Humaniora.id – Jangan berhenti berbuat baik. Mari kita berlomba-lomba berbuat baik. Apalagi di saat bulan suci Ramadan yang setiap amal kebajikan dilipat gandakan ganjarannya oleh Allah SWT.
Demikian ajakan menjemput berkah seniman serba bisa Ageng Kiwi, di berbagai kesempatan tampil selama bulan suci Ramadhan 1444 Hijriyah tahun ini.
“Selama masih ada kesempatan, sekecil apapun kesempatan itu teruslah berbuat baik. Jangan pernah berhenti berbuat baik,” ujar Ageng Kiwi kepada humaniora.id, melalui sambungan telpon dari Desa Jeruklegi, Cilacap, Jawa Tengah, Kamis (13/04/2023).
Orang tua kita, cerita Ageng, mengajarkan menanam pohon kelapa. Meskipun ia mungkin tak sempat memanen buahnya. Namun, anak, cucunya, dan bahkan orang lain akan menikmati hasil tanamannya.
“Oleh karena itu mari kita berlomba-lomba menanam kebaikan. Jangan berhenti berbuat baik. Sebab itulah harta kita sesungguhnya nanti di akhirat,” ungkap fungsionaris Partai Nasdem ini.
Usai memberi santunan kepada anak yatim dan para janda lanjut usia berprofesi sebagai pemulung di Yayasan Humaniora Rumah Kemanusiaan, Jum’at (07/04/2023) lalu, Ageng Kiwi langsung tancap gas ke Jawa Tengah.
Masih urusan sosial kemanusiaan, dalam rangka menjejaki berkahnya bulan suci Ramadan, Ageng Kiwi melakukan safari ke beberapa kota. Khususnya kota-kota yang memiliki ikatan historis dalam hidupnya, seperti Jakarta, Bekasi, Purwokerto, dan kota Cilacap tanah kelahirannya.
Bulan Ramadan tahun 2022 lalu misalnya, Ageng Kiwi gelar acara “Lomba Hafalan Ayat Pendek Kitab Suci al-Quran,” dan membagikan minyak goreng kepada ibu-ibu di desanya. Setiap bulan suci Ramadan Ageng Kiwi memang selalu pulang ke desanya, di Jeruklegi Wetan, Cilacap, Jawa Tengah.
Ramadan tahun 2023 ini, Ageng Kiwi melakukan lawatan dengan mengetengahkan budaya kuliner tradisionil. Makanan tradisi, kata dia, kearifan lokal yang menopang kehidupan.
Tradisi memasak makanan dari alam menjadi budaya bukan hal baru. Kearifan lokal hadir bersamaan dengan terbentuknya bangsa kita, masyarakat Indonesia. Kuliner melambangkan kehidupan sosial dan identitas budaya.
“Dalam era modern makanan tradisional sering terpinggirkan oleh makanan modern yang viral dan mudah dijumpai. Namun di daerah masih banyak penjual makanan yang tetap mempertahankan kuliner tradisional,” papar Ageng.
Di Indonesia, kata Ageng, luar biasa jenis dan rasa makanan. Justru masyarakat di daerah, menurutnya, masih berusaha menjaga dan melestarikan cita rasa makanan khas daerah.
“Mereka yang telah turun-temurun mempraktikkan, selama berabad-abad. Apalagi di saat bulan Ramadan,” ujar Ketua DPW Badan Budaya Partai NasDem Jawa Tengah Priode 2022-2024 ini.
Untuk syiar budaya ini Ageng melakukan lawatan budaya di beberapa kota, antara lain Jakarta, Bekasi, Purwokerto, Cilacap. Selarung rasa di masa lalu yang pernah ia cicipi sejak masa remaja di desanya Jeruklegi, Kabupaten Cilacap.
“Touring saban tahun yang aku lakukan. Ini caraku mensyukuri dan menikmati Ramadan. Sangat nikmat berburu makanan ringan yang dulu pernah aku nikmati di masa kecil. Kenikmatannya sangat luar biasa,” ujar pelantun lagu ‘Tak Lereni Wae’ ini.
Menurut aktor film ‘Hantu Gudang Cibubur’ yang juga memproduseri film ‘Santet Goyang Dangdut’ ini jika di Jakarta, ia berburu kolak, bubur sumsun, asinan dan kerak telor.
Di Cilacap Ageng berburu tempe bongkrek, kepiting blenes, sate ayam Cilacap, tempe mendoan, dan donat gembus. Lalu di Purwokerto ia berburu dan menyantap kraca, candil, kembang pacar, mie tayel, getuk goreng dan sebagainya.
Ageng Kiwi sangat menggemari kuliner nusantara. Misalnya pindang ikan kepala manyung atau yang populer dengan sebutan pindang gombyang makanan khas Indramayu. Jadi soal taste kuliner, Ageng tak sungkan berburu kemana pun.
Untuk berburu makanan tradisionil, Co Host Silet ini, tak sungkan merangsek ke pelosok desa, gang sempit hingga pasar tradisional yang becek. Terpenting ada makanan khusus yang ia cari.
Makanan yang dibeli tidak dinikmati sendiri. Tetapi disantap bersama masyarakat sekitarnya. Tak jarang ia sengaja mengundang teman masa kecil atau sekolahnya untuk sekedar bereuni kecil.
“Jakarta, Cilacap dan Purwokerto punya kenangan tersendiri. Dari sejak kecil, masa remaja, sampai berkarir ya di tiga kota itu. Khususnya Cilacap dimana kedua orang tuaku dimakamkan,” kenang biduan bernama asli Ageng Wahono ini.
Selain sambung rasa melalui kuliner nusantara antar kota, selama Ramadan Ageng juga tampil menjadi bintang tamu di berbagai acara buka puasa bersama.
Setiap tampil Ageng cukup cukup membawakan dua atau lagu karyanya. Seperti lagu ‘Allah Maha Besar’ sebuah tembang religi fenomenal yang banyak didengar masyarakat di bulan suci Ramadan.
Ageng Kiwi yang eksis lewat perannya sebagai Pakde Selamet di sinetron “Seleb” (SCTV) memang tergolong seniman produktif. Hal ini dibuktikan dengan sejumlah kiprah dan karya yang dihasilkannya dengan gemilang.
Lagu ‘Allah Maha Segalanya’ diciptakan dan dinyanyikan Ageng Kiwi sendiri. Lagu ini menjadi karya yang tepat sebagai lagu religi di bulan Ramadan.
Penataan musiknya dipercayakan kepada musisi kenamaan Echal Gumilang dan AK Pro Team. Produksi Indie Label AK Production, dan TA PRO Music & Publishing.
Penggarapan klip lagu ini dipercayakan kepada videographer Stevanus Gunawan dan @xdiary.photografy, dengan artis pendukung, ustadz Imadduddin, Firra Fernanda, dan youtuber Wikwik Ambyar. Pengambilan gambarnya dilaksanakan di kota Yogyakarta dan sekitarnya.
“Lewat lagu ini saya mencoba menggugah hakekat manusia sebagai tempatnya salah; khilaf, dan selalu bersyukur,” kata Ketua Komunitas Amal Sedekah Ikhlas Hati (KASIH) ini.
Lagu ‘Allah Maha Segalanya’ kata Ageng, juga memiliki spirit doa. Nuzulul Quran dan malam-malam lailatul qadar, kata dia, sebagai waktu-waktu mustajabnya doa, bagi orang-orang yang mau berdoa.
“Saya terus mengeksplorasi apa yang telah diberikan Allah SWT, yaitu berupa nikmat bakat dan suara sebagai bentuk rasa syukur kepada-Nya,” ujar Ageng Kiwi menutup./*
Comments 1