humaniora.id – Menyaksikan sebuah kelompok teater, seperti Teater Mandiri, yang bertahan sampai 52 tahun usia, bukanlah perkara main-main. Bukan soal penghiburan, untuk mendinginkan pikiran yang sumpek. Tapi adalah momen. Saat untuk merenung dan menguatkan. Terlebih bila pendirinya, Putu Wijaya, penulis 40-an naskah drama, 30 novel, sekitar 1000 cerpen, ratusan esai, kritik drama itu, masih ada diantaranya. Bahkan masih menjadi sutradara. Akan halnya sang sutradara berdiam di kursi roda, itu adalah nilai lebih. Tapi saya mengagumi keteguhan hati di sana. Ausdauer. Stamina maraton. Yang terus hidup, enerjik, menjaga dan merawat pencapaian.
Bahwa ada yang tak terkalahkan di sana. Oleh ancaman-ancaman. Ancaman yang alamiah adalah waktu. Waktu, yang mempengaruhi pula benda-benda di dalamnya: ‘Jam’ yang dulu digerakkan oleh mesin manual, lalu oleh baterai, lalu oleh algoritma. Jam yang berkaitan dengan ruang-ruang, dan bermacam aturan dan kebijakan, yang setiap kali berubah. Di sudut lain, adalah penonton. Yang datang dan pergi, lahir dan mati. Mereka yang usia dan persepsinya terus bergeser. Butuh disiasati.
***
Membaca itulah, saya merasa bersemangat, merasakan pesona yang dakhsyat. Dan haru-biru. Bukan, ini bukan soal romantisisme, atau melankolia.
Yang saya pikirkan adalah spirit serombongan seniman yang terus berjalan, justru di sebuah negeri yang setiap kali sibuk berpemilihan umum, seakan-akan ritual yang amat luhur, sibuk membentangkan jalan raya ke semua arah sambil menebangi hutan, sibuk menawarkan, bahkan memaksakan pilihan-pilihan kepada warganya. Pilihan-pilihan yang acap kali mengandung implikasi, dan konsekuensi yang membusukkan akal sehat. Di sebuah negeri yang tindak malpraktik (prilaku korup, misalnya) dianggap sebagai biasa saja oleh masyarakatnya. Dilakukan dengan terpaksa atau dengan sengaja. Dilakukan diam-diam, atau terang-terangan. Dengan alasan apologis: mengalah, atau untuk bertahan hidup; meski melawan kata nurani. Absurditas yang sesungguhnya merusak kewarasan dan keimanan.
Yang saya pikirkan adalah daya hidup serombongan seniman, di negeri yang tidak mempunyai Kementerian Kebudayaan. Tapi mereka terus berjaga, membuat kode-kode, suar, sinyal-sinyal. Hidup-menghidupi dengan cara-cara yang tak sembarang orang mampu memahami.
***
Di lakon “Ah” saya menyaksikan sosok ‘dukun’ (Jose Rizal Manua) yang memanipulasi pikiran pengikutnya. Sosok yang disebut-sebut datang dari luar, dari negeri asing, yang tipuannya memperbodoh masyarakat. Dan seorang muda (Taksu Wijaya), anak kepala suku yang lehernya dipenggal, yang dengan kedegilan yang lugu, memaksakan pendapat banalnya. Dan sang dokter muda (Laila Uliel El Na’ma) yang bertugas di pedalaman, yang berupaya mengikuti hikmat pikiran Hipokrates (meski gajinya dibayar tiga bulan sekali), namun terpaksa menciptakan kebohongan demi kebohongan, sebagai pilihan-pilihan simalakama dalam menghadapi ancaman.
Keterpaksaan, yang berujung malpraktik, demi memuaskan banyak kehendak. Ada pula makhluk bertopeng, yang secara tersamar mengendalikan jalan pikiran banyak orang, dengan meminjam mulut tokoh pejuang yang jujur, tapi juga tampak naif, tatkala zaman berpusar dengan cepat dan teknologi membuatnya tergagap.
Lakon “Ah”, yang akan dipentaskan lagi di Festival Bali Jani V pada 29 Juli mendatang, terasa kontekstual, meski zaman terus berubah, dan cara berpikir semakin rumit.
Lakon ini seperti hendak mengingatkan penontonnya untuk eling terhadap anasir-anasir manipulatif yang bersemayam dalam jiwa setiap orang, dan meruyak-biak di sekitar hidup keseharian setiap orang. Sambil mengenangkan komitmen para pejuang, yang sukmanya tak akan pernah mati, karena akan abadi dalam hati setiap orang.
Lalu, seperti lazimnya pesan yang kerap disampaikan oleh seorang Putu, selain kritik tajam dengan banyak sudut tafsir, yang saking tajamnya tak terasa mengiris dan membelah, kita pun bisa melihat bendera merah dan putih kecil di tangan seorang muda, pewaris kepala suku, sebagai simbol. Nasionalisme, kepercayaan diri, kesadaran, kehormatan. Atau, kesaksian yang murni dari seorang perempuan, yang setelah terpaksa bermuslihat menggagukan diri bertahun-tahun, karena tekanan akut yang ia rasakan sebagai perempuan, akhirnya membuka diri, menjadi perempuan yang fasih menyuarakan gugatan.
Dan, ketika sang dokter tegak berdiri di atas meja jenazah, di depan layar yang memberondongkan cahaya berdenyar-denyar, merah biru hijau kuning, menyampaikan pengakuan dosa yang pedih dan goncangan penyesalan atas kesalahan-kesalahan yang terpaksa ia buat: karena harus memuaskan hati banyak orang, atau harus menyelamatkan nyawanya, kita pun seolah mendengar Harry Roesli yang bernyanyi, menyeru dan berjanji: “Janganlah menangis, Indonesia. Janganlah bersedih, Indonesia. Kami berdiri di sini. Menjagamu, Pertiwi..!” Sebuah ode, yang dinyanyikan oleh cucu Marah Roesli itu, pada masa-masa risau galau 40-an tahun yang silam.
***
Terduduk di balkon kanan panggung, tiba-tiba, ah, saya teringat sahabat saya Cok Ryan Hutagaol, aktor senior Teater Mandiri. Lelaki kekar berotot, yang beberapa kali menyanyikan lagu itu. Suatu kali, di ruang sidang partai politik di DPRD Jakarta, di depan para politisi, ketika sekitar tiga tahun lalu, Forum Seniman Peduli Taman Ismail Marzuki mengadukan perkara rumah mereka, Taman Ismail Marzuki yang digagahi oleh sebuah perusahaan. Kali lain, saya mengingatnya dengan kenangan yang basah, ketika suatu larut malam, di Posko #saveTIM, ia menyanyikannya dengan suara dan wajah yang sepenuh hati, seakan tengah berdiri di panggung Teater Mandiri.
***
Ya, Putu Wijaya, dan Cok Ryan Hutagaol, adalah dua orang yang sejak awal bersetuju dalam #saveTIM. Tidak sekedar bersetuju, tapi juga mengirimkan mesiu dalam bentuk berondongan pernyataan. Mas Putu yang dalam postingan di halaman Facebook-nya, kerap menyuarakan pikiran tajam dan jernih, dingin sekaligus hangat, bagai es batu dari puncak gunung pengalaman dan renungannya yang jauh, tentang Taman Ismail Marzuki yang tak boleh dikotori oleh syahwat kapitalistik. Ia yang pernah membawa Teater Mandiri berlatih di sana, bertahun-tahun, yang faham benar filosofi dan kedudukan strategis ruang kesenian itu. Dan merasa kecewa dan marah, ketika tahu Taman Ismail Marzuki sudah diduduki dan dikuasai institusi yang tak berasal-usul.
Dan Cok Ryan, adalah lelaki Batak yang membawa bendera merah putih pada peristiwa ‘silent action’ di trotoar Cikini Raya. Bendera berukuran besar yang ia kibarkan lewat lengannya, dengan menghela tenaga dan otot-otot kekarnya, menyerukan perlawanan atas kejahatan yang menguasai rumahnya, tempat ia lahir dan dibesarkan. Spektakel pementasan, dialog yang bersahutan, dengan artikulasi kuat tentang kemerdekaan, ia pindahkan ke ruang pergerakan.
Cok Ryan, yang biasa, pada setiap pementasan Teater Mandiri, selalu siap berpindah ke belakang layar. Dengan sigap memainkan lampu spot yang tabungnya panas itu, menembakkan cahaya ke arah tubuh-tubuh dan rupa-rupa wayang, yang bergerak melenting, berlompatan, membuat distorsi berkas bayangan yang imajinatif dilayar yang bergerak agresif. Yang menampilkan mosaik mimpi-mimpi, yang indah, sekaligus buruk.
Tapi Cok, kemarin sudah tak lagi ikut bermain. Stroke telah menghantam syarafnya. Terbetik pula kabar, ia pun sudah tak mampu mengingat kehebatan pertunjukannya bersama Teater Mandiri di berbagai kota dunia itu: Mesir, Hamburg, Seattle, dan sebagainya.
***
Tadi malam, Senin, 17 Juli 2023, saya berusaha untuk hadir di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, menyaksikan, bukan semata pertunjukan teater. Tapi, ingin merasakan spirit yang bagai kibasan layar itu: cepat, membetot, gemuruh, disorot cahaya warni-warni, fantastik, dan menggedor-gedor.
Menyaksikan greget hidup, elan dan tuah seorang empu, Putu Wijaya, yang memicu tumbuhnya seratus kecambah gagasan di kepala saya. Gagasan yang segera berakar-belukar, bertunas bergegas. Tentang sukacita keberagaman, kebenaran dan mitos disekitarnya, siasat perlawanan terhadap pikiran sesat, Indonesia yang senyatanya dan yang seharusnya. Dan sebagainya.
Usai pertunjukan, pada menit pertama, saya merasa perlu naik ke atas panggung. Menemui beliau yang duduk di kursi roda. Menyampaikan terima kasih, atas undangan yang ia sampaikan. Atas pertunjukan yang telah ia gelar. Saya bahagia, bisa menyentuh lagi tangannya, dan menggenggamnya. Ia yang novel-novelnya saya baca berulang: Telegram, Pabrik, Bila Malam Bertambah Malam, Sobat, dan lainnya. Selalu saja, dulu sekali ketika saya masih belia, selesai membaca, saya terheran-heran, mengagumi imaji liarnya yang seringkali tak terduga, tapi pada beberapa segmen ada di ceruk bawah sadar saya. Pikiran liar yang sama, yang tak terucapkan oleh saya.
“Selamat, mas Putu. Terima kasih!” ujar saya. Sejenak ia tertegun, tapi langsung merekahkan senyum lebar. “Ya. Ya. Terima kasih, Tatan!” Saya senang ia mengingat saya, meski tadi malam adalah pertemuan langsung kedua saya, setelah yang pertama, Januari lalu, di tempat yang sama, pada pentas “Aum”.