kurma yang mampu tumbuh di kawasan gersang dan tandus padang pasir. Tanda kaya atau miskin seorang yang tinggal di kawasan itu dapat dilihat dan diukur dari seberapa luas kebun zaitun yang dimiliki. Buah penantang kelaparan dan kelemahan. Buah penantang kemiskinan dan keterpurukan. Buah menyehatkan. Buah yang minyaknya saja dapat menjadi cahaya penerang. Bahkan kata zait dalam Bahasa Arab yang artinya minyak, diambil dari kata zaitun karena minyak terbaik adalah minyak yang diambil dari buah zaitun (olive oil), dengan berbagai kemanfaatan yang luar biasa. Allah bahkan mengabadikan kata zaitun sebanyak tujuh kali di dalam al-Quran. Disebutkan secara langsung dengan kata zaitun sebanyak enam kali dan disebutkan secara tidak langsung dengan kata thursina sebanyak satu kali. Allah ciptakan buah zaitun sebagai karunia, rezeki dan kenikmatan bagi manusia (Q.S Abasa/80: 29). Allah bersumpah kepada buah zaitun di samping buah tin sebagai tanda tentang adanya keistimewaan dan keutamaan buah itu, termasuk keistimewaan tanah suci yang Allah tumbuhkan keduanya di atasnya, yaitu Baitul Maqdis (Q.S at-Tin/95: 1), di samping sumpah Allah lainnya kepada dua tanah suci lainnya, yaitu Tursina dan Makkah (Q.S. at-Tin/95: 2-3). Allah menjelaskan ciri khas pohon zaitun yang terlihat hampir sama dengan delima namun berbeda dalam rasanya (Q.S al-An’am/6: 99). Allah mengisyaratkan adanya nilai-nilai keistimewaan pada buah zaitun sebagai tanda kebesaran dan kekuasaan Allah (Q.S. an-Nahl/16: 11). Allah memerintahkan agar hasil buah zaitun yang melimpah tidak hanya dikonsumsi sendiri secara serakah dan berlebihan tapi dibagikan kepada orang lain sebagai zakat maupun sedekah (Q.S al-An’am/6: 141). Allah jadikan minyak zaitun sebagai simbol cahaya kebenaran dan hidayah-Nya yang menembus ke arah timur, barat, dan kemana saja kepada siapa yang dikehendaki (Q.S an-Nur/24: 35). Allah menjelaskan bahwa zaitun yang banyak tumbuh di pegunungan Tursina itu baik buah maupun minyaknya sangat bagus untuk dikonsumsi karena manfaatnya yang besar bagi kehidupan manusia (Q.S al-Mu’minun/23: 20).
Dalam Tafsir Al-Azhar karya Prof Buya Hamka disebutkan “Buah Tin diambil sumpah karena dia buah yang terkenal untuk dimakan. Sementara buah Zaitun karena dia dapat ditempa dan diambil minyaknya,”. Menurut Qatadah: Tin adalah nama sebuah bukit di Damaskus dan Zaitun nama pula dari sebuah bukit di Baitul Maqdis. Tandanya kedua negeri itu penting untuk diperhatikan. Dan menurut sebuah riwayat pula, yang diterima dari lbnu Abbas, “Tin adalah masjid yang mulai didirikan oleh Nuh di atas gunung al-Judi, dan Zaitun adalah Baitul Maqdis.” Zaitun adalah lambang perlawanan terhadap kelaparan, keterpurukan, kegelapan, dan kelemahan. Zaitun adalah simbol bagi cahaya terang, petunjuk kebenaran, dan teguh penuh kekuatan.
Salam Merdeka
Ada peristiwa menarik yang saya perhatikan ketika sampai di gerbang masuk Ma’had Al-Zaytun. Sekitar pukul 21.00 WIB, Prof. Ahmad Sudirman yang memimpin kami sebagai tamu undangan, turun dari mobil. Dengan gagah perlente, menggunakan pakaian kebesaran, mantel panjang berwarna hitam bagaikan pakaian kebesaran para pengawal di Kerajaan Inggris, Beliau memecahkan keheningan malam dengan suaranya yang lantang. Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh, Merdeka. Beliau ucapkan kepada petugas keamanan yang membukakan pintu gerbang sambil menjabat tangannya. Petugas itu lalu menjawab dengan “wa alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh, Merdeka. Begitu pula ketika sampai ke dalam Wisma Al-Ishlah tempat kami bermalam, beliau bertemu dengan para petugas, panitia, guru, maupun santri Pondok, selalu memulai dengan salam dan ditambah dengan kata Merdeka.
Ternyata Salam dan Merdeka tidak hanya kreasi Dr. Ahmad Sudirman Abbas. Itu adalah salam khas kebanggaan Ma’had Al-Zaytun yang diajarkan dan sudah mentradisi. Salam dan Merdeka menjadi salam resmi yang diucapkan dalam acara-acara resmi di Pesantren Al-Zaytun. Meskipun terkadang saya merasa agak risi juga ketika sebagian yang saya dengar mengucapkan salam dan Merdeka itu tanpa jeda. Di antara mereka yang saya dengar mengucapkan kata salam dan Merdeka beruntun sehingga pendengarnya tidak sempat mengucapkan salam balik, tapi sudah harus diikuti kata Merdeka. Akibatnya yang mendengar tidak menjawab salam tapi hanya menjawab Merdeka. Mestinya, sang pembicara menyampaikan salam lalu memberi jeda kepada pendengar agar menjawab salam, setelah itu mengucapkan kata Merdeka untuk dijawab dengan kata Merdeka pula.
Saya mencoba berpikir apa makna di balik kata Salam dan Merdeka itu. Apakah sekarang kita masih terjajah, tertindas, dan teraniaya. Apakah sekarang kita belum Merdeka. Bukankah kita sudah Merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Apakah kita hendak diajak mendirikan negara baru sebagai sebuah cita-cita bagi sebuah negara utopia yang diidam-idamkan. Apakah kita hendak diajak Merdeka dari negara yang Merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Merdeka dari apa, siapa, dimana, kapan, dan bagaimana.
Ternyata yang bisa saya pahami Salam dan Merdeka itu dua kata yang saling kuat menguatkan. Salam (kedamaian) tanpa kemerdekaan adalah kedamaian semu. Damai tapi gersang. Damai dalam penindasan. Damai dalam ketidakberdayaan. Damai tapi sepi. Damai di bawah bayang-bayang penjajahan dan kesewenang-wenangan. Merdeka tanpa kedamaian apalah artinya. Merdeka tapi hidup menderita omong kosong. Merdeka tapi tidak sejahtera hidup menjadi gelisah. Merdeka tapi tidak mampu berdamai dengan keluarga, tetangga, masyarakat, dan lingkungan adalah merdeka yang merusak dan menghancurkan. Kebebasan ngawur. Kebebasan tanpa peradaban. Kebebasan tanpa aturan. Kebebasan liar yang menerapkan hukum rimba. Merdeka itu ternyata kata kerja bukan kata benda. Merdeka itu dinamis aktif, masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Kita sesungguhnya harus terus menerus menghadirkan kemerdekaan dalam tutur kata, berpendapat, berusaha, berkarya, dan menentukan pilihan hidup. Bebas merdeka dalam berkumpul, berorganisasi, dan memilih teman, sahabat, kekasih, pasangan yang dikendaki, tanpa paksaan ataupun tekanan.
Salam dan Merdeka tidak hanya indah dalam ucapan. Salam dan Merdeka tidak hanya menjadi ungkapan yang seolah dikeramatkan sebagai ritual keagamaan. Salam dan Merdeka itu prinsip bagi kehidupan yang menginginkan keteraturan dan ketenteraman. Salam dan Merdeka itu anti keonaran, konflik, apalagi peperangan. Salam dan Merdeka itu menantang permusuhan menguatkan persaudaraan. Salam dan Merdeka itu menantang kebencian menghadirkan cinta dan kasih sayang. Salam dan Merdeka itu mewujudkan kreatifitas yang membangun penuh keharmonisan. Salam dan Merdeka itu menenggang keragaman, memahami perbedaan, memperkokoh toleransi dan kemajemukan. Apalah artinya sering mengucapkan Salam dan Merdeka, bila tindakan dan perilaku menghasilkan kerusakan dan kegelisahan. Hakekat salam dan Merdeka tidak pada ungkapan bahasa yang digunakan, melainkan pada makna yang tersirat, bukan kata yang tersurat. Bisa saja kata itu diucapkan dalam redaksi berbeda dan dari bahasa yang beragam, tapi mengandung makna satu, yaitu perdamaian dan kemerdekaan. Maka ada yang mengucapkan dalam versi Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh (Arab-Islam), Salam Sejahtera bagi Kita Semua (Kristen Katolik), Shalom “Damai” (Kristen Protestan), Om Swastyastu “semoga dalam keadaan selamat atas karunia dari Hyang Widhi” (Hindu), Namo Buddhaya “Terpujilah sang Buddha” (Buddha), Salam Kebajikan atau Wei De Dong Tian “Hanya Kebajikanlah Yang Bisa Menggerakkan Tian (Tuhan)” (Kong Hu Cu), Rahayu, (krama), Rahajeng (selamat, sejahtera, beruntung, terhindar dari malapetaka atau kesengsaraan) (Jawa), Sampurasun: sampurna ning ingsun (semoga sempurna diri anda), kemudian dijawab Rampes: Rampa salira (semoga sempurna juga diri anda), rampa: raga salira: kamu (Sunda), Horas (Batak), Mejuah Juah (Karo), Tabik Pun (Lampung-Komering), Salamaki Tapada Salama (Bugis-Makassar), Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’Jubata “adil ke sesama, bercermin ke surga, bernafas kepada Tuhan” (Dayak), Ya’ahowu (Nias), Tabea (Minahasa). Ragam ungkapan tapi satu makna, damai penuh dengan kemerdekaan.
Menantang Lingkungan
Secara umum, pesantren di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua model. Model pesantren tradisional dan model pesantren modern. Model pesantren tradisional bercirikan kyai minded. Model pesantren modern bercirikan system minded. Pada pesantren tradisional, kyai menjadi sentral figur yang menjadi pusat cahaya ilmu pengetahuan, mengajar dari sebuah masjid dekat rumahnya. Murid datang belajar kepada kyai. Dalam perkembangan pesantren murid semakin banyak. Murid sendiri yang mengurus asrama tempat tinggal, kebutuhan makan minum, pakaian, tanpa campur tangan kyai. Pada pesantren modern, kyai membangun sistem pesantren yang terintegrasi di dalamnya antara figur kyai, kurikulum pengajaran, serta sarana dan prasarana yang disiapkan untuk santri.
Ma’had Al-Zaytun menantang tradisi lama pesantren yang berkembang secara tradisional alamiah. Pesantren Al-Zaitun hadir di tengah lahan kosong, bekas hutan jati, perkebunan dan persawahan yang kurang produktif. Pesantren didirikan dengan menyiapkan lahan sangat luas, lebih dari 12.000 ha. Didirikan resmi secara legal hukum di Indonesia. Pesantren didirikan tidak oleh seorang kyai, tapi dibangun oleh bangsa Indonesia yang bergabung dalam sebuah yayasan Bernama Yayasan Pesantren Indonesia (YPI), pada tanggal 01 Juni 1993 bertepatan dengan 10 Dzulhijjah 1413 H. Al‐Zaytun pesantren milik umat Islam bangsa Indonesia dan umat bangsa lain di dunia, timbul dari umat, oleh umat, dan diperuntukkan bagi umat.
Ma’had Al-Zaytun menantang alam yang sebelumnya gersang menjadi ijo royo-royo. Pagi tanggal 07 Juli 2024, sehabis shalat Subuh, Ustadz Ahmad Sudirman Abbas ketok-ketok kamar saya No. 313 di Wisma Al-Islah untuk diajak jalan pagi keliling Pondok. Pesantren in the Garden not Garden in the Pesantren, gumamku. Ini pesantren dalam taman bukan taman dalam pesantren. Gedung-gedung raksasa dibangun rapi dengan model dan tingkat yang sama. Leter E terdiri dari 6 lantai, setiap lantai ada teras luas sehingga memungkinkan santri melakukan berbagai kegiatan bersama dengan bebas dan nyaman. Gedung-gedung tinggi besar itu tenggelam dalam taman luas dengan pepohonan tinggi rindang yang ditanam rapi di sepanjang jalan yang menghubungkan satu gedung ke gedung yang lain. Saya dengan teman-teman diajak keliling melihat asrama santri, gedung pembelajaran, dapur dan ruang makan santri, lapangan sepak bola standar FIFA, dan Masjid Rahmatan lil Alamin. Tak terasa hampir jam 7 pagi. Santri tampak sudah datang berbondong-bondong menuju Masjid untuk menghadiri Acara Peringatan 1 Syuro 1446 H. Perjalanan sudah lebih dari 5 km (sekitar 7000 langkah), namun badan tak terasa Lelah, justru malah segar, fresh, paru-paru bersih, badan menjadi tampak lebih bergairah dan sehat. Dalam sepanjang perjalanan itu saya memperhatikan berbagai macam jenis tanaman tumbuh dengan subur menggambarkan kekayaan alam “tanah suci” Indonesia. Pohon-pohon tinggi menjulang menutup menyejukkan tanaman beton-beton raksasa pergedungan. Ada satu jenis pohon yang saya perhatikan sepanjang jalan yang menjadi ciri khas banyak pesantren di pesisir utara Jawa Timur, yaitu pohon sawo, sawo biasa atau sawo Kecik. Bila di berbagai pesantren di Jawa Timur ditanam hanya beberapa pohon saja hingga tumbuh besar sesuai dengan usia pesantren itu, maka saya menemukan di Pesantren Al-Zaytun, pepohonan Sawo yang sangat banyak berderet-deret sepanjang jalan, di samping pohon jati yang ditanam sangat rapi di mana-mana. Hanya saja saya tidak menemukan pohon salak yang biasanya menjadi ciri khas pesantren di Jawa Timur yang ditanam disekitar Jublang (pemandian santri dahulu). Ada kolam saya lihat di Pesantren Al-Zaytun tapi tidak ditanami pohon salak di sekelilingnya. Mungkin ada pertimbangan lain sehingga Pohon Salak tidak ditanam. Saya memahami bila Pesantren Al-Zaytun menanam pohon-pohon seperti Sawo dan Jati sebagai ciri khas pesantren di pesisir utara Jawa Timur, karena pimpinan Pesantren Al-Zaytun, Seikh Prof. Dr. Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang berasal dari Gresik Jawa Timur yang tahu persis filosofis dari setiap pohon yang ditanam. Sawo sebagai simbol keteduhan, keuletan, dan keramahan. Pohon Jati simbol kekuatan dan keabadian. Salak simbol keamanan dan keberanian. Ratusan jenis pohon ditanam di komplek Pondok saya tak sanggup mencatatnya satu persatu. Saya sempat bertanya kepada Ustadz Sudirman, ini pohon-pohon kapan ditanam?. Ternyata ditaman bersamaan dengan proses pembangunan gedung, sekitar 30 tahun lalu, dengan melibatkan seluruh santri dan masyarakat. Proses menanam dan membangun terus berlanjut hingga kini. Tidak pernah berhenti menanam. Tidak pernah berhenti melapangkan dada dan paru-paru bumi. Tidak pernah berhenti memberi kemanfaatan. Disiapkan lahan sekitar 200 ha untuk sarana dan prasarana santri. Disiapkan pula lebih dari 10.000 ha lainnya untuk berbagai kegiatan pemberdayaan. Melibatkan ribuan tenaga yang berkompeten di bidangnya. Gagasan menantang lingkungan berhasil. Penghijauan itu nyata dapat dilihat dan dirasakan manfaatnya. Suasana Kecamatan Gantar, Indramayu, Jawa Barat, yang sebelumnya panas dan gersang, kini hijau, sejuk dan sehat. Menantang lingkungan itu berimbas pada menantang kehidupan masyarakat. Masyarakat yang dahulu lebih cenderung meninggalkan kampung halaman mencari rezeki ke kota, kini mereka banyak yang memilih untuk mencari rezeki di kampung Gantar. Ada kehidupan baru. Ekonomi bergeliat. Pemberdayaan ekonomi umat tumbuh berkembang. Gantar kini bagaikan gadis cantik semerbak harum dengan dandanan yang menawan. Bunga mekar tumbuh di taman aneka kumbang dan anai-anai datang menghampiri.
Masjid Rahmatan lil ‘Alamin Ma’had Al-Zaytun Menantang Tradisi
Usai sarapan pagi dengan nasi goreng dan ikan tongkol, ayam, tempe tahu, serta lalaban khas Sunda yang bikin nambah terus, kami bergegas menuju Masjid Rahmatan Lil Alamin. Bus-bus Pondok yang bagus disiapkan untuk mengantar para tamu undangan. Jarak antara Wisma dan Masjid sekitar 1 KM. Perjalanan menjadi indah tidak hanya karena melewati jalan yang tertata rapi dengan pepohonan yang asri, tapi karena bertemu dengan berbagai tamu lintas suku, bangsa, budaya, dan agama. Undangan sekitar 10 ribu orang menggambarkan tentang keragaman, kebinekaan yang dibingkai dalam perdamaian dan kemerdekaan berekspresi.
Masjid Rahmatan Lil ’Alamin Ma’had Al-Zaytun berdiri di atas tanah 6,5 hektar, berukuran seluas 99 x 99 m berlantai 6 (enam), dapat menampung 150.000 jamaah. Masjid ini menjadi bagunan utama paling megah di Ma’had Al-Zaytun. Luas bangunan 99 x 99 m merupakan filosofi dari sifat-sifat Allah (Asmaul Husna) yang berjumlah 99. Filosofi enam lantai masjid merujuk pada rukun iman. Keenam lantai tersebut secara keseluruhan mempunyai ketinggian 33 m yang mempunyai filosofi jumlah tasbih, tahmid dan takbir setelah salat. Tinggi tiang masing-masing lantai lima meter, menandakan filosofi rukun Islam. Selain kubah besar, Masjid Rahmatan Lil ’Alamin dilengkapi dengan empat kubah kecil sebanyak empat buah, sebagai symbol Khulafaur Rasyidin yang empat dan ragam mazhab yang empat. Masjid dilengkapi dengan Menara yang tingginya 201 m, melambangkan jumlah nama sifat Nabi Muhammad – Shallallahu alaihi wa sallam -, dengan luas lantainya 24 x 24 m. Dari ketinggian Menara tersebut dapat dilihat keindahan alam Indramayu yang asri dan kemegahan Ma’had Al-Zaytun yang tertata rapi.
Sebelumnya, telah dibangun Masjid Al-Hayat, sebagai masjid persiapan I’dadi, di atas tanah seluas 5.000 m2 berlantai tiga berdaya tampung kurang lebih 7.000 jamaah. Peletakan batu pertamanya dilakukan pada 1 Januari 1999 dan pengerjaannya selesai dalam kurun waktu 3 bulan. Karena semakin banyaknya santri dan penghuni Pondok, Masjid Al-Hayat tidak dapat menampung jamaah, baik pada hari-hari biasa maupun Jumat. Maka Masjid Rahmatan lil ‘Alamin dibangun.
Masjid Rahmatan Lil ’Alamin benar-benar menantang tradisi dan paradigma berpikir masyarakat pada umumnya tentang dunia pesantren. Pesantren yang dipandang sebelah mata. Pesantren itu identik dengan pondokan kecil, sempit, reot, kuno, kumuh, kotor dan jorok disulap menjadi pesantren itu bersih, megah, gagah dan modern. Mampu berdiri dengan gagah kuat hingga berabad-abad. Menantang tradisi masjid yang hanya difungsikan sebagai tempat salat, diubah menjadi fungsi berbagai kegiatan Pesantren. Masjid untuk membangun peradaban utama.
Masjid yang dibangun dengan gaya arsitektur universal yang apik ini memberikan kesan Masjid untuk semua. Benar-benar Masjid Rahmatan lil alamin dalam arti sesungguhnya. Gaya itu harus punya nilai estetika universal, tidak cenderung kepada suatu etnik lokal atau antipati terhadap nilai-nilai estetika tertentu. Tidak ada dikotomi arsitektur Islam, gothic atau tradisional, demikian pesan Seikh Panji Gumilang. Gaya arsitektur Masjid memadukan berbagai gaya arsitektur yang ada di dunia, untuk menggambarkan bahwa Masjid dan Ma’had Al-Zaytun adalah Rahmat bagi semua. Masjid yang menebarkan kasih sayang bagi semua. Terus berkomunikasi dan bersilaturahim kepada semua.
Pada Peringatan Tahun Baru Hijriyah 01 Muharram 1446 H itu dapat terlihat betapa fungsi Masjid itu sebagai penebar kasih sayang dan perdamaian. Undangan yang berjumlah sekitar sepuluh ribu itu terdiri dari berbagai suku, bangsa, budaya dan agama. Semua dapat duduk di kursi yang sama di dalam Masjid, siapapun dia, apapun suku, bangsa dan agamanya tanpa dibedakan. Bahkan sambutan-sambutan yang lebih dari 30 orang menggambarkan kebebasan berekspresi, menyampaikan pendapat dan gagasan dari kalangan lintas profesi, agama, suku, bangsa, dan organisasi. Masjid menebar kasih sayang menentang kekerasan dan kebencian. Masjid memberikan keindahan dan kenyamanan melawan keburukan dan kekacauan.
Istana Beras Istana Pisang Menantang Ketergantungan
Ada acara menarik usai Acara Peringatan 1 Syuro yang berlangsung hampir jam dua siang itu. Kami diajak makan siang di Wisma Al-Islah. Ruang jamuan makan siang tertata rapi layaknya jamuan makan siang di hotel berbintang. Menu makanan mewah dan melimpah yang disajikan dengan rapi dan indah oleh pramusaji santri yang ramah dan rapi. Melayani semua tamu sepenuh hati yang datang silih berganti. Suara live musik tradisional maupun modern dengan lagu-lagu daerah, Timur Tengah, Mandarin, maupun Barat terdengar sejuk di telinga. Diselingi dengan tari-tarian yang menawan hati. Indah warna warni pakaian mereka memanjakan mata dan hati sanubari. Semua dibawakan oleh para santri yang gagah dan cantik memikat hati.
Menu yang dinikmati seluruh tamu, wali santri, dan santri menurut informasi dari para pendamping tamu yang selalu menemani ternyata berasal dari usaha Pesantren Al-Zaytun. Nasi yang dimakan tamu dan santri pada hari Peringatan 1 Syuro maupun yang dikonsumsi setiap hari berasal dari padi unggulan milik Pondok. Bukan padi biasa, tapi padi unggulan asal Jepang yang berkualitas tinggi. Telor dan ayam yang dimasak dengan berbagai jenis masakan adalah dari peternakan ayam milik Pondok. Ikan gurami bakar berukuran besar yang tersedia di meja makan itu adalah hasil perikanan milik Pondok. Menu daging bakar dan sop kambing didatangkan dari ternak sapi dan kambing milik Pondok. Pisang Kavendis yang manis itu berasal dari kebon pisang milik Pondok yang ditanam di atas lahan 20 ha.
Setelah makan siang, saya dan tamu undangan diajak untuk berkeliling melihat langsung Pesantren Al-Zaytun. Kali ini tidak berjalan kaki tapi naik bus. Perjalanan dipandu beberapa ustadz muda yang ramah dan ceriah, terampil dalam memberi penjelasan layaknya guide rombongan pariwisata professional. Selain ditunjukkan berbagai bangunan kami diajak melihat langsung usaha milik Pesantren yang menunjukkan kemandirian pangan Pesantren. Ditunjukkan pabrik pengolahan padi milik Pesantren dari sejak dipanen, dikeringkan, digiling, hingga dikemas dalam karung-karung. Semuanya dilakukan dengan mesin-mesin modern yang sangat canggih. Kawasan luas itu tidak disebut sebagai pabrik, gudang, atau lumbung beras. Pesantren memberi nama dengan Istana Beras. Begitu pula tempat memproses pisang setelah dipetik, dinamakan Istana Pisang, bukan gudang pisang. Maka di sana kami ditunjukkan berbagai macam istana. Ada istana sapi, istana kambing, istana ayam, istana ikan, dan lain sebagainya. Luar biasa, pemberian nama itu bukan tanpa alasan. Nama itu digunakan dalam rangka menghormati karunia Allah yang melimpah itu. Tinggikan, muliakan, hargai, jangan merendahkan rezeki yang diberikan. Pondok dengan kemandirian luar biasa. Melawan ketergantungan kepada pihak lain. Menghargai rezeki dari Sang Pencipta Yang Maha Kaya.
Semangat Iqra’ Iman Kuat Ilmu Tinggi Wawasan Luas Hijrah Menantang Kedunguan
Inti dari semua mujahadah Ma’had Al-Zaytun adalah menantang dan menentang Jahiliyyah. Melawan kedunguan, kebodohan, pikiran sempit, statis dan anti perubahan. Melawan Jahiliyyah modern bukan saja jahiliyah karena ‘adamul ilmi bi syay’ (tidak memiliki ilmu pengetahuan), tapi melawan jahiliyyah karena hamiyyah (keangkuhan) dan ‘anafah (kesombongan). Jahiliyah tidak saja dipahami sebagai makna kebodohan karena tuna ilmu hingga miskin peradaban. Jahiliyah dipahami sebagai kebodohan karena tuna rasa, tuna budi, tuna karsa. Hilang kasih sayang dan kepedulian. Mati rasa. Mati logika. Kebodohan karena tuna kepemimpinan hingga musnah keadilan dan marak kezaliman. Kolusi dianggap biasa. Nepotisme hal yang lumrah. Keluarga, kelompok, partai, golongan menjadi prioritas utama. Biarkan yang lain menderita asal keluarga dan kelompokku berkuasa. Nurani tertutup debu keangkuhan, keserakahan, dan penindasan. Saling memangsa, saling menikam, dan saling mengeksploitasi. Hukum Jahiliyah dibuat berdasarkan kepentingan siapa yang kuat, siapa yang berkuasa, siapa yang berjaya. Hukum Jahiliyah mengangkat yang kuat menginjak yang lemah. Hukum Jahiliyah membela yang kaya menghinakan yang papa. Hukum Jahiliyah memuja dunia mematikan jiwa. Hukum jahiliyah membela kroni dan kolega. Hukum jahuliyah menghancurkan peradaban mulia.
Ada 4 kata al-jahiliyah dalam al-Quran: dzann al-jahiliyyah (prasangka buruk, hilang kepercayaan, Q.S. Ali Imran/3: 54), hukm al-jahiliyyah (hukum tidak berkeadilan, Q.S. al-Maidah/5: 50), tabarruj al-jahiliyyah (penampilan penuh kemaksiatan, Q.S. al-Ahzab/33: 33), hamiyyah al-jahiliyyah (keangkuhan dan kesombongan, Q.S. al-Fath/48: 26). Jahiliyyah itu berilmu tapi penuh prasangka buruk (su’uzzan), tampilan norak jauh dari akhlaq terpuji (tabarruj), cerdas tapi merusak hukum dan tatanan, hebat berkuasa tapi penuh kesombongan (al-hamiyyah). Hukum Jahiliyyah itu merusak. Hukum jahiliyah itu memihak elit penguasa. Menguntungkan konglomerat. Menyengsarakan rakyat. Hukum jahiliyyah itu memihak orang kaya, menindas orang miskin. Hukum jahiliyah itu penjajahan, penindasan, kezaliman, penghianatan, kecurangan, dan keangkuhan. Tantang dan lawan itu. Merdeka.
Tabaruj jahiliyyah itu berpenampilan penuh kemaksiatan. Berhias norak berlebihan. Dalam berpakaian aurat dipertontonkan. Berdandan untuk mendapatkan decak kagum dan pujian. Tidak pernah terpuaskan. Selalui haus puja puji. Penampilan keren tanpa isi. Indah bungkus, namun buruk status. Wajah cantik rupawan, hati busuk penuh cacian. Gagah perkasa, tampan dalam tampilan. Namun buruk dalam hati dan pikiran. Hiasi diri dengan ketakwaan. Hubungan vertikal cantik menawan. Hubungan horizontal ramah menyenangkan.
Husnudzan (prasangka baik). Suudzan (prasangka buruk). Ketika diuji dengan kebaikan merasa tersanjung. Ketika diuji dengan keburukan merasa terpasung. Suka dan duka silih berganti. Tertawa dan menangis datang bertubi-tubi. Semua ada hikmah. Berprangka baik pada semua yang menimpa. Prasangka buruk hanya sikap jahiliyah. Prasangka jahiliyah menyebabkan putus asa. Frustasi ketika gagal. Galau ketika datang cobaan. Berkeluh kesah setiap ada rintangan. Allah memberikan yang terbaik. Allah tidak akan menyengsarakan mereka yang mengabdi. Nikmati hidup dalam berbagai situasi. Hingga meraih kebahagiaan abadi.
Kesombongan jahiliyyah adalah puncak segala kesombongan. Kesombongan melawan kebenaran. Melawan Tauhid. Melawan Allah dan Rasul-Nya. Merasa paling benar. Semua dianggap bodoh. Mudah menyalahkan. Memaksakan orang agar berpikir sama. Nalar diktator. Logika pembenaran yang dipaksakan. Di atas langit ada langit. Merasa paling kaya. Merendahkan orang miskin. Mengeksploitasi kemiskinan untuk memperkaya diri. Pemiskinan untuk kekayaan. Enggan mengulurkan tangan. Merasa paling berkuasa. Menjajah kedaulatan. Menindas kewenangan. Merampas kepemilikan. Kekuasaan untuk melanggengkan perbudakan. Kekuasaan untuk melemahkan dan menyenyengsarakan.
Oleh karena itu, Ma’had Al-Zaytun dan moto pendidikannya menerapkan Pendidikan Basthatan fi al-Ilm wa al-Jism (serasi antara ilmu dan jasad). Sebuah pendidikan yang bertujuan untuk mengarahkan kepada full development of personality, yang berarti membangun, membentuk watak maupun kepribadian utuh dalam sistem pengasuhan peserta didik yang berkesinambungan, sehingga tercermin dalam pribadi bangsa yang cerdas (intelektual, emosional, spritual), bangsa yang bajik dan bijak mampu memposisikan diri dalam berbagai kondisi yang tersimpul dalam berbagai sikap.
Pesantren Al-Zaytun berusaha sekuat tenaga dalam mempersiapkan santri agar memiliki aqidah yang kokoh kuat terhadap Allah, menjalankan Syari’at-Nya dengan benar, menyatu di dalam tauhid, berakhlaq al-karimah, berilmu pengetahuan luas, berketrampilan tinggi sehingga sanggup siap dan mampu untuk hidup secara dinamis di lingkungan negara bangsanya dan masyarakat internasional dengan penuh kesejahteraan serta kebahagiaan duniawi maupun ukhrawi.
Pendidikan ideal seperti itu tentu tidak mudah. Tidak semudah membalik telapak tangan. Masih banyak tantangan dan rintangan. Perlu pengurbanan tak kenal lelah. Istiqamah terus menerus tanpa henti. Rawe-rawe rantas malang-malang putung. Yang menjulur-julur harus dibabat habis dan yang menghalang-halangi jalan harus dipatahkan. Segala sesuatu yang merintangi maksud dan tujuan harus ditantang, dilawan dan disingkirkan. Perjuangan dengan linangan air mata, kucuran keringat, dan mandi darah. Bila perlu harus berkurban nyawa. Bondo Bau Pikir Lek Perlu Sak Nyawane Pisan. Perjuangan dengan berkurban biaya, tenaga dan pikiran, bila perlu dengan berkurban jiwa. Cita dan asa dapat dilambungkan setinggi Bintang. Program dan rencana dapat dibuat tinggi menjulang. Dana dan materi dapat dikeluarkan sangat besar habis fantastis berbilang-bilang. Ikhtiar intelektual terus menerus harus diupayakan. Ikhtiar spiritual selalu dipanjatkan. Kepada Allah jua semua urusan dikembalikan. Ridha dan kasih sayang-Nya selalu diharapkan. Semoga umat dan bangsa maju berkembang. Remontada From Within – Kebangkitan Dari Dalam Menuju Indonesia Gemilang, Bersama Seikh Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang.
Ditulis Oleh Shabah Syamsi.