humaniora.id – Tuduhan Rais Aam PBNU KH Miftahul Akhyar kepada pembatal nasab Ba’alawi Yaman yaitu Kiai Imaddudin Utsman Al Bantani sebagai kowarij tidak mendasar. Tuduhan itu sudah disiapkan oleh Kiai Miftah dengan sungguh-sungguh dan sadar di acara Haul Muassis NU di Gresik, Minggu (25/5/2024). Hal ini penulis perhatikan secara seksama cara penyampaian lancar dan lantang. Pola penggiringan menurut Kiai Miftah bahwa Ba’alawi itu shahih nasabnya. Hal ini tentunya pendapat yang kontradiktif terhadap perkembangan teknologi yang ada. Shahih dari mana? Buktinya apa? Seharusnya Ba’alawi berani tes DNA sebagai pembuktian yang cepat dan akurat. Zaman sudah maju kalau ada yang orang meluruskan sejarah ya diterima dengan melakukan pembuktian bukan cacian kepada orang yang berani mengungkap sejarah bahwa nasab Ba’alawi sebagai dzuriyah Kanjeng Nabi batal.
Langkah berikutnya Kiai Miftah harus bisa menghadirkan kitab nasab Ba’alawi yang sezaman dengan Ahmad bin Isa yang diklaim sebagai ayah Ubaidillah. Sebagai pembesar dari organisasi besar Nahdlatul Ulama harus bisa membuktikan kebenaran nasab Ba’alawi. Kalau tidak bisa menghadirkan dua bukti yaitu kitab sezaman dengan Ahmad bin Isa dan hasil tes DNA dari para Ba’alawi ya berarti dusta besar yang selalu dikemas oleh seorang pembesar PBNU.
Kalau Kiai Imad mengirimkan 12 pertanyaan ke pihak Rabithah Alawiyah (RA) berkenaan dengan batalnya nasab Ba’alawi, penulis juga meminta kepada Kiai Miftah 2 pertanyaan saja tidak usah banyak-banyak untuk membuktikan nasab Ba’alawi itu shahih, yaitu : pertama hadirkan kitab sezaman dengan Ahmad bin Isa yang diklaim sebagai ayah dari Ubaidillah. Kedua hasil tes DNA dari para habib dan habibah.
Pembesar PBNU juga menuding kalau pembatal nasab Ba’alawi yaitu Kiai Imad sebagai kowarij. Apa itu benar mana buktinya!
Menurut ceramahnya Rais Aam PBNU KH Miftahul Akhyar, Kiai Imad dianalogikan seorang pemuda yang tekun beribadah kalau siang puasa tidak pernah berhenti kalau malam ibadahnya khusyuk, tapi di wajahnya ada stempel syetan.
Dari ceramah tersebut bisa dirangkum sebagai berikut: “Di wajah anak ini ada stempel syetan. Pemuda itu dianggap sombong ketika bertemu dengan sahabat-sahabat Nabi. Pemuda tersebut pemberontak pada saat Sayyidina Ali bin Abi Thalib sebagai kholifah. Pemuda itu terkenal sebagai kowarij sholatnya yang luar biasa, puasanya luar biasa tapi detik perdetik dia lepas dari Islam. Sekarang tanda-tanda itu ada sebagai penolakan kebenaran,” itulah ceramah yang disampaikan Kiai Miftahul Akhyar.
Pernyataan tersebut sudah pernah penulis publish di banyak media online dengan judul “Rais Aam KH. Miftahul Akhyar Menuduh Polemik Nasab itu Pola Wahabi.” Tulisan ini adalah lanjutannya.
Tidak sepantasnya seorang Rais Aam PBNU memfitnah secara keji tanpa ada pembuktian yang ada. Seorang Syuriah (senat/legislatif) yang membawahi Tanfidziah (eksekutif) biasa disebut Ketua Umum. Jadi Rais Aam merupakan kedudukan pimpinan tertinggi dan membawahi Ketua Umum.
Syuriah atau Rais Aam merupakan dewan pengarah, pembina dan pengawas pelaksanaan keputusan-keputusan organisasi NU. Memiliki wewenang dan tugas yang termaktub di dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) NU Bab XVIII Pasal 58 ayat 1. Ada lima wewenang Rais Aam pertama, mengendalikan pelaksanaan kebijakan umum organisasi. Kedua, mewakili PBNU baik keluar maupun ke dalam yang menyangkut urusan keagamaan baik dalam bentuk konsultasi, koordinasi maupun informasi. Ketiga bersama Ketua Umum untuk mewakili NU melakukan tindakan, pengalihan, tukar menukar, penjaminan atas dasar benda bergerak atau tidak yang dikuasai NU. Keempat bersama Ketua Umum menandatangani keputusan-keputusan strategis PBNU. Kelima bersama Ketua Umum membatalkan keputusan organisasi yang bertentangan dengan AD dan ART NU (dikutif dari NU online).
Apa yang menjadi dasar pemikiran Kiai Miftah kalau pembatal nasab dianalogikan sebagai kowarij atau wahabi? Kiai Miftah kayaknya sudah lupa dengan anaknya sendiri. Ingat sampai saat ini Kiai Imaduddin Utsman Al Bantani menjadi Ketua Rabithah Ma’ahad Islamiyyah (RMI) PWNU Banten. Artinya Kiai Imad masih menjadi pengurus struktural NU. Seharusnya Kiai Miftah melindungi anaknya yang dengan kepandaiannya bisa meluruskan sejarah yang ada di Indonesia. Kiai Imad telah melakukan penelitian dari bulan Oktober 2022 hingga diterbitkan buku nasab “Terputusnya Nasab Habib Kepada Nabi Muhammad SAW” cetakan pertama tahun 2023 dicetak oleh Maktabah Nahdlatul Ulum Banten. Kemudian buku disempurnakan hingga Februari 2024 Kiai Imaduddin berhasil menulis buku “Nasab Palsu Ba’alawi” cetakan ke 2 bulan Mei 2024, buku ini setebal 500 halaman.
Kiai Miftahul Akhyar sebagai Rais Aam sudah punya bukunya apa belum? Atau punya tulisan Kiai Imad dalam bentuk PDF, tolong dibaca dulu sebelum menuduh Kiai Imad sebagai kowarij.
Anak sendiri kok dituduh sebagai kowarij, ada apa dengan Kiai Miftah. Apakah sebelum memberikan ceramah di Haul Muassis NU di Gresik sudah dibriefing dulu oleh para habaib, nanti tolong sampaikan kalau pembatal nasab itu pola yang dilakukan Wahabi atau kelompok kowarij. Atau memang dari Kiai Miftah sendiri yang sudah terlanjur candu kepada kaum Ba’alawi.
Kalau terlanjur candu terhadap Ba’alawi dan benci terhadap anak sendiri ya sudah Kiai Miftah fokus saja membesarkan organisasi RA tidak usah lagi menjadi Rais Aam, mundur saja Kiai. Karena seorang Syuriah PBNU harus mampu sebagai pengarah, pembina dan pengawas pelaksanaan PBNU.
Seharusnya Kiai Miftah itu memanggil Kiai Imad duduk bersama di PBNU untuk berdiskusi dengan semua pengurus struktural PBNU beserta jajarannya dalam membahas batalnya nasab Ba’alawi. Jangan terus menuduh kalau Kiai Imad itu dianalogikan sebagai kowarij atau wahabi. Lihat saja video ceramah Kiai Miftah yang viral di platform media sosial. Para grassroot NU yaitu masyarakat akar rumput bisa melihat, berkomentar dan menganalisa bahwa Kiai Miftah lebih memilih klan Ba’alawi yang nota bene orang lain dan menuduh anak sendiri sebagai kowarij.
Pernyataan Kiai Miftah malah memperkeruh suasana. Karena pernyataan ini digunakan oleh para habib habibah dan muhibbin untuk menyerang Kiai Imaduddin Utsman dan orang-orang yang sepakat dengan batalnya nasab.
Kalau pernyataan Kiai Miftah tidak dicabut, berarti Kiai Miftah membenturkan antar pengurus NU. Masak pengurus NU digambarkan sebagai seorang wahabi yang selama ini memusuhi NU sendiri.
Hati-hati Kiai Miftah jangan gegabah dan ini justru berbahaya. Para grassroot NU akan berbalik menyerang Rais Aam. Lihat saja nanti akan banyak para nahdliyyin menolak pernyataan Kiai Miftah. Di YouTube saja sudah banyak yang menghujat Kiai Miftah. Juga di tempat acara haul para Muassis NU di Gresik mereka tertunduk malu mendengar ceramah Kiai Miftah, kemungkinan besar para Muassis NU juga menangis di alam kubur. Kok ada bapak yang menuduh anak sendiri sebagai kowarij. Semoga polemik ini segera berakhir. Kiai Miftah mencabut
pernyataan bahwa pola pembatalan nasab Ba’alawi dianggap sebagai wahabi atau kowarij.
Kepada warga Nahdliyyin yang cerdas dan waras, jangan lelah mengingatkan Rais Aam PBNU KH Miftahul Akhyar. Kita semua butuh kekuatan dan keberanian untuk mengangkat pikiran besar terhadap orang yang berposisi sebagai pembesar. Semoga Kiai Miftah membaca tulisan ini. Jazakallah khoiron katsiran.
Nurul Azizah penulis buku Muslimat NU Militan Untuk NKRI.