SAYA langsung ingin beli tiket pertunjukan Haiku setelah mengetahui Jose Rizal Manua akan mementaskan karya Putu Wijaya itu. Hanya satu hari, tanggal 29 Desember. Ada tiga daya tarik pada pertunjukan Haiku atau ha iku ini: naskah milik Putu Wijaya, dimainkan oleh Teater Tanah Air spesialis anak, dan Sutradara Jose Rizal Manua.
Tiga hal itu seperti menjadi jaminan bahwa Haiku atau Ha Iku akan menjadi pertunjukan yang bagus.
Hal pertama yang menarik perhatian adalah cara penulisan Haiku atau Ha iku. Dua versi penulisan ini digunakan oleh Teater Tanah Air, produsen tontonan ini, misalnya, di lembaran tiket. Seolah mereka tidak konsisten. Tapi setelah selesai menyimak 60 menit pertunjukan, penulisan Ha Iku dan haiku dengan dua cara itu tampaknya sengaja untuk menimbulkan rasa penasaran: mengapa ada dua versi penulisan kata haiku. Hal tak umum dilakukan oleh seorang penulis top.
Itu terjadi. Saya berdiskusi dengan beberapa teman setelah menyaksikan tontonan ini. Mereka memprotes judulnya tidak pas. Haiku itu puisi pendek Jepang yang indah, berpola 575. Katanya, apa hubungannya cerita tadi dengan haiku? Untung tidak ada yang berdalih, haiku jepang harus dikaitkan dengan musim dan dinyatakan secara implisit di teks puisi. Ha Iku di panggung tidak ada hubungannya dengan musim. Makin runyam kan?
Lalu, yang lain juga tidak bisa memahami pernyataan narator bahwa ha iku berarti “jangan lupakan sejarah” seperti yang mereka dengar sayup-sayup dari sound system gedung sebelum tonil ini dimulai. Ungkapan “jangan lupakan sejarah” saja pemain yang berusia 6 tahun, dan beberapa penonton anak-anak juga tidak paham. Barangkali mereka menganggap bahwa “sejarah” adalah nama tetangga mereka yang tidak boleh dilupakan. He he..
Begitulah di dalam ruang teater ini. Suara dari sound system kadang-kadang tidak terdengar jelas. Barangkali ini akibat gedung pertunjukan terlalu penuh. Bayangakan ini: 1.200 kursi terisi semua. Belum lagi orang yang menonton sambil berdiri atau duduk di selasar dan lantai. Total mungkin 1500 kepala. Penuh banget. Ditambah dengan sebagian besar penonton itu adalah anak-anak usia SD dan SMP, sepantaran dengan 50 pemain di atas panggung, yang berusia 6-16 tahun. Sehingga mereka perlu waktu untuk duduk manis dengan tenang di kursinya. Jika mereka lasak, suara yang mereka keluarkan cukup mengganggu penonton lain. Berisik.
Saya kira ini yang menyebabkan kata haiku (puisi Jepang) dan ha iku (bahasa Jawa), gagal dibedakan dengan jelas oleh penonton. Dalam bahasa Jawa, ha iku berarti “ya, itu. Seruan.” Bila dikaitkan dengan pesan lakon ini, maksudnya bahwa masa silam/sejarah tak boleh dilupakan. Karena sejarah itu mengingatkan kita pada apa yang sebaiknya tidak boleh lagi diperbuat serta memilih hal baik yang wajib diteruskan atau dipertahankan. Walhasil sejarah dipelajari untuk membangun hidup damai. Bukan untuk memelihara dendam pada penjajah.
Sejatinya, pesan yang dimainkan oleh anak-anak di panggung adalah kisah penjajahan Jepang di Indonesia, tahun 1942-1945. Anak-anak sekarang diajarkan jangan melupakan sejarah, agar hal buruk tidak terulang lagi, dan pesan ini disampaikan dengan bersenang-senang, bukan dengan kebencian.
Persoalan kedua yang diributkan oleh penonton adalah mereka tidak paham ceritanya. Ini bagian yang paling menarik untuk dibahas.
Pertama, karena lakon ini adalah karya Putu Wijaya. Dia selalu membuat cerita yang penuh interpretasi dan menyelipkan misteri. Cerita yang sama bisa diartikan berbeda oleh orang yang berbeda pula. Artinya tidak mudah menangkap penuh gagasan Putu, sama halnya kalau kita membaca cerpennya. Atau, dia menyampaikan gagasannya dengan penuh metafora yang ganjil. Hal yang tidak biasa kita dengar. Seperti guyon yang sering ditujukan kepadanya: kalau Putu Wijaya kita lempari sandal, maka akan lahir satu cerpen. Tentu saja bukan sembarang cerpen, tetapi cerita yang meneror pembacanya. Yang kita nikmati dari karyanya adalah bagaimana Putu mengolah kata, memilih diksi yang kuat, dan mengutak-atik logika untuk menyampaikan gagasannya. Jurus ini dimainkan hampir di semua karyanya. Cerpen atau lakon naskah drama, termasuk pada Ha Iku.
Pada drama karya Putu, kesulitan itu diperumit dengan gaya Putu membuat cerita. Putu pelit memberi nama pada pelakonnya. Contohnya pada “Aduh”, tidak ada satu nama pun disematkan pada belasan pemainnya. Dia memberi identitas pada pemainnya dengan peran apa yang dimainkan oleh pelakunya. Misalnya, ada tokoh yang disebut orang sakit, dan lainnya.
Sedangkan pada Ha Iku, pemainya ada yang disebut “sepatu copot”, atau robot, atau bulan purnama, atau lainnya. Tidak ada satu pun nama orang yang disebutkan dalam cerita. 50 orang pemain itu tidak mempunyai satu nama pun. Ini gaya Putu. Cerita seperti sandiwara tidak penting. Bagi Putu jauh lebih penting, penontonnya bergolak atau terteror memikirkan pesan yang disampaikan pada lakonnya.
Kedua, lagi pula tidak semua tontonan di panggung itu mengandung cerita seperti di sebuah film, misalnya. Teater musikal dan tari juga tidak mementingkan cerita. Namun penonton bisa menikmatinya dengan gembira. Banyak pertunjukan lain yang mengabaikan cerita, tapi memperkuat akting pemainnya di panggung. Karena itu, saya selalu menunggu karya Putu lainnya untuk ditampilkan di panggung. Asyik menikmati pesan yang disampaikan melalui penataan panggung, gerak, blocking, tokoh-tokoh ganjil dalam naskahnya, dan sebagainya.
Ha Iku adalah naskah teater baru dari Putu Wijaya. Dan, ini versi kedua, yang lebih ringan. Dibikin ringan mungkin karena versi ini dimainkan oleh anak-anak dan untuk anak-anak pula. Serta disiapkan untuk dipentaskan di Jepang pada pertengahan 2025. Versi pertamanya lebih sophisticated, kata Putu di dalam pengantar naskahnya.
Nah, naskah Ha Iku ini menjadi bertambah manis setelah dimainkan oleh Teater Tanah Air dan disutradarai oleh Jose Rizal Manua. Jose mengerahkan anak didiknya –dalam arti sebenarnya– yaitu anak-anak usia 6-16 tahun, sebagai pemainnya. Mereka berlatih teater rutin tiap hari Minggu di TIM, di markas Teater Tanah Air. Ke-50 anak ini baru pertama kali naik panggung komersial main teater.
Tentu saja setelah naskah teater ini di tangan Jose, warna Jose tampak jelas di atas panggung, tanpa mengurasi ciri utama dari Putu Wijaya. Jadi Ha Iku yang dipentaskqn pada hari Minggu terakhir tahun 2024 itu perpaduan Putu-Jose yang sedap dinikmati. Kelebihan Jose adalah dia berhasil memasukkan kredo dia dalam berteater spesialis anak ini: yaitu berteater adalah bersenang-senang. Baik bagi pemain, maupun bagi penonton. Sama seperti Putu, para pemainnya tidak diminta melakukan gerak seperti yang diinginkan oleh sutradara. Mereka diberikan kebebasan dalam menentukan gerakan sendiri agar rasa senang yang muncul lebih tebal. Yang jadi pegangan adalah patokan umum sebagai pesan yang ingin disampaikan kepada penonton. Jadi, masing-masing pemain bebas saja memilih karakte. Di samping kelihatan natural, juga memudahkan seorang pemain paling kecil di Ha Iku, misalnya, yang berambut kruwel-kruwel berjalan pelan mencari tempat rebahan yang tersisa di panggung ketika kelompok hitam sudah tiduran lebih dulu di lantai. Penonton tertawa melihat adegan ini. Lucu: yang lain sudah rebahan, si anak paling kecil ini masih mencari tempat rebahan yang pas buat dia.
0, ya, Jose membagi 50 pemain dalam dua kelompok besar. Separuh berpakaian serba hitam, yang melambangkan orang yang beraliran “ingin melupakan sejarah”, dan kelompok lain yang berpakaian serba puith yang berprinsip “jangan lupakan sejarah”. Kedua kelompok ini “bertarung” memperjuangkan keyakinan masing-masing: lupakan atau jangan lupakan sejarah.
Kedua kelompok ini saling mengucapkan kata-kata, kadang-kadang terdengar seperti koor. Adakalanya yang berbicara hanya orang per orang. Tetapi, sekali lagi, kata-kata yang diucapkan kadang-kadang tidak jelas terdengar oleh penonton. Mungkin karena telinga saya sudah usang, atau karena vokal anak-anak ini powernya belum pol untuk main di panggung teater besar yang memang berukuran besar banget ini.
Tetapi saya ingat pembicaraan saya dengan Jose sebelum pertunjukan. Katanya, bahwa pertunjukkan dia bisa dimengerti oleh orang yang ber IQ rendah sampai orang yang ber IQ tinggi. Juga mudah dipahami oleh anak-anak sekali pun. Bahkan, katanya, orang asing yang tidak mengerti bahasa Indonesia pun akan mampu mengikuti lakonnya. Ini ditunjukkan oleh Teater Tanah Air yang sudah sering bermain di luar negeri. Penonton memahaminya. Hal ini ditandai dengan beberapa kali Teater Tanah Air, yang pemainnya anak-anak ini, berhasil meraih penghargaan menjadi teater terbaik di luar negeri.
Saya kira resep Jose ini berhasil, visual lebih penting dan bahasa yang digunakan bisa diabaikan. Seorang anak usia SD, putra dari seorang teman yang menyaksikan teater ini, spontan bilang mau ikut main teater setelah pertunjukkan baru saja selesai. Saya tidak yakin dia mengerti dialog yang diucapkan para pelakon. Tapi dia membayangkan enaknya menari, berlari, bernyanyi beramai-ramai di atas panggung. Menyenangkan.
Karena itu, saya berusaha menikmati pertunjukkan ini tanpa menghiraukan ceritanya, juga dialognya, dan bahasanya. Tampaknya berhasil. Gerakan anak-anak yang memikat, tariannya yang menarik, dan nyanyian yang mereka suarakan bersama terdengar nikmat, menghibur. Dan, yang tidak kita sadari adalah bahwa 50 anak ini terlihat sangat bersenang-senang di panggung dengan energi yang penuh. Mereka bersemangat sekali. Mereka bukan sedang melakoni adegan bergembira. Tetapi mereka terlihat jelas sedang bergembira. Seperti terjadi di mana-mana, jika orang yang sedang bersenang-senang –apalagi jumlahnya 50 kepala– pasti menularkan energi positif bagi yang melihatnya. Nah, saya juga merasakan kegembiraan itu di kursi penonton, bersama 1.200 orang lainnya. Lima puluh anak-anak bersenang-senang di panggung, saya bergembira di kursi penonton.
Pertunjukan teater oleh anak-anak untuk anak-anak dan bapak ibunya termasuk langka di Indonesia. Mungkin Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang ikut menonton Ha Iku bisa merumuskan kebijakan baru untuk mengembangkan teater sejak mereka masih anak-anak./***
Jonminofri, adalah penikmat pertunjukan panggung